Sabtu, 12 Maret 2016

HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA



HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA
Abdul Rahim Karim (15770001)

A.  Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dibawa manusia sejak dia lahir dan melekat padanya sebagai pemberiandari Allah SWT dan bersifat bebas(merdeka) sehingga harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh individu, masyarakat dan negara. Hingga saat ini, masalah Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi sebuah polemik yang tak terselesaikan. HAM seakan-akan menjadi sesuatu yang mahal, yang tidak semua manusia berhak memilikinya. Sejarah mencatat keadaan dunia sebelum datangnya Al-Qur’an, yaitu sering terjadinya tindakan diskriminasi terhadap masyarakat minoritas, kaum perempuaan, dan masyarakat miskin. Contohnya seperti, kebanyakan orang Syria yang menjual anaknya untuk melunasi hutang mereka, disamping itu, disana sering terjadi kedzaliman-kedzaliman penguasa dan perbudakan. Atau juga kebiasaan yang terjadi di bangsa Arab, yang senang mengubur bayi perempuannya secara hidup-hidup, dll.

Dengan memahami kenyataan tersebut secara jelas, maka Hak Asasi Manusia (HAM)selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamen, dan penting. Oleh karena itu, banyak pendapat yang mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sesuatu “kekuasaan keamanan” yang harus dimiliki oleh setiap individu, bisa dikatakan tanpa adanya hak ini, berarti berkurang-lah harkatnya sebagai manusia yang wajar. Melihat fakta yang terjadi ditengah masyarakat, maka ide HAM pun mulai digulirkan dan diperjuangkan. Semua berawal dari Magna Charta di Inggris pada tahun 1252 hingga akhirnya terbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) [Universal Declaration of Human Right] pada 10 Desember 1948 di Paris, Perancis. Deklarasi ini ditanda-tangani oleh 48 negara dari 58 negara anggota PBB dan disetujui oleh Majelis Umum PBB. Perumusan penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang bersifat universal, non-diskriminasi,dan imparsial telah berlangsung dalam sebuah proses yang sangat panjang dan telah terjadi kesepakatan bersama bahwa ide ini harus diterapkan oleh setiap negara, dengan tujuan untuk menjaminnya dalam sebuah Konstitusi.
Sebenarnya, perbincangan seputar Hak Asasi Manusia(HAM) telah dahulu dibicarakan sejak ±1.400 tahun yang lalu. Ini dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah (Mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain yaitu pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat Yahudi, Nasrani, maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa. Jadi dapat kita lihat, bahwa dalam Piagam Madinah itu HAM sudah mendapatkan pengakuan oleh Islam. Adanya prinsip-prinsip HAM yang universal, sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (DUHAM).
Aktivitas penegakkan HAM hingga saat ini masih menjadi perdebatan panjang, ada yang pro terhadap ide ini, dan ada juga yang kontra. Menurut pendapat yang mendukung ide ini, HAM adalah sebuah ide yang harus diperjuangkan, karena tanpa ada hak asasi setiap individu, maka seorang individu merasa terjajah. Disisi lain ada pula yang menentang ide ini dengan alasan, bahwa ide HAM dalam tataran praktis tidak bisa menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, yang terjadi justru sebaliknya dengan timbulnya kerusakan, ketidak-adilan, serta keonaran yang muncul dimana-mana. Karena dengan dalih HAM, manusia bebas bertindak sesuka hatinya dan tindakannya merupakan pilihan yang harus dihormati.
Bagaimanapun itu, untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian di dunia, manusia harus kembali pada konsepsi Al-Qur’an, karena Al-Qur’an telah menjamin kelestarian hak-hak asasi manusia, menciptakan kebahagiaan hidup bagi manusia, dan menjaga kesejahteraan hidup manusia dari segala aspek yang tidak pernah terbayangkan oleh pemikir dan reformer manapun.
Akhirnya, dalam tugas ini penulis hanya mampu mengangkat beberapa hak-hak dalam kehidupan manusia yang terdapat dalam Al-Qur’an beserta Tafsirnya untuk kemudian dikaji denganmenggunakan analisis kontekstual.

B.  Pembahasan
1.    Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Pengertian HAM secara etimologi adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia. Hak Asasi Manusia berasal dari istilah droits de I’home(Bahasa Perancis), human rights (Bahasa Inggris), menslijke recten (Bahasa Belanda), serta fitrah (Bahasa Arab). Sedangkan pengertian HAM secara terminologi tertuang pada mukaddimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) [Universal Declaration of Human Rights], yaitu pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar-dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia.
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia melalui syariat Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut ajaran Islam manusia adalah makhluk yang bebas yang memiliki tugas dan tanggung jawab, oleh karenanya ia memiliki hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter tanpa pandang bulu. Maknanya tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak akan terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri.
Menurut Moh. Mahfud MD, HAM yaitu hak yang melekat pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberiaan manusia atau negara. Sedangkan menurut Ahmad Martin Handriwinarta, HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya.Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak Asasi Manusia dalam Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan, dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan artinya Islam memandang semua manusia setara, yang membedakan adalah prestasi ketaqwaannya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hujurat [49] ayat 13 :
$pkšr'¯»tƒâ¨$¨Z9$#$¯RÎ)/ä3»oYø)n=yz`ÏiB9x.sŒ4Ós\Ré&uröNä3»oYù=yèy_ur$\/qãè䩟@ͬ!$t7s%ur(#þqèùu$yètGÏ94¨bÎ)ö/ä3tBtò2r&yYÏã«!$#öNä39s)ø?r&4¨bÎ)©!$#îLìÎ=tã׎Î7yzÇÊÌÈ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kebebasan merupakan elemen penting dalam ajaran Islam. Kehadiran Islam memberikan jaminan kepada kebebasan manusia agar terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik, maupun ideologi. Namun demikian, pemberian kebebasan terhadap manusia bukan berarti mereka dapat menggunakan kebebasan tersebut secara mutlak, tetapi dalam kebebasan tersebut terkandung hak dan kepentingan orang lain yang harus dihormati pula.
Islam memandang bahwa manusia itu mulia, karena kemuliaan yang di anugerahkan kepadanya oleh Allah SWT. Kemuliaan itu dikaitkan dengan penyembahan manusia kepada Rabb-nya. Menurut Muhamad Ahmad Mufti dan Sami Salih al-Wakil (2009:22), Pemikiran Barat memandang bahwa hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak alamiyah (al-huquq athabi’iyyah/natural right) yang mengalir dari ide bahwa kedaulatan mutlak adalah milik manusia, tidak ada pihak lain yang lebih berdaulat dari manusia (antrophocentris). Sedangkan dalam Islam hak-hak dasar manusia dipandang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah SWT (theocentris).
Dari uraian diatas, dipahami bahwa Islam didefinisikan sebagai hak-hak dasar manusia yang dianugerahkan oleh Allah SWT (Abul A’la Maududi, 2008:10).Sehingga Hak Asasi Manusia dalam Islam memiliki karakteristik :
a.    Bersumber dari wahyu.
b.    Tidak mutlak, karena dibatasi dengan penghormatan terhadap kebebasan/kepentingan orang lain.
c.    Hak tidak dipisahkan dari kewajiban.
Sebagai wawasan pembanding (comparative perspective) antara HAM yang bersumber dari Barat yang dilegitimasikan dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dengan HAM dalam persfektif Islam (Ahmad Kosasih, 2003:40) antara lain sebagai berikut :
HAM UDHR / DUHAM
HAM ISLAM
1.    Bersumber pada pemikiran filosofis semata.
1.    Bersumber pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
2.    Bersifat Antrophocentris.
2.    Bersifat Theocentris.
3.    Lebih mementingkan hak daripada kewajiban.
3.    Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4.    Lebih bersifat individualistik.
4.    Kepentingan sosial lebih diutamakan.
5.    Manusia sebagai pemilik sepenuhnya hak-hak dasar.
5.    Manusia sebagai makhluk yang di titipi hak-hak dasar oleh Tuhan, oleh karena itu wajib mensyukuri dan memeliharanya.

2.    Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya
Dalam Al-Qur’an, sangat banyak ayat-ayat yang membahas tentang hak-hak dalam kehidupan manusia, seperti hak dalam kebebasan beragama, hak untuk hidup dan menjaga hidup, hak persamaan dimata hukum, hak kepemilikan, hak keadilan, hak kebebasan berpendapat, hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang hak-hak dalam kehidupanmanusia. Pada tugas ini penulis telah berusaha dan hanya mampu mengangkat beberapa hak-hak dalam kehidupan manusia yang terdapat dalam Al-Qur’an beserta Tafsirnya untuk kemudian dikaji denganmenggunakan analisis kontekstual. Adapun hak-hak manusia yang penulis maksud, yaitu sebagai berikut:
a.    Hak dalam Kebebasan Beragama
Ayat-ayat yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama dalam kehidupan manusia terdapat pada Q.S. Al-Baqarah[2] ayat 256, Al-Muthaffifin[83] ayat 22, Qaf[50] ayat 45, Yunus[10] ayat 45, Al-‘Ankabut[29] ayat 46, dan Al-Kahfi[18] ayat 29. Disini penulis memilih untuk mengkaji lebih mendalam terhadap surah Al-Baqarah[2] ayat 256 :
Iwon#tø.Î)ÎûÈûïÏe$!$#(s%tû¨üt6¨?ßô©9$#z`ÏBÄcÓxöø9$#4`yJsùöàÿõ3tƒÏNqäó»©Ü9$$Î/-ÆÏB÷sãƒur«!$$Î/Ïs)sùy7|¡ôJtGó$#Íouróãèø9$$Î/4s+øOâqø9$#ŸwtP$|ÁÏÿR$#$olm;3ª!$#urììÏÿxœîLìÎ=tæÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
§    Asbabun Nuzul.Diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas, mereka menceritakan: “Ada seorang wanita yang sulit mempunyai anak, maka dia berjanji pada dirinya, sekiranya nanti ada anaknya yang lahir dan selamat, maka akan dijadikannya seorang Yahudi. Maka tatkala Bani Nadhir diusir dari Madinah, kebetulan di antara mereka ada anak Anshar, maka kata orang Anshar kami tidak akan membiarkan anak-anak kami, dan Allah pun menurunkan Surah Al-Baqarah[2]: 256. Ibnu Jarir mengetengahkan, dari jalur Said atau Ikrimah dari Ibnu Abbas, katanya “Tidak ada paksaan dalam agama” Ayat ini turun mengenai seorang Anshar dari Bani Salim bin Auf bernama Husain, yang mepunyai dua orang anak beragama Kristen, sedang ia beragama Islam. Maka katanya kepada Nabi SAW, “Tidakkah akan saya paksa mereka, karena mereka hendak meninggalkan agama Kristen itu?” maka Allah pun menurunkan ayat itu.
§    Tafsir Ayat.Menurut tafsir Departemen Agama RI, ayat ini menegaskan tentang larangan melakukan kekerasan dan paksaan oleh umat Islam terhadap orang-orang yang bukan muslim untuk memaksa mereka masuk agama Islam. Jadi tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan serta nasihat-nasihat yang wajar sehingga mereka masuk Islam dengan kesadaran dan kemauan sendiri. Abu Muslim dan Al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keimanan didasarkan atas satu pilihan bukan suatu tekanan. Ayat itu merupakan teks pondasi/dasar dari penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama. Jawad Sa’id menyebutkan laa ikraaha fi al-diin, qad tabayyana al-rusdy min al-ghayb sebagai ayat-ayat universal.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau mengatakan bahwa janganlah kalian memaksa seseorang memeluk agama Islam. Karena sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti itu sudah demikian jelas dan gamblang, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluknya. Tetapi barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT dan dilapangkan dadanya serta diberikan cahaya bagi hati nuraninya, maka ia akan memeluknya. Dan barangsiapa yang dibutakan hatinya oleh Allah SWT, dikunci mati pendengaran dan pandangannya, maka tidak akan ada manfaat baginya paksaan dan tekanan untuk memeluk Islam.[1]
§    Analisis Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun nuzul dan tafsir Surah Al-Baqarah[2] ayat 256 diatas dapat penulis simpulkan, bahwa Islam menegaskan tentang kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM, termasuk di dalamnya kebebasan menganut agama selain Islam. Dalam Tafsir Departemen Agama RI penulis menyimpulkan, bahwa Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam, karena iman datangnya dari hati dan bukan semata-mata karena paksaan. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa memaksa dan mengajak adalah dua istilah yang sangat berbeda. Islam sangat menganjurkan kepada umat Muslim untuk saling mengajak kepada kebaikan, bukan memaksa. Sekiranya umat Muslim sudah mengajak dengan baik dan lemah lembut ke orang non-Islam untuk masuk dalam agama Islam, tetapi orang non-Islam itu tetap pada keyakinannya dan tidak mau memeluk agama Islam, maka sepenuhnya kita serahkan kepada Allah SWT, karena hanya Allah SWT yang mampu memberikan hidayah dan petunjuk kepada umat manusia. Dalam Tafsir Ibnu Katsir penulis juga menyimpulkan, bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai hak untuk memberikan hidayah kepada manusia lain dengan cara menggiringnya masuk ke dalam agama Islam, karena hanya Allah SWT yang mampu berbuat demikian. Allah SWT berhak memberikan hidayah dan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki dan Allah juga berhak tidak memberikan petunjuk bagi siapapun yang tidak dikehendaki-Nya. Bagaimanapun, karena ini menyangkut masalah keimanan dan keyakinan dalam beragama, maka penulis merasa keimanan itu didasarkan pada suatu keimanan yang telah diyakini sebetul-betulnya, bukan pada suatu penekanan yang datang dari luar diri manusia, baik itu dari kehidupan lingkungan keluarga maupun kehidupan lingkungan masyarakat.

b.   Hak untuk Hidup dan Menjaga Hidup
Dalam Al-Quran terdapat sekitar 80 ayat tentang hak yang mengatur kehidupan, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya pada surah Al-Baqarah[2]: 93, 84-85 dan 178, An-Nisaa[4]: 29-30 dan 92, Al-Ma’idah[5]: 32 dan 63, An-Nahl[16]: 59, Al-Israa’[17]: 33 dan lain sebagainya. Disini penulis memilih untuk mengkaji lebih mendalam terhadap Surah Al-Ma’idah[5] ayat 32 :
ô`ÏBÈ@ô_r&y7Ï9ºsŒ$oYö;tFŸ24n?tãûÓÍ_t/Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î)¼çm¯Rr&`tBŸ@tFs%$G¡øÿtRÎŽötóÎ/C§øÿtR÷rr&7Š$|¡sùÎûÇÚöF{$#$yJ¯Rr'x6sùŸ@tFs%}¨$¨Z9$#$YèÏJy_ô`tBur$yd$uŠômr&!$uK¯Rr'x6sù$uŠômr&}¨$¨Y9$#$YèÏJy_4ôs)s9uróOßgø?uä!$y_$uZè=ßâÏM»uZÉit7ø9$$Î/¢OèO¨bÎ)#ZŽÏWx.Oßg÷YÏiBy÷èt/šÏ9ºsŒÎûÇÚöF{$#šcqèùÎŽô£ßJs9ÇÌËÈ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya, dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
§    Asbabun Nuzul. Kedengkian orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW memang benar-benar nyata, yaitu dengan menentang ajakannya, meskipun bukti-bukti telah cukup atas kerasulan, kenabian dan kebenarannya. Puncak kedengkian itu sampai kepada ancaman akan membunuh para sahabat Nabi SAW terutama oleh pembesar mereka, maka ayat ini turun.
§    Tafsir Ayat.Ayat pada ayat ini diterangkan suatu ketentuaan bahwa membunuh seorang manusia berarti membunuh manusia seluruhnya, sebagaimana memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Ayat ini menunjukkan keharusan adanya kesatuaan umat dan kewajiban mereka masing-masing terhadap yang lain yaitu harus menjaga keselamatan hidup dan kehidupan bersama dan menjauhi hal-hal yang membahayakan orang lain.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau berpendapat bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia tanpa sebab, seperti karena qishash atau karena membuat kerusakan di muka bumi, dan dia menghalalkan pembunuhan tersebut tanpa sebab dan tanpa kejahatan, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya, karena bagi Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa yang lainnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan, yaitu mengharamkan pembunuhan atas suatu jiwa dan menyakini hal itu, berarti dengan demikian, telah selamatlah seluruh umat manusia darinya.[2]
§    Analisis Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun nuzul dan tafsir surah Al-Ma’idah[5] ayat 32 dapat penulis simpulkan, bahwa Islam menegaskan hak hidup dan hakasasi yang paling utama bagi manusia. Hukum Islam sangat melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, yaitu melalui larangan membunuh, ketentuan qishas, dan larangan bunuh diri. Selanjutnya penulis ingin mengatakan bahwa ayat ini menegaskan tentang pembunuhan terhadap satu orang saja, itu artinya sudah sama dengan pembunuhan terhadap seluruh manusia, begitupun sebaliknya dalam memelihara kehidupan satu orang saja itu berarti memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Oleh karena itu, hak untuk hidup dan menjaga hidup sudah melekat pada jiwa setiap manusia sejak ia dilahirkan, tinggal bagaimana agar manusia itu berusaha menjadi insan yang terbaik di dunia dan akhirat kelak dengan senantiasa melaksanakan segala perintah-perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya.
c.    Hak dalam Prinsip Kepemilikan
Ayat yang berkaitan dengan prinsip kepemilikan, yaitu mengacu pada Surah Al-Baqarah[2] ayat 188. Penjelasan yang lebih mendalam tentang ayat ini, sebagai berikut :
Ÿwur(#þqè=ä.ù's?Nä3s9ºuqøBr&Nä3oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/(#qä9ôè?ur!$ygÎ/n<Î)ÏQ$¤6çtø:$#(#qè=à2ù'tGÏ9$Z)ƒÌsùô`ÏiBÉAºuqøBr&Ĩ$¨Y9$#ÉOøOM}$$Î/óOçFRr&urtbqßJn=÷ès?ÇÊÑÑÈ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
§    Asbabun Nuzul. Sebab turunnya ayat ini ialah seperti yang diriwayatkan bahwa Ibnu Asywa Al-Hadrami dan Imri’il Qais, terlibat dalam suatu perkara soal tanah yang masing-masing tidak dapat memberikan bukti. Maka Rasulullah saw menyuruh Imri’il Qais (sebgai terdakwa yang ingkar) supaya bersumpah. Tatkala Imri’il Qais hendak melaksanakan hal itu, turunlah ayat ini.
§    Tafsir Ayat.Ayat ini menegaskan penjaminan hak kepemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya. Dalam Tafsir Departemen Agama RI, ayat ini melarang agar kita tidak memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Ulasan tersebut dapat memperjelas kepada kita bahwa di dalam Al-Qur’an memang terdapat penjelasan mengenai prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau dalam tafsirnya mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan dengan dengan seseorang yang mempunyai tanggungan harta kekayaan tetapi tidak ada saksi terhadapnya dalam hal ini, lalu ia mengingkari harta itu dan mempersengketakannya kepada penguasa, sementara itu ia sendiri mengetahui bahwa harta itu bukan menjadi haknya dan mengetahui bahwa ia berdosa, memakan barang haram. Selanjutnya dikatakan pula bahwa janganlah engkau bersengketa sedang engkau mengetahui bahwa engkau dzhalim.[3]
§    Analisis Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun nuzul dan tafsir Surah Al-Baqarah[2] ayat 188 dapat penulis simpulkan pada bagian pertama dari ayat ini bahwa Allah SWT melarang agar jangan memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil, yang dimaksud dengan “memakan” disini ialah”mempergunakan atau memanfaatkan”, sebagaimana yang biasa digunakan dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya. Dan yang dimaksud dengan “bathil” ialah dengan cara yang tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah. Kemudian pada ayat bagian terakhir dari ayat ini Allah SWT melarang membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian dari harta orang lain dengan cara yang bathil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau saksi palsu. Inilah hak dalam kepemilikan yang telah diatur dalam Al-Qur’an.
d.   Hak dalam Persamaan di Mata Hukum
Berkenaan dengan hak manusia dan persamaannya di mata hukum, itu terdapat dalam Q.S. Al-Ma’idah[5]: 38, Al-Ahqaf[46]: 19, dan Al-Hujurat[49]: 13. Disini penulis memilih untuk mengkaji lebih mendalam terhadap surah Al-Ma’idah[5] ayat 38 :
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtƒÏ÷ƒr&Lä!#ty_$yJÎ/$t7|¡x.Wx»s3tRz`ÏiB«!$#3ª!$#urîƒÍtãÒOŠÅ3ymÇÌÑÈ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
§    Asbabun Nuzul. Di zaman Rasulullah SAW, ada seorang perempuan yang mencuri. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah oleh orang yang kecurian. Mereka berkata: “Inilah perempuan yang telah mencuri harta benda kami, kaumnya akan menebusnya”. Nabi SAW pun kemudian bersabda : “Potonglah tangannya”. Maka dipotonglah tangan kanan perempuan itu. Kemudian perempuan itu bertanya: “Apakah saya ini masih bisa diterima taubatku, Ya Rasulullah?” Maka Rasulullah menjawab : “Ya, engkau hari ini bersih dari dosamu seperti pada hari engkau dilahirkan oleh ibumu”. Maka turunlah ayat ini.
§    Tafsir Ayat.Menurut tafsir Departemen Agama RI, ayat ini menjelaskan hukuman terhadap orang-orang yang mencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap kejahatan ada hukumannya. Pelakunya akan dikenakan hukuman karena ia melanggar larangan mencuri. Seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang mengambil harta orang lain dari tempatnya yang layak dengan diam-diam, dinamakan “pencuri”.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau dalam tafsirnya mengatakan bahwa sebagian fuqaha’ dari kalangan penganut faham Azh-Zhahiri berpendapat, bahwa jika seseorang mencuri, maka tangannya harus dipotong, baik ia mencuri dalam jumlah yang sedikit maupun banyak, yang demikian itu didasarkan pada keumuman ayat diatas. Mereka tidak memperhatikan batas ukuran tertentu barang yang dicuri, dan tidak pula pada barang yang dilindungi atau tidak dilindungi, tetapi mereka hanya melihat pada pencurian semata. Lebih lanjut Ibnu Abbas juga menambahkan bahwa Ayat itu bersifat umum, tidak bersifat khusus.[4]
§    Analisis Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun nuzul dan tafsir surah Al-Ma’idah[5] ayat 38 dapat penulis simpulkan, bahwa Islam menegaskan adanya pengakuan persamaan yang mencakup persamaan kedudukan setiap manusia di depan hukum, terlepas dari identitasnya di mata manusia lainnya, karena itu Islam memberikan kepada umatnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama dalam menjalankan suatu ketentuan hukum, tanpa dibedakan apakah ia laki-laki ataupun perempuan. Ayat ini menegaskan tentang hukuman potong tangan bagi para pencuri, baik dia laki-laki maupun dia perempuan. Hal tersebut dilakukan sebagai balasan dan pertanggung-jawaban dari apa yang telah diperbuatnya.

C.  Penutup
Hak Asasi Manusia (HAM) sangat penting bagi setiap manusia, karena hal itu merupakan suatu fitrah yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada setiap manusia, tetapi memang perlu dipahami karena aturan mengenai HAM yang ada saat ini tidak mempunyai standar dalam implementasinya, maka hal yang muncul adalah tindak penyelewengan, baik itu dari segi teori maupun di dalam implementasinya. Solusinya, kembali lagi kepada individu tersebut, bagaimana ia menyadari sebagai umat yang beragama, kita memang diberikan hak dan kebebasan, tetapi disaat yang sama kita juga mempunyai tanggung jawab kepada Tuhan atas semua perbuatan yang kita lakukan. Jadi dengan kata lain, kebebasan yang kita miliki juga terikat penuh dengan aturan Tuhan. Jika semua manusia memiliki pemahaman seperti ini, paling tidak penyelewengan atau pelanggaran terhadap HAM bisa diminimalisir.

Daftar Rujukan

Al-Hafizh Ibnu Katsir. Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsiir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abdurrahim Mu’thi, dan Abu Ihsan Al-Atsari. 2005. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I – VIII, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Balai Diklat Keagamaan Bandung. 2003. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an Al-Hadits dan Ijtihad Ulama. Website http://bdkbandung.kemenag .go.id/jurnal/259-hak-asasi-manusia-dalam-persfektif-alqur-an-alhadits-dan-ijtihad-ulama. 
Hasan Abu Ali Al-Hasany An-Nadawy. 1983. As-Sirah An-Nabawiyah. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Junaidi, Idrus. 2004. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Majid Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Mahfud, Moh. 2001. Dasar dan Stuktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Majalah Al-Wai’e, No. 88 Tahun VIII, 1-31 Desember 2007, hal 19.
Naifu. 2010. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an. Blogsite https:// naifu.wordpress.com/2010/07/08/hak-asasi-manusia-dalam-perspektif-al-qur’an/.
Nasution, Harun. 1987. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Putra, Dalizar. 1995. Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT Al-Husna Zikra.


[1]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 (PDF), Jilid I (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i), hlm. 515.
[2]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (PDF), Jilid III (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i), hlm. 73.
[3]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 (PDF), Jilid I (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i), hlm. 361.
[4]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (PDF), Jilid III (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i), hlm. 81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar