HAK
ASASI MANUSIA (HAM)
DALAM AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA
Abdul Rahim Karim
(15770001)
A. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak
yang dibawa manusia sejak dia lahir dan melekat padanya sebagai pemberiandari
Allah SWT dan bersifat bebas(merdeka) sehingga harus dihormati, dijaga, dan
dilindungi oleh individu, masyarakat dan negara. Hingga saat ini, masalah Hak
Asasi Manusia (HAM) masih menjadi sebuah polemik yang tak terselesaikan. HAM
seakan-akan menjadi sesuatu yang mahal, yang tidak semua manusia berhak
memilikinya. Sejarah mencatat keadaan dunia sebelum datangnya Al-Qur’an, yaitu
sering terjadinya tindakan diskriminasi terhadap masyarakat minoritas, kaum
perempuaan, dan masyarakat miskin. Contohnya seperti, kebanyakan orang Syria
yang menjual anaknya untuk melunasi hutang mereka, disamping itu, disana sering
terjadi kedzaliman-kedzaliman penguasa dan perbudakan. Atau juga kebiasaan yang
terjadi di bangsa Arab, yang senang mengubur bayi perempuannya secara hidup-hidup,
dll.
Dengan memahami kenyataan tersebut secara
jelas, maka Hak Asasi Manusia (HAM)selalu dipandang sebagai sesuatu yang
mendasar, fundamen, dan penting. Oleh karena itu, banyak pendapat yang
mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sesuatu “kekuasaan keamanan”
yang harus dimiliki oleh setiap individu, bisa dikatakan tanpa adanya hak ini,
berarti berkurang-lah harkatnya sebagai manusia yang wajar. Melihat fakta yang
terjadi ditengah masyarakat, maka ide HAM pun mulai digulirkan dan
diperjuangkan. Semua berawal dari Magna Charta di Inggris pada tahun 1252 hingga
akhirnya terbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) [Universal Declaration
of Human Right] pada 10 Desember 1948 di Paris, Perancis. Deklarasi ini
ditanda-tangani oleh 48 negara dari 58 negara anggota PBB dan disetujui oleh
Majelis Umum PBB. Perumusan penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang
bersifat universal, non-diskriminasi,dan imparsial telah berlangsung dalam
sebuah proses yang sangat panjang dan telah terjadi kesepakatan bersama bahwa
ide ini harus diterapkan oleh setiap negara, dengan tujuan untuk menjaminnya dalam
sebuah Konstitusi.
Sebenarnya, perbincangan seputar Hak Asasi
Manusia(HAM) telah dahulu dibicarakan sejak ±1.400 tahun yang lalu. Ini
dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah (Mitsaq Al-Madinah) yang terjadi
pada saat Nabi berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam
Madinah itu berisi antara lain yaitu pengakuan dan penegasan bahwa semua
kelompok di kota Nabi itu, baik umat Yahudi, Nasrani, maupun umat Islam
sendiri, adalah merupakan satu bangsa. Jadi dapat kita lihat, bahwa dalam Piagam
Madinah itu HAM sudah mendapatkan pengakuan oleh Islam. Adanya prinsip-prinsip
HAM yang universal, sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (DUHAM).
Aktivitas penegakkan HAM hingga saat
ini masih menjadi perdebatan panjang, ada yang pro terhadap ide ini, dan
ada juga yang kontra. Menurut pendapat yang mendukung ide ini, HAM
adalah sebuah ide yang harus diperjuangkan, karena tanpa ada hak asasi setiap
individu, maka seorang individu merasa terjajah. Disisi lain ada pula yang menentang
ide ini dengan alasan, bahwa ide HAM dalam tataran praktis tidak bisa
menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, yang terjadi justru sebaliknya
dengan timbulnya kerusakan, ketidak-adilan, serta keonaran yang muncul dimana-mana.
Karena dengan dalih HAM, manusia bebas bertindak sesuka hatinya dan tindakannya
merupakan pilihan yang harus dihormati.
Bagaimanapun itu, untuk mencapai
kebahagiaan dan kedamaian di dunia, manusia harus kembali pada konsepsi
Al-Qur’an, karena Al-Qur’an telah menjamin kelestarian hak-hak asasi manusia,
menciptakan kebahagiaan hidup bagi manusia, dan menjaga kesejahteraan hidup
manusia dari segala aspek yang tidak pernah terbayangkan oleh pemikir dan
reformer manapun.
Akhirnya, dalam tugas ini penulis hanya
mampu mengangkat beberapa hak-hak dalam kehidupan manusia yang terdapat dalam
Al-Qur’an beserta Tafsirnya untuk kemudian dikaji denganmenggunakan analisis
kontekstual.
B. Pembahasan
1.
Pengertian
Hak Asasi Manusia (HAM)
Pengertian HAM
secara etimologi adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia. Hak
Asasi Manusia berasal dari istilah droits de I’home(Bahasa Perancis), human
rights (Bahasa Inggris), menslijke recten (Bahasa Belanda), serta fitrah
(Bahasa Arab). Sedangkan pengertian HAM secara terminologi tertuang pada mukaddimah
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) [Universal Declaration of
Human Rights], yaitu pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan
hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua
anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar-dasar kemerdekaan dan keadilan di
dunia.
Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam Islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia
melalui syariat Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut ajaran Islam
manusia adalah makhluk yang bebas yang memiliki tugas dan tanggung jawab, oleh
karenanya ia memiliki hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang
ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter tanpa pandang bulu. Maknanya
tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara
kebebasan secara eksistensial tidak akan terwujud tanpa adanya tanggung jawab
itu sendiri.
Menurut Moh.
Mahfud MD, HAM yaitu hak yang melekat pada martabat manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi
sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberiaan
manusia atau negara. Sedangkan menurut Ahmad Martin Handriwinarta, HAM
merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk
menjaminnya dalam konstitusinya.Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak Asasi
Manusia dalam Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan,
kebebasan, dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan artinya Islam
memandang semua manusia setara, yang membedakan adalah prestasi ketaqwaannya.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hujurat [49] ayat 13 :
$pkr'¯»tâ¨$¨Z9$#$¯RÎ)/ä3»oYø)n=yz`ÏiB9x.s4Ós\Ré&uröNä3»oYù=yèy_ur$\/qãèä©@ͬ!$t7s%ur(#þqèùu$yètGÏ94¨bÎ)ö/ä3tBtò2r&yYÏã«!$#öNä39s)ø?r&4¨bÎ)©!$#îLìÎ=tã×Î7yzÇÊÌÈ
Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kebebasan
merupakan elemen penting dalam ajaran Islam. Kehadiran Islam memberikan jaminan
kepada kebebasan manusia agar terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang
berkaitan dengan masalah agama, politik, maupun ideologi. Namun demikian,
pemberian kebebasan terhadap manusia bukan berarti mereka dapat menggunakan
kebebasan tersebut secara mutlak, tetapi dalam kebebasan tersebut terkandung
hak dan kepentingan orang lain yang harus dihormati pula.
Islam memandang
bahwa manusia itu mulia, karena kemuliaan yang di anugerahkan kepadanya oleh
Allah SWT. Kemuliaan itu dikaitkan dengan penyembahan manusia kepada Rabb-nya.
Menurut Muhamad Ahmad Mufti dan Sami Salih al-Wakil (2009:22), Pemikiran Barat
memandang bahwa hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak alamiyah (al-huquq
athabi’iyyah/natural right) yang mengalir dari ide bahwa kedaulatan mutlak
adalah milik manusia, tidak ada pihak lain yang lebih berdaulat dari manusia (antrophocentris).
Sedangkan dalam Islam hak-hak dasar manusia dipandang sebagai anugerah yang
diberikan oleh Allah SWT (theocentris).
Dari uraian
diatas, dipahami bahwa Islam didefinisikan sebagai hak-hak dasar manusia yang
dianugerahkan oleh Allah SWT (Abul A’la Maududi, 2008:10).Sehingga Hak Asasi
Manusia dalam Islam memiliki karakteristik :
a.
Bersumber
dari wahyu.
b.
Tidak
mutlak, karena dibatasi dengan penghormatan terhadap kebebasan/kepentingan
orang lain.
c.
Hak
tidak dipisahkan dari kewajiban.
Sebagai wawasan
pembanding (comparative perspective) antara HAM yang bersumber dari Barat
yang dilegitimasikan dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR)
atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dengan HAM dalam persfektif
Islam (Ahmad Kosasih, 2003:40) antara lain sebagai berikut :
HAM UDHR / DUHAM
|
HAM ISLAM
|
1.
Bersumber
pada pemikiran filosofis semata.
|
1.
Bersumber
pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
|
2.
Bersifat
Antrophocentris.
|
2.
Bersifat
Theocentris.
|
3.
Lebih
mementingkan hak daripada kewajiban.
|
3.
Keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
|
4.
Lebih
bersifat individualistik.
|
4.
Kepentingan
sosial lebih diutamakan.
|
5.
Manusia
sebagai pemilik sepenuhnya hak-hak dasar.
|
5.
Manusia
sebagai makhluk yang di titipi hak-hak dasar oleh Tuhan, oleh karena itu
wajib mensyukuri dan memeliharanya.
|
2.
Hak
Asasi Manusia (HAM) dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya
Dalam
Al-Qur’an, sangat banyak ayat-ayat yang membahas tentang hak-hak dalam
kehidupan manusia, seperti hak dalam kebebasan beragama, hak untuk hidup dan menjaga
hidup, hak persamaan dimata hukum, hak kepemilikan, hak keadilan, hak kebebasan
berpendapat, hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup, dan masih banyak lagi
ayat-ayat yang menjelaskan tentang hak-hak dalam kehidupanmanusia. Pada tugas
ini penulis telah berusaha dan hanya mampu mengangkat beberapa hak-hak dalam kehidupan
manusia yang terdapat dalam Al-Qur’an beserta Tafsirnya untuk kemudian dikaji
denganmenggunakan analisis kontekstual. Adapun hak-hak manusia yang penulis maksud,
yaitu sebagai berikut:
a.
Hak
dalam Kebebasan Beragama
Ayat-ayat yang berkaitan dengan
hak kebebasan beragama dalam kehidupan manusia terdapat pada Q.S. Al-Baqarah[2]
ayat 256, Al-Muthaffifin[83] ayat 22, Qaf[50] ayat 45, Yunus[10] ayat 45,
Al-‘Ankabut[29] ayat 46, dan Al-Kahfi[18] ayat 29. Disini penulis memilih untuk
mengkaji lebih mendalam terhadap surah Al-Baqarah[2] ayat 256 :
Iwon#tø.Î)ÎûÈûïÏe$!$#(s%tû¨üt6¨?ßô©9$#z`ÏBÄcÓxöø9$#4`yJsùöàÿõ3tÏNqäó»©Ü9$$Î/-ÆÏB÷sãur«!$$Î/Ïs)sùy7|¡ôJtGó$#Íouróãèø9$$Î/4s+øOâqø9$#wtP$|ÁÏÿR$#$olm;3ª!$#urììÏÿxîLìÎ=tæÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
§
Asbabun
Nuzul.Diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasa’i
dan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas, mereka menceritakan: “Ada seorang wanita yang
sulit mempunyai anak, maka dia berjanji pada dirinya, sekiranya nanti ada
anaknya yang lahir dan selamat, maka akan dijadikannya seorang Yahudi. Maka
tatkala Bani Nadhir diusir dari Madinah, kebetulan di antara mereka ada anak
Anshar, maka kata orang Anshar kami tidak akan membiarkan anak-anak kami, dan
Allah pun menurunkan Surah Al-Baqarah[2]: 256. Ibnu Jarir mengetengahkan, dari jalur
Said atau Ikrimah dari Ibnu Abbas, katanya “Tidak ada paksaan dalam agama” Ayat
ini turun mengenai seorang Anshar dari Bani Salim bin Auf bernama Husain, yang
mepunyai dua orang anak beragama Kristen, sedang ia beragama Islam. Maka
katanya kepada Nabi SAW, “Tidakkah akan saya paksa mereka, karena mereka hendak
meninggalkan agama Kristen itu?” maka Allah pun menurunkan ayat itu.
§
Tafsir
Ayat.Menurut tafsir Departemen Agama
RI, ayat ini menegaskan tentang larangan melakukan kekerasan dan paksaan oleh
umat Islam terhadap orang-orang yang bukan muslim untuk memaksa mereka masuk
agama Islam. Jadi tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah
menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh
kebijaksanaan serta nasihat-nasihat yang wajar sehingga mereka masuk Islam
dengan kesadaran dan kemauan sendiri. Abu Muslim dan Al-Qaffal berpendapat,
ayat ini hendak menegaskan bahwa keimanan didasarkan atas satu pilihan bukan
suatu tekanan. Ayat itu merupakan teks pondasi/dasar dari penyikapan Islam
terhadap jaminan kebebasan beragama. Jawad Sa’id menyebutkan laa ikraaha fi
al-diin, qad tabayyana al-rusdy min al-ghayb sebagai ayat-ayat universal.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam
Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau mengatakan bahwa janganlah kalian memaksa
seseorang memeluk agama Islam. Karena sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti
itu sudah demikian jelas dan gamblang, sehingga tidak perlu ada pemaksaan
terhadap seseorang untuk memeluknya. Tetapi barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah SWT dan dilapangkan dadanya serta diberikan cahaya bagi hati
nuraninya, maka ia akan memeluknya. Dan barangsiapa yang dibutakan hatinya oleh
Allah SWT, dikunci mati pendengaran dan pandangannya, maka tidak akan ada
manfaat baginya paksaan dan tekanan untuk memeluk Islam.[1]
§
Analisis
Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun
nuzul dan tafsir Surah Al-Baqarah[2] ayat 256 diatas dapat penulis simpulkan,
bahwa Islam menegaskan tentang kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM,
termasuk di dalamnya kebebasan menganut agama selain Islam. Dalam Tafsir
Departemen Agama RI penulis menyimpulkan, bahwa Islam tidak pernah memaksa
seseorang untuk memeluk agama Islam, karena iman datangnya dari hati dan bukan
semata-mata karena paksaan. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa memaksa dan
mengajak adalah dua istilah yang sangat berbeda. Islam sangat menganjurkan
kepada umat Muslim untuk saling mengajak kepada kebaikan, bukan memaksa.
Sekiranya umat Muslim sudah mengajak dengan baik dan lemah lembut ke orang
non-Islam untuk masuk dalam agama Islam, tetapi orang non-Islam itu tetap pada
keyakinannya dan tidak mau memeluk agama Islam, maka sepenuhnya kita serahkan
kepada Allah SWT, karena hanya Allah SWT yang mampu memberikan hidayah dan
petunjuk kepada umat manusia. Dalam Tafsir Ibnu Katsir penulis juga
menyimpulkan, bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai hak untuk memberikan
hidayah kepada manusia lain dengan cara menggiringnya masuk ke dalam agama
Islam, karena hanya Allah SWT yang mampu berbuat demikian. Allah SWT berhak
memberikan hidayah dan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki dan
Allah juga berhak tidak memberikan petunjuk bagi siapapun yang tidak
dikehendaki-Nya. Bagaimanapun, karena ini menyangkut masalah keimanan dan
keyakinan dalam beragama, maka penulis merasa keimanan itu didasarkan pada
suatu keimanan yang telah diyakini sebetul-betulnya, bukan pada suatu penekanan
yang datang dari luar diri manusia, baik itu dari kehidupan lingkungan keluarga
maupun kehidupan lingkungan masyarakat.
b.
Hak
untuk Hidup dan Menjaga Hidup
Dalam Al-Quran terdapat sekitar 80
ayat tentang hak yang mengatur kehidupan, pemeliharaan hidup dan penyediaan
sarana kehidupan, misalnya pada surah Al-Baqarah[2]: 93, 84-85 dan 178,
An-Nisaa[4]: 29-30 dan 92, Al-Ma’idah[5]: 32 dan 63, An-Nahl[16]: 59,
Al-Israa’[17]: 33 dan lain sebagainya. Disini penulis memilih untuk mengkaji
lebih mendalam terhadap Surah Al-Ma’idah[5] ayat 32 :
ô`ÏBÈ@ô_r&y7Ï9ºs$oYö;tF24n?tãûÓÍ_t/@ÏäÂuó Î)¼çm¯Rr&`tB@tFs%$G¡øÿtRÎötóÎ/C§øÿtR÷rr&7$|¡sùÎûÇÚöF{$#$yJ¯Rr'x6sù@tFs%}¨$¨Z9$#$YèÏJy_ô`tBur$yd$uômr&!$uK¯Rr'x6sù$uômr&}¨$¨Y9$#$YèÏJy_4ôs)s9uróOßgø?uä!$y_$uZè=ßâÏM»uZÉit7ø9$$Î/¢OèO¨bÎ)#ZÏWx.Oßg÷YÏiBy÷èt/Ï9ºsÎûÇÚöF{$#cqèùÎô£ßJs9ÇÌËÈ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan Barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya, dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami
dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
dimuka bumi.
§
Asbabun
Nuzul. Kedengkian orang Yahudi kepada
Nabi Muhammad SAW memang benar-benar nyata, yaitu dengan menentang ajakannya,
meskipun bukti-bukti telah cukup atas kerasulan, kenabian dan kebenarannya.
Puncak kedengkian itu sampai kepada ancaman akan membunuh para sahabat Nabi SAW
terutama oleh pembesar mereka, maka ayat ini turun.
§
Tafsir
Ayat.Ayat pada ayat ini diterangkan
suatu ketentuaan bahwa membunuh seorang manusia berarti membunuh manusia
seluruhnya, sebagaimana memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Ayat ini
menunjukkan keharusan adanya kesatuaan umat dan kewajiban mereka masing-masing
terhadap yang lain yaitu harus menjaga keselamatan hidup dan kehidupan bersama
dan menjauhi hal-hal yang membahayakan orang lain.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau berpendapat bahwa barangsiapa yang
membunuh seorang manusia tanpa sebab, seperti karena qishash atau karena
membuat kerusakan di muka bumi, dan dia menghalalkan pembunuhan tersebut tanpa
sebab dan tanpa kejahatan, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya, karena bagi Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa
yang lainnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan, yaitu mengharamkan
pembunuhan atas suatu jiwa dan menyakini hal itu, berarti dengan demikian,
telah selamatlah seluruh umat manusia darinya.[2]
§
Analisis
Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun
nuzul dan tafsir surah Al-Ma’idah[5] ayat 32 dapat penulis simpulkan, bahwa
Islam menegaskan hak hidup dan hakasasi yang paling utama bagi manusia. Hukum Islam
sangat melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, yaitu melalui
larangan membunuh, ketentuan qishas, dan larangan bunuh diri. Selanjutnya
penulis ingin mengatakan bahwa ayat ini menegaskan tentang pembunuhan terhadap
satu orang saja, itu artinya sudah sama dengan pembunuhan terhadap seluruh
manusia, begitupun sebaliknya dalam memelihara kehidupan satu orang saja itu
berarti memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Oleh karena itu, hak untuk hidup
dan menjaga hidup sudah melekat pada jiwa setiap manusia sejak ia dilahirkan,
tinggal bagaimana agar manusia itu berusaha menjadi insan yang terbaik di dunia
dan akhirat kelak dengan senantiasa melaksanakan segala perintah-perintah Allah
SWT dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya.
c.
Hak
dalam Prinsip Kepemilikan
Ayat yang berkaitan dengan prinsip
kepemilikan, yaitu mengacu pada Surah Al-Baqarah[2] ayat 188. Penjelasan yang
lebih mendalam tentang ayat ini, sebagai berikut :
wur(#þqè=ä.ù's?Nä3s9ºuqøBr&Nä3oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/(#qä9ôè?ur!$ygÎ/n<Î)ÏQ$¤6çtø:$#(#qè=à2ù'tGÏ9$Z)Ìsùô`ÏiBÉAºuqøBr&Ĩ$¨Y9$#ÉOøOM}$$Î/óOçFRr&urtbqßJn=÷ès?ÇÊÑÑÈ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.
§
Asbabun
Nuzul. Sebab turunnya ayat ini ialah
seperti yang diriwayatkan bahwa Ibnu Asywa Al-Hadrami dan Imri’il Qais,
terlibat dalam suatu perkara soal tanah yang masing-masing tidak dapat
memberikan bukti. Maka Rasulullah saw menyuruh Imri’il Qais (sebgai terdakwa
yang ingkar) supaya bersumpah. Tatkala Imri’il Qais hendak melaksanakan hal
itu, turunlah ayat ini.
§
Tafsir
Ayat.Ayat ini menegaskan penjaminan hak
kepemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan
harta orang lain yang bukan haknya. Dalam Tafsir Departemen Agama RI, ayat ini
melarang agar kita tidak memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil.
Ulasan tersebut dapat memperjelas kepada kita bahwa di dalam Al-Qur’an memang
terdapat penjelasan mengenai prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau dalam tafsirnya mengatakan bahwa Ali
bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan dengan
dengan seseorang yang mempunyai tanggungan harta kekayaan tetapi tidak ada
saksi terhadapnya dalam hal ini, lalu ia mengingkari harta itu dan
mempersengketakannya kepada penguasa, sementara itu ia sendiri mengetahui bahwa
harta itu bukan menjadi haknya dan mengetahui bahwa ia berdosa, memakan barang
haram. Selanjutnya dikatakan pula bahwa janganlah engkau bersengketa sedang
engkau mengetahui bahwa engkau dzhalim.[3]
§
Analisis
Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun
nuzul dan tafsir Surah Al-Baqarah[2] ayat 188 dapat penulis simpulkan pada
bagian pertama dari ayat ini bahwa Allah SWT melarang agar jangan memakan harta
orang lain dengan jalan yang bathil, yang dimaksud dengan “memakan” disini
ialah”mempergunakan atau memanfaatkan”, sebagaimana yang biasa digunakan dalam
bahasa Arab dan bahasa lainnya. Dan yang dimaksud dengan “bathil” ialah dengan
cara yang tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah. Kemudian pada ayat
bagian terakhir dari ayat ini Allah SWT melarang membawa urusan harta kepada
hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian dari harta orang lain dengan
cara yang bathil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau saksi
palsu. Inilah hak dalam kepemilikan yang telah diatur dalam Al-Qur’an.
d.
Hak
dalam Persamaan di Mata Hukum
Berkenaan dengan hak manusia dan
persamaannya di mata hukum, itu terdapat dalam Q.S. Al-Ma’idah[5]: 38,
Al-Ahqaf[46]: 19, dan Al-Hujurat[49]: 13. Disini penulis memilih untuk mengkaji
lebih mendalam terhadap surah Al-Ma’idah[5] ayat 38 :
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtÏ÷r&Lä!#ty_$yJÎ/$t7|¡x.Wx»s3tRz`ÏiB«!$#3ª!$#urîÍtãÒOÅ3ymÇÌÑÈ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
§
Asbabun
Nuzul. Di zaman Rasulullah SAW, ada
seorang perempuan yang mencuri. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah
oleh orang yang kecurian. Mereka berkata: “Inilah perempuan yang telah mencuri
harta benda kami, kaumnya akan menebusnya”. Nabi SAW pun kemudian bersabda :
“Potonglah tangannya”. Maka dipotonglah tangan kanan perempuan itu. Kemudian perempuan
itu bertanya: “Apakah saya ini masih bisa diterima taubatku, Ya Rasulullah?”
Maka Rasulullah menjawab : “Ya, engkau hari ini bersih dari dosamu seperti pada
hari engkau dilahirkan oleh ibumu”. Maka turunlah ayat ini.
§
Tafsir
Ayat.Menurut tafsir Departemen Agama
RI, ayat ini menjelaskan hukuman terhadap orang-orang yang mencuri, baik
laki-laki maupun perempuan. Setiap kejahatan ada hukumannya. Pelakunya akan
dikenakan hukuman karena ia melanggar larangan mencuri. Seseorang baik
laki-laki maupun perempuan yang mengambil harta orang lain dari tempatnya yang
layak dengan diam-diam, dinamakan “pencuri”.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya yaitu Ibnu Katsir, beliau dalam tafsirnya mengatakan bahwa
sebagian fuqaha’ dari kalangan penganut faham Azh-Zhahiri berpendapat, bahwa
jika seseorang mencuri, maka tangannya harus dipotong, baik ia mencuri dalam
jumlah yang sedikit maupun banyak, yang demikian itu didasarkan pada keumuman
ayat diatas. Mereka tidak memperhatikan batas ukuran tertentu barang yang dicuri,
dan tidak pula pada barang yang dilindungi atau tidak dilindungi, tetapi mereka
hanya melihat pada pencurian semata. Lebih lanjut Ibnu Abbas juga menambahkan
bahwa Ayat itu bersifat umum, tidak bersifat khusus.[4]
§
Analisis
Kajian Penulis.Berdasarkan asbabun
nuzul dan tafsir surah Al-Ma’idah[5] ayat 38 dapat penulis simpulkan, bahwa
Islam menegaskan adanya pengakuan persamaan yang mencakup persamaan kedudukan
setiap manusia di depan hukum, terlepas dari identitasnya di mata manusia
lainnya, karena itu Islam memberikan kepada umatnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang sama dalam menjalankan suatu ketentuan hukum, tanpa dibedakan apakah ia
laki-laki ataupun perempuan. Ayat ini menegaskan tentang hukuman potong tangan
bagi para pencuri, baik dia laki-laki maupun dia perempuan. Hal tersebut
dilakukan sebagai balasan dan pertanggung-jawaban dari apa yang telah
diperbuatnya.
C. Penutup
Hak Asasi
Manusia (HAM) sangat penting bagi setiap manusia, karena hal itu merupakan
suatu fitrah yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada setiap manusia, tetapi memang
perlu dipahami karena aturan mengenai HAM yang ada saat ini tidak mempunyai
standar dalam implementasinya, maka hal yang muncul adalah tindak
penyelewengan, baik itu dari segi teori maupun di dalam implementasinya. Solusinya,
kembali lagi kepada individu tersebut, bagaimana ia menyadari sebagai umat yang
beragama, kita memang diberikan hak dan kebebasan, tetapi disaat yang sama kita
juga mempunyai tanggung jawab kepada Tuhan atas semua perbuatan yang kita
lakukan. Jadi dengan kata lain, kebebasan yang kita miliki juga terikat penuh
dengan aturan Tuhan. Jika semua manusia memiliki pemahaman seperti ini, paling
tidak penyelewengan atau pelanggaran terhadap HAM bisa diminimalisir.
Daftar Rujukan
Al-Hafizh Ibnu Katsir. Lubaabut
Tafsir min Ibnu Katsiir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abdurrahim Mu’thi, dan Abu
Ihsan Al-Atsari. 2005. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I – VIII, Bogor:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Balai Diklat Keagamaan Bandung. 2003. Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an Al-Hadits dan Ijtihad Ulama.
Website http://bdkbandung.kemenag
.go.id/jurnal/259-hak-asasi-manusia-dalam-persfektif-alqur-an-alhadits-dan-ijtihad-ulama.
Hasan Abu Ali Al-Hasany An-Nadawy.
1983. As-Sirah An-Nabawiyah. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Junaidi, Idrus. 2004. Rekonstruksi
Pemikiran Nurcholish Majid Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia.
Yogyakarta: Logung Pustaka.
Mahfud, Moh. 2001. Dasar dan Stuktur
Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Majalah Al-Wai’e, No. 88 Tahun VIII,
1-31 Desember 2007, hal 19.
Naifu. 2010. Hak Asasi Manusia dalam
Perspektif Al-Qur’an. Blogsite https://
naifu.wordpress.com/2010/07/08/hak-asasi-manusia-dalam-perspektif-al-qur’an/.
Nasution, Harun. 1987. Hak Asasi
Manusia dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Putra, Dalizar. 1995. Hak Asasi
Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT Al-Husna Zikra.
[1]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 (PDF), Jilid I (Bogor: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i), hlm. 515.
[2]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (PDF), Jilid III (Bogor: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i), hlm. 73.
[3]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 (PDF), Jilid I (Bogor: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i), hlm. 361.
[4]Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (PDF), Jilid III (Bogor: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i), hlm. 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar