SIFAT-SIFAT MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
(DALAM SURAH SURAT THA HA AYAT 10, SURAH AL-NUR AYAT 27 DAN SURAH
AL-ZUMAR AYAT
8)
Noor Azmi (15770062)
A. Pendahuluan
Tafsir merupakan salah satu cara untuk
mengetahui makna dalam suatu ayat atau surah dalam al-Qur’an. Tanpa menggunakan
tafsir seseorang akan kesulitan dalam mengungkapkan apa yang seharusnya
diketahui. Walaupun ada yang berpendapat tanpa melewati tafsir seseorang tidak
akan mampu memahami makna terdalam dari al-Qur’an. Kendatipun demikian sebagai
manusia tentu makna “otoritatif” adalah hal yang mutlak bagi-Nya mengetahui apa
yang disampaikan melalui Kalam-nya yakni al-Qur’an. Namun disisi lain al-Qur;an
sendiri memberikan kewenangan bagi pembacanya untuk melakukan sebuah perenungan
yang mendalam mengenai pesan-pesan yang disampaikan. Sebagaimana yang diketahui
dan diyakini, al-Qur’an diturunkan Allah
sebagai petunjuk dan pembimbing mahluk –mahluk disetiap ruang dan waktu.[1]
Oleh karena itu, agar al-Qur’an terlepas
dari “ketidaksucian” dari para mufassir. Para mufassir memberikan jalan, cara,
petunjuk bagi seseorang untuk melakukan kajian mendalam terhadap al-Qur’an.
Salah satunya melalui metode maudhui (tafsir tematik). Tafsir tematik
pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an. Ada
dua cara dalam tata kerja metode tafsir mawdhui : Pertama, dengan cara
menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang suatu masalah
(maudui/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda dan
tersebar dalam pelbagai surah al-Qur’an. Kedua, penafsiran yang
dilakukan berdasarkan surat al-Qur’an.[2] Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Ahmad
Sayyid al-Kumi. Beliau adalah ketua jurusan Tafsir Hadir, Fakultas Ushuluddin,
Universitas al-Azhar sampai tahun 1981.[3]
Dengan demikian penulis akan mencoba
melakukan tafsir secara tematik yang berkaitan dengan konsep manusia didalam
al-Qur’an.
B. Pembahasan
1. Konsep Manusia
Al-nas, al-basyar, bani Adam, tiga kata
ini digunakan untuk menyebutkan manusia. Al-nas
diambil dari kata nasiya atau al-nisyan bermakna lupa, pelupa, atau
lalai. Kata ini sering digunakan Allah
dalam al-Qur’an untuk menunjukkan sifat
manusia yang kadang memang sering pelupa dan lalai.
Kata insan jika dilihat dari asalnya
nasiya, yang artinya lupa menunjukkan adanya keterkaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap
sesuatu hal, disebabkan ia kehilangan
kesadaran terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, dalam agama, jika
seseorang lupa pada suatu kewajiban yang
seharusnya dilakukannya, ia tidak berdosa. Dalam hal ini tentunya kelupaan
menjadi sebab ia tidak dihukumi dalam meninggalkan sholat. Sifat pelupa inilah yang sering dikaikan
dengan segala hukum yang diperintahkan
tetapi ia tidak termasuk berbuat dosa. Misalnya, seseorang tidur sampai
ia melewati waktu sholat hingga ia menenui waktu sholat selanjuntya. Dalam hal
keadaan tersebut ia tidak berdosa meninggalkan sholat yang seharusnya menjadi
kewajiban baginya.
Menurut Musa Asya’ari, jika kata insan
dilihat asal kata anasa, yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan meminta
izin, mengandung, pengertian terkait dengan kemampuan penalaran. Dengan
penalarannya manusia dapat mengambil
pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan
apa yang salah, dan mendorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan
miliknya.[4]
Sedangkan kata insan, lanjut Musa
Asy’ari, jika dilihat dari asal usulnya adalah al-uns yang berarti jinak,
mengandung pengertian adanya kesadaran penalaran. Manusia pada dasarnya adalah jinak
dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia mempunyai adaptasi yang cukup tinggi
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik
perubahan sosial maupun perubahan alamiyah. Manusia menghargai tata auran etik,
sopan dan sebagai mahluk yang berbudaya, ia tidak liar, baik secara sosial
maupun alamiah. [5]
Kata insan dalam al-Qur;an dipakai untuk
manusia yang tungal sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaknya dipakai al-nas,
unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan dipakai dalam
al-Qur;an seanyak 65 kali dalam 63 ayat. Kata ins disebut 18 kali dalam 17
ayat. Kata al-nas disebut 241 kali dalam 225 ayat. Kata unasi disebut 1 kali
dalam 1 ayat. Sedangkan kata basyar disebut 36 kali dalam 36 ayat.
Dalam al-Quran terdapat pula dua kata
insan, yaitu anas dan nasiya. Kata anas dipakai untuk ketiga arti yang
dimilikinya pertama, abshara yang berarti melihat dalam surat Tha Ha ayat 10.
øÎ) #uäu #Y$tR tA$s)sù Ï&Î#÷dL{ (#þqèWä3øB$# þÎoTÎ) àMó¡nS#uä #Y$tR þÌj?yè©9 /ä3Ï?#uä $pk÷]ÏiB C§t6s)Î/ ÷rr& ßÉ`r& n?tã Í$¨Z9$# Wèd ÇÊÉÈ
Artinya,
“10. Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya:
"Tinggallah kamu (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan
aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk
di tempat api itu".[6]
Kedua, Isti’dzan, meminta izin seperti dalam surah
al-Nur ayat 27
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=äzôs? $·?qãç/ uöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4
öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 crã©.xs? ÇËÐÈ
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
Adapun untuk kata nasiya yang artinya
lupa, tersebut dalam Surah al-Zumar ayat
8 yaitu:
* #sÎ)ur ¡§tB z`»|¡SM}$# @àÑ $tãy ¼çm/u $·7ÏZãB Ïmøs9Î) §NèO #sÎ) ¼çms9§qyz ZpyJ÷èÏR çm÷ZÏiB zÓŤtR $tB tb%x. (#þqããôt Ïmøs9Î) `ÏB ã@ö7s% @yèy_ur ¬! #Y#yRr& ¨@ÅÒãÏj9 `tã ¾Ï&Î#Î7y 4
ö@è% ôìGyJs? x8Íøÿä3Î/ ¸xÎ=s% (
y7¨RÎ) ô`ÏB É=»ptõ¾r& Í$¨Z9$# ÇÑÈ
Artinya:
8. Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, Dia memohon (pertolongan)
kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan
nikmat-Nya kepadanya lupalah Dia akan kemudharatan yang pernah Dia berdoa
(kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia mengada-adakan
sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya.
Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu Sementara waktu;
Sesungguhnya kamu Termasuk penghuni neraka".
Kata insan dan
serumpunnya, dipakai al-Qur’an untuk menyatakan manusia dalam lapangan yang amat
luas. Kata insan antara lain digunakan
untuk menyatakan:
a. Manusia menerima
pelajaran daru Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ
Artinya : 1. bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
b. Manusia memikul amanat
dari Tuhan
öNä3rOu÷rr&ur öNåkyÎör& öNèdt»tÏur öNçlm;ºuqøBr&ur $ZÊör&ur öN©9 $ydqä«sÜs? 4
c%x.ur ª!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #\Ïs% ÇËÐÈ
Artinya
: 27. dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta
benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak[7] dan
adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.
c. Tentang waktu bagi
manusia, yang harus digunakan agar tidak merugi
ÎóÇyèø9$#ur
ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 Aô£äz ÇËÈ wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
(#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Îö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya:
1. demi masa. 2. Sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Selanjutnya kata
al-ins antara lain dipakai al-Qur’an untuk manusia yang mendapatkan tantangan
dari Tuhan. Tantangan itu, antara lain :
d. Untuk menembus ruang
angkasa (QS. Ar-Rahman: 33).
u|³÷èyJ»t Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó$# br& (#räàÿZs? ô`ÏB Í$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (#räàÿR$$sù
4 w cräàÿZs? wÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ
Artinya: 33.
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru
langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan
kekuatan.
d.
Tantangan untuk membuat Al-Qur’an yang tak akan bisa dilaksanakan manusia (QS.
Al-Isra: 88).
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ß§RM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù't È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# w tbqè?ù't ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur c%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZÎgsß ÇÑÑÈ
Artinya:
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain".
Sedangkan kata
unasi dipakai al-Qur’an dalam kaitan
dengan hal-hal sebagai berikut :
e.
Tentang air minum (QS. Al-A’raf: 160)
ãNßg»oY÷è©Üs%ur óÓtLoYøO$# nouô³tã $»Û$t7ór& $VJtBé& 4
!$uZøym÷rr&ur 4n<Î) #ÓyqãB ÏÎ) çm8s)ó¡oKó$# ÿ¼çmãBöqs% Âcr& >ÎôÑ$# $|ÁyèÎn/ tyfyÛø9$# (
ôM|¡yft7/R$$sù çm÷YÏB $tFt^øO$# nouô³tã $YZøtã (
ôs% zNÎ=tæ @à2 <¨$tRé& öNßgt/uô³¨B 4
$uZù=¯=sßur ãNÎgøn=tæ zN»yJtóø9$# $uZø9tRr&ur ãNÎgøn=tæ ÆyJø9$# 3uqù=¡¡9$#ur (
(#qè=à2 `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOà6»oYø%yu 4
$tBur $tRqßJn=sß `Å3»s9ur (#þqçR%2 öNåk|¦àÿRr& cqßJÎ=ôàt ÇÊÏÉÈ
Artinya: 160.
dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah
besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya:
"Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya
duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum
masing-masing. dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada
mereka manna dan salwa[8].
(kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami
rezkikan kepadamu". mereka tidak Menganiaya Kami, tapi merekalah yang
selalu Menganiaya dirinya sendiri.
f.
Tentang pemimpin di akhirat (QS. Al-A’raf: 71)
tA$s% ôs% yìs%ur Nà6øn=tæ `ÏiB öNä3În/§ Ó§ô_Í ë=Òxîur (
ÓÍ_tRqä9Ï»pgéBr& þ_Îû &ä!$yJór& !$ydqßJçGø£Jy óOçFRr& Nä.ät!$t/#uäur $¨B tA¨tR ª!$# $pkÍ5 `ÏB 9`»sÜù=ß 4
(#ÿrãÏàtFR$$sù ÎoTÎ) Nà6yètB z`ÏiB úïÌÏàtGYßJø9$# ÇÐÊÈ
Artinya: 71. ia berkata: "Sungguh sudah
pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". Apakah kamu sekalian
hendak berbantah dengan aku tentang Nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek
moyangmu menamakannya, Padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk
itu? Maka tunggulah (azab itu), Sesungguhnya aku juga Termasuk orang yamg
menunggu bersama kamu".
2. Tafsir ayat mengenai
konsep manusia
a. Kata Anas
b. Kata anas yang memiliki
arti melihat. Yaitu : Surat Tha Ha ayat 10.
øÎ) #uäu #Y$tR tA$s)sù Ï&Î#÷dL{ (#þqèWä3øB$# þÎoTÎ) àMó¡nS#uä #Y$tR þÌj?yè©9 /ä3Ï?#uä $pk÷]ÏiB C§t6s)Î/ ÷rr& ßÉ`r& n?tã Í$¨Z9$# Wèd
Artinya:
10. Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya:
"Tinggallah kamu (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan
aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk
di tempat api itu".
Ucapan nabi Musa
a.s, kepada keluarganya umkutsu/tinggallah kamu, yang menggunakan bentuk jamak, mengisyaratkan bahwa ketika itu
yang berangkat bersama beliau menuju mesir bukan hanya beliau berdua dengan
istrinya, tetapi ada lagi anggota keluarga yang lain boleh jadi anak-anaknya,
boleh juga pembantu. Mereka itulah yang dimintannya untuk menunggu sampai
beliau membawa api. Selanjutnya ucapan beliau àMó¡nS#uä
þÎoTÎ) sesungguhnya aku melihat api
mengesankan bahwa api tersebut hanya hanya dilihat sendiri oleh Nabi Musa as,
dan karena itu beliau menggunakan kata penguat þÎoTÎ)
/ sesungguhnya, yang biasanya tidak digunakan kecuali terhadap mitra bicara
yang ragu terhadap perbincangan. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya pada awal
ayat sepuluh itu yang menyatakan idz ra’a naran/ ketika ia melihat api
bukannya menyatakan idz ra’a naran/ketika melihat api. Api yang dilihat oleh Nabi Musa as. Itu
sangat jelas, sebagaimana difahami oleh
kata (Mó¡nS#uä)
anastu yang terambil dari kata anasa
yang berarti melihat sesuatu dengan sangat jelas. Api tersebut agaknya dilihat dimalam hari dan
boleh jadi ini terjadi dimusim dingin, sebagaimana dikesankan oleh ucapan Nabi Musa. As, bahwa beliau akan membawa
sedikit darinya, yakni bara api. [9]
Menurut
Ibnu Katsir bercerita tentang nabi Musa yang berangkat menuju Mesir setelah
sekian lama meninggalkannya, lebih dari sepuluh tahun. Dia bersama istrinya
lalu ia tersesat yang pada waktu itu
sangat dingin. Kemudian dia singgah disuatu tempat antara bukit dan
gunung dengan cuaca yang sangat dingin
dimusim dingin dipenuhi dengan awan, kegelapan, dan berkabut. Dia
berusaha mencari percikan api dari benturan batu untuk memberi kehangatan,
sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan baginya. Tetapi dia tidak mendapatkan
percikan api darinya. Ketika keadaan seperti itu, tiba-tiba muncul api dari
samping gunung Thursina, maksudnya, muncul api dari samping gunung yang berada
disebelah kanannya. Kemudian dia memberi tahukan hal itu kepada keluarganya “Sesungguhnya
aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya kepadamu”
yakni sepercik api. Dan dalam ayat lain “Atau (membawa) sesuluh api “
yakni, bara api yang menyala. “Agar kamu dapat menghangatkan badan (QS.
al-Qashash: 29), yang menunjukan adanya hawa dingin.[10]
Kata
anastu berarti aku telah melihat api berarti Nabi Musa
melihat sesuatu yang diberikan kepada berupa kemampuan melihat api. Padahal
pada saat itu keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan sebuah api karena
keadaan cuaca yang sangat dingin disekitar itu. Oleh karena itu, Nabi Musa
mengatakan bahwa beliau sungguh aku melihat sesuatu yang kalian inginkan yakni
kehangatan disaat kedinginan melanda orang yang mengikutinya pada waktu itu.
Akan tetapi, bagi yang lain tentunya tidak masuk akal jika ada api disaat cuaca, udara sangat dingin.
Dalam hal ini Nabi Musa ingin mengungkapkan apa yang dilihatnya itu adalah api,
lalu beliau menggunakan kata sungguh agar mereka lebih percaya terhadap
apa yang dilihatnya.
c.
Kata anas yag memiliki pengertian Isti’dzan, meminta
izin seperti dalam surah al-Nur ayat 27
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=äzôs? $·?qãç/ uöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4
öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 crã©.xs? ÇËÐÈ
27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
Sebab Turun ayat
ini diriwayatkan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan pengaduan seorang wanita Anshar yang berkata: Wahai
Rasulullah, saya dirumah dalam keadaan
enggan dilihat oleh seseorang, tidak ayah tidak pula anak. Lalu, ayah
masuk menemuiku, dan ketika beliau masih dirumah, datang lagi seorang dari
keluarga. Sedang saya ketika itu masih
dalam keadaan semua (belum siap bertemu seseorang). Maka, apa yang harus saya
lakukan? Nah, menjawab keluhannya,
turunlah ayat ini yang menyatakan : Hai orang-orang yang beriman, janganlah salah
seorang dari kamu memasuki
rumah tempat tinggal yang bukan rumah tempat tinggal kamu sebelum kamu meminta izin kepada
yang berada dalam rumah dan mengetahui
bahwa dia bersedia menerima kamu dan
sebelum kamu memberi salam
kepada penghuninya. Yang demikian itu, yakni meminta
kerelaan mengucapkan salam. Lebih baik bagi kamu daripada masuk
tanpa kerelaannya dan atau cara menggunakan cara jahiliyah dalam meminta izin. Allah menuntun kamu
dengan tuntutan ini agar kamu selalu ingat bahwa itulah yang terbaik buat kamu karena kamupun enggan didadak oleh
pengunjung tanpa persiapan dan kerelaan kamu. Jika kamu tidak
mendapatkan seorangpun didalamnya. Yakni dalam rumah-rumah yang kamu kunjungi itu tidak ada orang sama
sekali atau tidak ada yang berwenang mengizinkan atau yang berwenang melarang
kamu masuk, maka janganlah kamu memasukinya sampai , yakni sebelum kamu mendapatkan izin dari yang
berwenang karena, jika kamu masuk, kamu melanggar hak dan kebebasan
orang lain. Dan jika dikatakan kepada
kamu oleh penghuni atau siapapun kembali sajalah maka kembalilah karena tidak ada seorang pun
boleh masuk kerumah orang lain tanpa izin penghuni yang sah.
Kata #qÝ¡ÎSù'tGó¡n@
terambil dari kata uns yaitu
kedekatan, ketenangan hati, dan keharmonisan. Penambahan huruf sin dan ta’ pada kata
ini bermakna permintaan.
Dengan demikian penggalan ayat ini
bermakna permintaan. Dengan demikian, penggalan ayat ini memerintahkan
mitra bicara untuk melakukan sesuatu
yang mengundang simpati tuan rumah agar
mengizinkan masuk kerumah sehingga ia tidak
didadak dengan kehadiran seseorang tanpa persiapan. Dengan kata lain perintah diatas adalah
perintah meminta izin. Ini karena rumah pada prinsipnya adalah tempat istirahat
dan dijadikan perlindungan bukan saja dari bahaya, tetapi juga dari hal-hal
yang penghuninya malu bila terlihat oleh orang luar. Rumah adalah tempat
penghuninya mendapatkan kebebasan pribadinya dan disanalah ia dapat mendapatkan
privasinya secara sempurna. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh tamu untuk maksud tersebut, misalnya mengetuk
pintu, berdehem, berzikir dan lain-lain. [11]
Menurut Ibnu Katsir ayat ini merupakan
ada syar’i yang Allah ajarkan kepada hamba-hambanya yang beriman yaitu adab
meminta izin. Allah memerintahkan mereka agar tidak memasuki rumah orang lain
sebelum meminta izin, lalu megucapkan salam. Hendaklah ia meminta izin sebanyak
tiga kali, apabila tidak diizinkan hendaklah ia kembali.
Manusia sebagai mahluk yang mengerti
akan simbol melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dilihatnya atau
diketahuinya. Akan tetapi simbol tanpa aturan membuat manusia seperti melakukan
sesuatu terkadang tanpa memiliki etika. Sebuah pelajaran bagi seseorang tatkala
ia ingin bertemu seseorang dirumahnya tentu memiliki perbedaan saat bertemu
dtempat lain. Rumah sebagai simbol kepribadian seseorang yang artinya seseorang
yang bukan bagian dari pemilik rumah harus mengetahui aturan yang berlaku.
Tidak memaksa apalagi mengancam. Ayat tersebut memberikan contoh bagaimana
bertemu seseorang saat bertemu seseorang ketika yang dicari tidak ada dirumah maka ketika ketiga
panggilan tak ada respon maka diharuskan pulang dan mencari lagi dilain waktu.
d.
Kata Nasiya dalam Surah al-Zumar ayat 8
* #sÎ)ur ¡§tB z`»|¡SM}$# @àÑ $tãy ¼çm/u $·7ÏZãB Ïmøs9Î) §NèO #sÎ) ¼çms9§qyz ZpyJ÷èÏR çm÷ZÏiB zÓŤtR $tB tb%x. (#þqããôt Ïmøs9Î) `ÏB ã@ö7s% @yèy_ur ¬! #Y#yRr& ¨@ÅÒãÏj9 `tã ¾Ï&Î#Î7y 4
ö@è% ôìGyJs? x8Íøÿä3Î/ ¸xÎ=s% (
y7¨RÎ) ô`ÏB É=»ptõ¾r& Í$¨Z9$# ÇÑÈ
8. dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, Dia memohon
(pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan
memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah Dia akan kemudharatan yang pernah Dia
berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia
mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu
Sementara waktu; Sesungguhnya kamu Termasuk penghuni neraka".
Ayat diatas menyatakan apabila manusia yang
durhaka disentuh mudharat, yakni musibah walau kecil, ia memohon pertolongan
kepada Tuhannya Pemelihara yang selama ini berbuat baik kepadanya,
sambil kembali kepada-Nya-walau sebelum itu
ia selalu membangkang dan durhaka. Ia kembali karena fitrahnya yang suci
sehingga ia menyadari bahwa Allah saja
yang dapat menolongnya. Kemudian sungguh jauh perbedaan sikapnya sesudah itu, yakni apabila Dia,
yakni Allah, menganugerahkan secara mantap dan dari saat kepadanya
nikmat dari sisi-Nya, lupalah ia akan apa,
yakni kemudharatan, yang pernah terus-menerus ia mohonkan kepada
Allah sebelum ini, yaitu kiranya yang Mahakuasa menghilangkan
kemudharatan itu, dan ia mengada-adakan bagi Allah yang Maha Esa sekutu-sekutu
sehingga akibatnya ia menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain dari dari jalan-Nya. Katakanlah,
wahai Nabi Muhammad kepada setiap orang dintara mereka itu dengan nada mengecam
dan mengancam bahwa “Bersenang-senang di dunia ini dengan kekafiranmu
kesenangan yang sedikit kadar da waktunya itu; Sesungguhnya engkau- bila
terus menerus dalam kekafiran mu itu tentulah
akan termasuk dalam kelompok penghuni
neraka. Sementara ulama menyebut nama-nama tertentu untuk menjelaskan siapa
yang dimaksud dengan al-insan/ manusia
pada ayat diatas, yaitu seperti Abu Jahl dan ‘Urbah Ibn Rabiah. Tetapi,
pada hakikatnya nama-nama tersebut adalah contoh dari jenis manusia yang
durhaka.[12]
Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir pada Firman Allah “Dan
apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan kepada
Rabbnya dengan kembali kepada-Nya,” Yaitu, ketika butuh dia merendahkan
diri dan memohon bantuan kepada Allah Mahaesa yang tidak ada sekutu baginya. “Kemudian
apabila Dia memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudharatan yang
dia pernah berdoa (kepada Allah) untuk
(menghilangkannya) sebelum itu. “Yaitu, disaat senang, dia lupa berdoa dan
penyerahan dirinya itu. Dan firman
Allah Ta’ala “Dan dia mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan-Nya. “Yaitu, disaat sehat, dia menyekutukan Allah dan
mengadakan sekutu-sekutu bagi-Nya. “Katakanlah bersenang-senanglah dengan kekafiranmu
itu sementara waktu: sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka” yaitu,
katakanlah kepada orang yang
bersikap, berbuat, dan langkahnya seperti itu: “Bersenang-senanglah dengan
kekafiranmu sementara waktu saja.” Itulah sebuah teguran keras dan ancaman yang
sangat tegas. [13]
Manusia sebagai mahluk yang memilliki kemampuan
mengingat (memori) terkadang
memiliki kecenderungan melupakan dalam hal ini ditegaskan pada tafsir
ayat diatas bahwa manusia sering kali melupakan apa yang diberikan Allah terhadapnya.
Saat ia menginginkan sesuatu yang dikehendakinya ia seperti menunduk, merendahkan diri. Akan
tetapi saat ia sudah mendapatkan apa yang dikehendakinya ia melupakan apa yang
telah diberikan tuhan terhadap-Nya. Karena sifat melupa manusia ini merupakan
salah satu sifat yang dimiliki tentu ia melekat pada diri manusia.
3.
Lupa Perspektif Psikologi dan Perpektif Islam
Sifat lupa dapat
didefiniskan sebagai kelemahan alamiah pada seseorang baik secara parsial atau
keseluruhan (general); Permanen maupun tidak, untuk mengingat berbagai pengetahuan atau keahlian fisi
tertentu yang dia miliki sebelumnya. Selain itu, lupa juga dapat diartikan
sebagagai ketidak mampuan untuk mengembalikan ingatan atau melakaukan
pengenalan terhadap sesuatu atau melakukannya padahal berbagai situasi dan
perangkat yang biasanya bisa mewujudkan aktivitas tersebut, seperti kebutuhan,
perhatian, upaya, maupun kondisi sekitar yang kondusif, telah terpenuhi. Dengan
demikian sifat lupa ini telah menghalangi seseorang dari hal-hal yang dahulu
pernah ia capai. Oleh sebab itu, dalam kajian psikologi dikenal bebrapa terma
tentang lupa seperti kemudian disbut dengan pengembalian ingatan (istirjaa’),
lupa ingatan atau, lupa diri (hilang kesadaran).[14]
Kata Lupa juga
banyak disebut oleh hadits-hadits Rasul saw., terutama dalam ranga menunjukkan
bahwa sifat ini merupakan bagian dari tabiat dasar manusia. Nafi berkata, “
Apabila Abdullah bin Umar ditamya tentang apa yang harus dilakukan seseorang yang lupa dala (jumlah rakaat)
shalatnya, dia berkata, :Hendalah orang tersebut segera berniat dan menambah
rakaat shalatnya.: (HR Maliki). Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah
memberi maaf kepada umatku terhadap hal-hal (kesalahan) yang mereka lakukan
karena tidak sengaja, terlupa, maupun terpaksa”. (HR Ibnu Majah).
C. Penutup
Dengan kata anastu
aku melihat seperti yang diungkapan Nabi
Musa, berati manusia harus melihat apa
yang ada disekitarnya. Manusia sebagai mahluk yang memiliki indera penglihatan yang tajam. Kehidupan manusia
dengan memiliki penglihatan merupakan anugerah yang diberikan Allah. Sehingga
ia dapat melakukan aktivitas sosial sehari-hari. Akan tetapi pada realitasnya manusia dianggap menuruti
hawa nafsunya secara berlebihan agar sifat tadi dapat diatur sehingga pada kata tasta’nisu agar manusia mengerti akan sebuah etika misalnya
saat ingin bertamu maupun bertemu dirumah. Manusia dilarang melewati batas
kebebasan orang lain termasuk memasuki rumahnya. Namun, manusia sering lupa
akan apa yang telah diberitahukannya kepadanya termasuk lupa apa yang diberikan
kepadanya seperi kata nasiya saat manusia diberikan kesenangan maka ia
lupa akan yang diberikan kepadanya
Daftar Rujukan
Abd.
Rahman Dahlan. 2010. Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta: Sinar Grafika
Offset.
Hakim
Muda Harahap. 2007. Rahasia Al-Qur’an: Menguak Alam semesta, Manusia,
Malaikat Keruntuhan AlamYogyakarta: Ar-ruzz Media.
Imam
Musbukin, Mutiara Al-Qur’an, Jaya Star Nine.
Sa’ad
Riyadh, 2004. . Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah, diterj. Abul Hayyie
al-Kattani, dkk Jakarta: Gema Insani.
Sihab,
M. Quraisy, 2012. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian,
(Jakarta: Lentera Hati.
Suryadilaga.
2005. M. Alfatih, Metodologi Ilmu
Tafsir, Yogyakarta: Teras.
Tafsir
Ibnu Katsir, 2005 (Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir, diterj. M. Abdul Ghoffar,
Bogor: Pustaka Imam Syafiie.
[1] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Tafsir, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2010), Cet-1, hlm. 3
[2] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), cer-I, hlm. 47
[3] Imam Musbukin, Mutiara
Al-Qur’an, Jaya Star Nine, 2014),
cet-1, 39
[4] Hakim Muda Harahap,
Rahasia Al-Qur’an: Menguak Alam semesta, Manusia, Malaikat , Keruntuhan
Alam (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007),
cet-1, hlm. 82
[5] Ibid, 83
[6] Terjemah al-Qur’an Digital
[7]
Tanah yang belum diinjak Ialah: tanah-tanah yang akan dimasuki tentara Islam.
[8]
Salah satu nikmat Tuhan kepada mereka Ialah: mereka selalu dinaungi awan di
waktu mereka berjalan di panas terik padang pasir. manna Ialah: makanan manis
sebagai madu. Salwa Ialah: burung sebangsa puyuh.
[9] M. Quraisy Sihab, Tafsir
al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian, (Jakarta: Lentera Hati,
2012), Cet-V, hlm. 563-564
[10] Tafsit Ibnu Katsir
(Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir, diterj. M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam Syafiie, 2005), cet
ke-IV, 371-372.
[11] Ibid, M. Quraisy Sihab, hlm. 520.
[12] Ibid, M. Quraisy Sihab,
hlm. 451-452.
[13] Tafsit Ibnu Katsir
(Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir, diterj. M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam Syafiie, 2005), cet
ke-IV, hlm.
[14] Sa’ad Riyadh, Jiwa
Dalam Bimbingan Rasulullah, diterj. Abul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta:
Gema Insani, 2004) hlm. 212.http://pascasarjana2015.blogspot.co.id/p/study-quran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar