Sabtu, 12 Maret 2016

SIFAT-SIFAT MANUSIA DALAM AL-QUR’AN (DALAM SURAH SURAT THA HA AYAT 10, SURAH AL-NUR AYAT 27 DAN SURAH AL-ZUMAR AYAT 8)



SIFAT-SIFAT MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
(DALAM SURAH SURAT THA HA AYAT 10, SURAH AL-NUR AYAT 27 DAN SURAH AL-ZUMAR  AYAT 8)
Noor Azmi (15770062)

A.  Pendahuluan
Tafsir merupakan salah satu cara untuk mengetahui makna dalam suatu ayat atau surah dalam al-Qur’an. Tanpa menggunakan tafsir seseorang akan kesulitan dalam mengungkapkan apa yang seharusnya diketahui. Walaupun ada yang berpendapat tanpa melewati tafsir seseorang tidak akan mampu memahami makna terdalam dari al-Qur’an. Kendatipun demikian sebagai manusia tentu makna “otoritatif” adalah hal yang mutlak bagi-Nya mengetahui apa yang disampaikan melalui Kalam-nya yakni al-Qur’an. Namun disisi lain al-Qur;an sendiri memberikan kewenangan bagi pembacanya untuk melakukan sebuah perenungan yang mendalam mengenai pesan-pesan yang disampaikan. Sebagaimana yang diketahui dan diyakini, al-Qur’an diturunkan Allah  sebagai petunjuk dan pembimbing mahluk –mahluk disetiap ruang dan waktu.[1]

Oleh karena itu, agar al-Qur’an terlepas dari “ketidaksucian” dari para mufassir. Para mufassir memberikan jalan, cara, petunjuk bagi seseorang untuk melakukan kajian mendalam terhadap al-Qur’an. Salah satunya melalui metode maudhui (tafsir tematik). Tafsir tematik pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir mawdhui : Pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur’an  yang berbicara  tentang suatu masalah (maudui/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan  yang sama, sekalipun turunnya berbeda dan tersebar dalam pelbagai surah al-Qur’an. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surat al-Qur’an.[2]  Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Ahmad Sayyid al-Kumi. Beliau adalah ketua jurusan Tafsir Hadir, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar sampai tahun 1981.[3]
Dengan demikian penulis akan mencoba melakukan tafsir secara tematik yang berkaitan dengan konsep manusia didalam al-Qur’an.
B.  Pembahasan
1.      Konsep Manusia
Al-nas, al-basyar, bani Adam, tiga kata ini digunakan untuk menyebutkan manusia. Al-nas  diambil dari kata nasiya atau al-nisyan bermakna lupa, pelupa, atau lalai. Kata ini  sering digunakan Allah dalam al-Qur’an  untuk menunjukkan sifat manusia yang kadang memang sering pelupa dan lalai.
Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya, yang artinya lupa menunjukkan adanya keterkaitan  dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu hal, disebabkan ia kehilangan  kesadaran terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, dalam agama, jika seseorang  lupa pada suatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, ia tidak berdosa. Dalam hal ini tentunya kelupaan menjadi sebab ia tidak dihukumi dalam meninggalkan sholat.  Sifat pelupa inilah yang sering dikaikan dengan segala hukum yang diperintahkan  tetapi ia tidak termasuk berbuat dosa. Misalnya, seseorang tidur sampai ia melewati waktu sholat hingga ia menenui waktu sholat selanjuntya. Dalam hal keadaan tersebut ia tidak berdosa meninggalkan sholat yang seharusnya menjadi kewajiban baginya.
Menurut Musa Asya’ari, jika kata insan dilihat asal kata anasa, yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan meminta izin, mengandung, pengertian terkait dengan kemampuan penalaran. Dengan penalarannya  manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan mendorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.[4]
Sedangkan kata insan, lanjut Musa Asy’ari, jika dilihat dari asal usulnya adalah al-uns yang berarti jinak, mengandung pengertian adanya kesadaran penalaran. Manusia pada dasarnya adalah jinak dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.  Manusia mempunyai adaptasi yang cukup tinggi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun perubahan alamiyah. Manusia menghargai tata auran etik, sopan dan sebagai mahluk yang berbudaya, ia tidak liar, baik secara sosial maupun alamiah. [5]
Kata insan dalam al-Qur;an dipakai untuk manusia yang tungal sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaknya dipakai al-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk  tunggal dan jamak. Kata insan dipakai dalam al-Qur;an seanyak 65 kali dalam 63 ayat. Kata ins disebut 18 kali dalam 17 ayat. Kata al-nas disebut 241 kali dalam 225 ayat. Kata unasi disebut 1 kali dalam 1 ayat. Sedangkan kata basyar disebut 36 kali dalam 36 ayat.
Dalam al-Quran terdapat pula dua kata insan, yaitu anas dan nasiya. Kata anas dipakai untuk ketiga arti yang dimilikinya pertama, abshara yang berarti melihat dalam surat Tha Ha ayat 10.
øŒÎ) #uäu #Y$tR tA$s)sù Ï&Î#÷dL{ (#þqèWä3øB$# þÎoTÎ) àMó¡nS#uä #Y$tR þÌj?yè©9 /ä3Ï?#uä $pk÷]ÏiB C§t6s)Î/ ÷rr& ßÉ`r& n?tã Í$¨Z9$# Wèd ÇÊÉÈ  
Artinya, “10. Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu".[6]

Kedua, Isti’dzan, meminta izin seperti dalam surah al-Nur ayat 27
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç/ uŽöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇËÐÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.

Adapun untuk kata nasiya yang artinya lupa, tersebut dalam Surah al-Zumar  ayat 8 yaitu:
* #sŒÎ)ur ¡§tB z`»|¡SM}$# @ŽàÑ $tãyŠ ¼çm­/u $·7ÏZãB Ïmøs9Î) §NèO #sŒÎ) ¼çms9§qyz ZpyJ÷èÏR çm÷ZÏiB zÓŤtR $tB tb%x. (#þqããôtƒ Ïmøs9Î) `ÏB ã@ö7s% Ÿ@yèy_ur ¬! #YŠ#yRr& ¨@ÅÒãÏj9 `tã ¾Ï&Î#Î7y 4 ö@è% ôì­GyJs? x8͍øÿä3Î/ ¸xÎ=s% ( y7¨RÎ) ô`ÏB É=»ptõ¾r& Í$¨Z9$# ÇÑÈ  
Artinya: 8. Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, Dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah Dia akan kemudharatan yang pernah Dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu Sementara waktu; Sesungguhnya kamu Termasuk penghuni neraka".
Kata insan dan serumpunnya, dipakai al-Qur’an untuk menyatakan manusia dalam lapangan yang amat luas.  Kata insan antara lain digunakan untuk menyatakan:
a.       Manusia menerima pelajaran daru Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ  
Artinya : 1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
b.      Manusia memikul amanat dari Tuhan

öNä3rOu÷rr&ur öNåkyÎör& öNèdt»tƒÏŠur öNçlm;ºuqøBr&ur $ZÊör&ur öN©9 $ydqä«sÜs? 4 šc%x.ur ª!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #\ƒÏs% ÇËÐÈ  
Artinya : 27. dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak[7] dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

c.       Tentang waktu bagi manusia, yang harus digunakan agar tidak merugi
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
(#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ  
Artinya: 1. demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Selanjutnya kata al-ins antara lain dipakai al-Qur’an untuk manusia yang mendapatkan tantangan dari Tuhan. Tantangan itu, antara lain :
d.      Untuk menembus ruang angkasa (QS. Ar-Rahman: 33).
uŽ|³÷èyJ»tƒ Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó$# br& (#räàÿZs? ô`ÏB Í$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (#räàÿR$$sù
 4 Ÿw šcräàÿZs? žwÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ  
Artinya: 33. Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.

d.      Tantangan untuk membuat Al-Qur’an yang  tak akan bisa dilaksanakan manusia (QS. Al-Isra: 88).
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ß§RM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ  
Artinya: 88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
Sedangkan kata unasi dipakai al-Qur’an dalam kaitan  dengan hal-hal sebagai berikut :
e.        Tentang air minum (QS.  Al-A’raf: 160)

ãNßg»oY÷è©Üs%ur óÓtLoYøO$# nouŽô³tã $»Û$t7ór& $VJtBé& 4 !$uZøym÷rr&ur 4n<Î) #ÓyqãB ÏŒÎ) çm8s)ó¡oKó$# ÿ¼çmãBöqs% Âcr& >ÎŽôÑ$# š$|ÁyèÎn/ tyfyÛø9$# ( ôM|¡yft7/R$$sù çm÷YÏB $tFt^øO$# nouŽô³tã $YZøŠtã ( ôs% zNÎ=tæ @à2 <¨$tRé& öNßgt/uŽô³¨B 4 $uZù=¯=sßur ãNÎgøŠn=tæ zN»yJtóø9$# $uZø9tRr&ur ãNÎgøn=tæ  ÆyJø9$# 3uqù=¡¡9$#ur ( (#qè=à2 `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOà6»oYø%yu 4 $tBur $tRqßJn=sß `Å3»s9ur (#þqçR%Ÿ2 öNåk|¦àÿRr& šcqßJÎ=ôàtƒ ÇÊÏÉÈ  


Artinya: 160. dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa[8]. (kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu". mereka tidak Menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu Menganiaya dirinya sendiri.

f.       Tentang pemimpin di akhirat (QS. Al-A’raf: 71)

tA$s% ôs% yìs%ur Nà6øn=tæ `ÏiB öNä3În/§ Ó§ô_Í ë=ŸÒxîur ( ÓÍ_tRqä9Ï»pgéBr& þ_Îû &ä!$yJór& !$ydqßJçGøŠ£Jy óOçFRr& Nä.ät!$t/#uäur $¨B tA¨tR ª!$# $pkÍ5 `ÏB 9`»sÜù=ß 4 (#ÿrãÏàtFR$$sù ÎoTÎ) Nà6yètB z`ÏiB šúï̍ÏàtGYßJø9$# ÇÐÊÈ  
Artinya: 71. ia berkata: "Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang Nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, Padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), Sesungguhnya aku juga Termasuk orang yamg menunggu bersama kamu".

2.      Tafsir ayat mengenai konsep manusia
a.       Kata Anas
b.      Kata anas yang memiliki arti melihat. Yaitu : Surat Tha Ha ayat 10.

øŒÎ) #uäu #Y$tR tA$s)sù Ï&Î#÷dL{ (#þqèWä3øB$# þÎoTÎ) àMó¡nS#uä #Y$tR þÌj?yè©9 /ä3Ï?#uä $pk÷]ÏiB C§t6s)Î/ ÷rr& ßÉ`r& n?tã Í$¨Z9$# Wèd
Artinya: 10. Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu".
Ucapan nabi Musa a.s, kepada keluarganya umkutsu/tinggallah kamu, yang menggunakan  bentuk jamak, mengisyaratkan bahwa ketika itu yang berangkat bersama beliau menuju mesir bukan hanya beliau berdua dengan istrinya, tetapi ada lagi anggota keluarga yang lain boleh jadi anak-anaknya, boleh juga pembantu. Mereka itulah yang dimintannya untuk menunggu sampai beliau membawa api. Selanjutnya ucapan beliau  àMó¡nS#uä þÎoTÎ)  sesungguhnya aku melihat api mengesankan bahwa api tersebut hanya hanya dilihat sendiri oleh Nabi Musa as, dan karena itu beliau menggunakan kata penguat þÎoTÎ) / sesungguhnya, yang biasanya tidak digunakan kecuali terhadap mitra bicara yang ragu terhadap perbincangan. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya pada awal ayat sepuluh itu yang menyatakan idz ra’a naran/ ketika ia melihat api bukannya menyatakan idz ra’a naran/ketika melihat api.  Api yang dilihat oleh Nabi Musa as. Itu sangat jelas, sebagaimana  difahami oleh kata (Mó¡nS#uä) anastu  yang terambil dari kata anasa yang berarti melihat sesuatu dengan sangat jelas. Api  tersebut agaknya dilihat dimalam hari dan boleh jadi ini terjadi dimusim dingin, sebagaimana dikesankan oleh ucapan  Nabi Musa. As, bahwa beliau akan membawa sedikit darinya, yakni bara api. [9]
       Menurut Ibnu Katsir bercerita tentang nabi Musa yang berangkat menuju Mesir setelah sekian lama meninggalkannya, lebih dari sepuluh tahun. Dia bersama istrinya lalu ia tersesat  yang pada waktu itu sangat dingin.  Kemudian  dia singgah disuatu tempat antara bukit dan gunung dengan cuaca yang sangat dingin  dimusim dingin dipenuhi dengan awan, kegelapan, dan berkabut. Dia berusaha mencari percikan api dari benturan batu untuk memberi kehangatan, sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan baginya. Tetapi dia tidak mendapatkan percikan api darinya. Ketika keadaan seperti itu, tiba-tiba muncul api dari samping gunung Thursina, maksudnya, muncul api dari samping gunung yang berada disebelah kanannya. Kemudian dia memberi tahukan hal itu kepada keluarganya “Sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya kepadamu” yakni sepercik api. Dan dalam ayat lain “Atau (membawa) sesuluh api “ yakni, bara api yang menyala. “Agar kamu dapat menghangatkan badan (QS. al-Qashash: 29), yang menunjukan adanya hawa dingin.[10]
       Kata anastu berarti  aku telah melihat api berarti Nabi Musa melihat sesuatu yang diberikan kepada berupa kemampuan melihat api. Padahal pada saat itu keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan sebuah api karena keadaan cuaca yang sangat dingin disekitar itu. Oleh karena itu, Nabi Musa mengatakan bahwa beliau sungguh aku melihat sesuatu yang kalian inginkan yakni kehangatan disaat kedinginan melanda orang yang mengikutinya pada waktu itu. Akan tetapi, bagi yang lain tentunya tidak masuk akal jika  ada api disaat cuaca, udara sangat dingin. Dalam hal ini Nabi Musa ingin mengungkapkan apa yang dilihatnya itu adalah api, lalu beliau menggunakan kata sungguh agar mereka lebih percaya terhadap apa yang dilihatnya.
c.       Kata anas yag memiliki pengertian Isti’dzan, meminta izin seperti dalam surah al-Nur ayat 27
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç/ uŽöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇËÐÈ  
27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
Sebab Turun ayat ini diriwayatkan bahwa ayat ini turun  berkenaan dengan pengaduan seorang wanita Anshar yang berkata: Wahai Rasulullah, saya dirumah dalam keadaan  enggan dilihat oleh seseorang, tidak ayah tidak pula anak. Lalu, ayah masuk menemuiku, dan ketika beliau masih dirumah, datang lagi seorang dari keluarga. Sedang  saya ketika itu masih dalam keadaan semua (belum siap bertemu seseorang). Maka, apa yang harus saya lakukan? Nah, menjawab  keluhannya, turunlah ayat ini yang menyatakan : Hai orang-orang yang beriman, janganlah salah seorang dari kamu memasuki  rumah  tempat tinggal yang  bukan rumah tempat tinggal  kamu sebelum kamu meminta izin kepada yang berada dalam rumah  dan mengetahui bahwa dia bersedia menerima kamu dan  sebelum  kamu memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu, yakni  meminta  kerelaan mengucapkan salam. Lebih baik bagi kamu daripada masuk tanpa kerelaannya dan atau cara menggunakan cara jahiliyah  dalam meminta izin. Allah menuntun kamu dengan tuntutan ini agar kamu selalu ingat bahwa itulah yang terbaik  buat kamu karena kamupun enggan didadak oleh pengunjung  tanpa persiapan  dan kerelaan kamu. Jika kamu tidak mendapatkan seorangpun didalamnya. Yakni dalam rumah-rumah  yang kamu kunjungi itu tidak ada orang sama sekali atau tidak ada yang berwenang mengizinkan atau yang berwenang melarang kamu masuk, maka janganlah kamu memasukinya sampai , yakni  sebelum kamu mendapatkan izin dari yang berwenang karena, jika kamu masuk, kamu melanggar hak dan kebebasan orang lain. Dan jika dikatakan  kepada kamu oleh penghuni atau siapapun kembali sajalah  maka kembalilah karena tidak ada seorang pun boleh masuk kerumah orang lain tanpa izin penghuni yang sah.
Kata #qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ terambil dari kata uns yaitu  kedekatan, ketenangan hati, dan keharmonisan. Penambahan  huruf sin dan ta’ pada kata ini  bermakna permintaan. Dengan  demikian penggalan ayat ini bermakna permintaan. Dengan demikian, penggalan ayat ini memerintahkan mitra bicara untuk melakukan  sesuatu yang mengundang simpati tuan rumah  agar mengizinkan masuk kerumah sehingga ia tidak  didadak dengan kehadiran seseorang tanpa persiapan.  Dengan kata lain perintah diatas adalah perintah meminta izin. Ini karena rumah pada prinsipnya adalah tempat istirahat dan dijadikan perlindungan bukan saja dari bahaya, tetapi juga dari hal-hal yang penghuninya malu bila terlihat oleh orang luar. Rumah adalah tempat penghuninya mendapatkan kebebasan pribadinya dan disanalah ia dapat mendapatkan privasinya secara sempurna. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh tamu  untuk maksud tersebut, misalnya mengetuk pintu, berdehem, berzikir dan lain-lain. [11]
Menurut Ibnu Katsir ayat ini merupakan ada syar’i yang Allah ajarkan kepada hamba-hambanya yang beriman yaitu adab meminta izin. Allah memerintahkan mereka agar tidak memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin, lalu megucapkan salam. Hendaklah ia meminta izin sebanyak tiga kali, apabila tidak diizinkan hendaklah ia kembali.
Manusia sebagai mahluk yang mengerti akan simbol melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dilihatnya atau diketahuinya. Akan tetapi simbol tanpa aturan membuat manusia seperti melakukan sesuatu terkadang tanpa memiliki etika. Sebuah pelajaran bagi seseorang tatkala ia ingin bertemu seseorang dirumahnya tentu memiliki perbedaan saat bertemu dtempat lain. Rumah sebagai simbol kepribadian seseorang yang artinya seseorang yang bukan bagian dari pemilik rumah harus mengetahui aturan yang berlaku. Tidak memaksa apalagi mengancam. Ayat tersebut memberikan contoh bagaimana bertemu seseorang saat bertemu seseorang ketika yang  dicari tidak ada dirumah maka ketika ketiga panggilan tak ada respon maka diharuskan pulang dan mencari lagi dilain waktu.
d.      Kata Nasiya dalam Surah al-Zumar  ayat 8
* #sŒÎ)ur ¡§tB z`»|¡SM}$# @ŽàÑ $tãyŠ ¼çm­/u $·7ÏZãB Ïmøs9Î) §NèO #sŒÎ) ¼çms9§qyz ZpyJ÷èÏR çm÷ZÏiB zÓŤtR $tB tb%x. (#þqããôtƒ Ïmøs9Î) `ÏB ã@ö7s% Ÿ@yèy_ur ¬! #YŠ#yRr& ¨@ÅÒãÏj9 `tã ¾Ï&Î#Î7y 4 ö@è% ôì­GyJs? x8͍øÿä3Î/ ¸xÎ=s% ( y7¨RÎ) ô`ÏB É=»ptõ¾r& Í$¨Z9$# ÇÑÈ  
8. dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, Dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah Dia akan kemudharatan yang pernah Dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu Sementara waktu; Sesungguhnya kamu Termasuk penghuni neraka".
Ayat diatas menyatakan apabila manusia yang durhaka disentuh mudharat, yakni musibah walau kecil, ia memohon pertolongan kepada Tuhannya Pemelihara yang selama ini berbuat baik kepadanya, sambil kembali kepada-Nya-walau sebelum itu  ia selalu membangkang dan durhaka. Ia kembali karena fitrahnya yang suci sehingga  ia menyadari bahwa Allah saja yang dapat menolongnya. Kemudian sungguh jauh perbedaan  sikapnya sesudah itu, yakni apabila Dia, yakni Allah, menganugerahkan secara mantap dan dari saat kepadanya nikmat dari sisi-Nya, lupalah ia akan apa,  yakni kemudharatan, yang pernah terus-menerus ia mohonkan kepada Allah sebelum ini, yaitu kiranya yang Mahakuasa menghilangkan kemudharatan itu, dan ia mengada-adakan bagi Allah yang Maha Esa sekutu-sekutu sehingga akibatnya ia menyesatkan dirinya sendiri  dan orang lain dari  dari jalan-Nya. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad kepada setiap orang dintara mereka itu dengan nada mengecam dan mengancam bahwa “Bersenang-senang di dunia ini dengan kekafiranmu kesenangan yang sedikit kadar da waktunya itu; Sesungguhnya engkau- bila terus menerus dalam kekafiran mu itu tentulah  akan  termasuk dalam kelompok penghuni neraka. Sementara ulama menyebut nama-nama tertentu untuk menjelaskan siapa yang dimaksud dengan al-insan/ manusia  pada ayat diatas, yaitu seperti Abu Jahl dan ‘Urbah Ibn Rabiah. Tetapi, pada hakikatnya nama-nama tersebut adalah contoh dari jenis manusia yang durhaka.[12] 
Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir pada Firman Allah “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan kepada Rabbnya dengan kembali kepada-Nya,” Yaitu, ketika butuh dia merendahkan diri dan memohon bantuan kepada Allah Mahaesa yang tidak ada sekutu baginya. “Kemudian apabila Dia memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudharatan yang dia pernah  berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu. “Yaitu, disaat senang, dia lupa berdoa dan penyerahan dirinya itu. Dan  firman Allah Ta’ala “Dan dia mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. “Yaitu, disaat sehat, dia menyekutukan Allah dan mengadakan sekutu-sekutu bagi-Nya. “Katakanlah bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu: sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka” yaitu, katakanlah  kepada orang yang bersikap, berbuat, dan langkahnya seperti itu: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu sementara waktu saja.” Itulah sebuah teguran keras dan ancaman yang sangat tegas. [13]
Manusia sebagai mahluk yang memilliki kemampuan mengingat (memori) terkadang  memiliki kecenderungan melupakan dalam hal ini ditegaskan pada tafsir ayat diatas bahwa manusia sering kali melupakan apa yang diberikan Allah terhadapnya. Saat ia menginginkan sesuatu yang dikehendakinya ia  seperti menunduk, merendahkan diri. Akan tetapi saat ia sudah mendapatkan apa yang dikehendakinya ia melupakan apa yang telah diberikan tuhan terhadap-Nya. Karena sifat melupa manusia ini merupakan salah satu sifat yang dimiliki tentu ia melekat pada diri manusia.
3.      Lupa Perspektif Psikologi dan Perpektif Islam
Sifat lupa dapat didefiniskan sebagai kelemahan alamiah pada seseorang baik secara parsial atau keseluruhan (general); Permanen maupun tidak, untuk mengingat  berbagai pengetahuan atau keahlian fisi tertentu yang dia miliki sebelumnya. Selain itu, lupa juga dapat diartikan sebagagai ketidak mampuan untuk mengembalikan ingatan atau melakaukan pengenalan terhadap sesuatu atau melakukannya padahal berbagai situasi dan perangkat yang biasanya bisa mewujudkan aktivitas tersebut, seperti kebutuhan, perhatian, upaya, maupun kondisi sekitar yang kondusif, telah terpenuhi. Dengan demikian sifat lupa ini telah menghalangi seseorang dari hal-hal yang dahulu pernah ia capai. Oleh sebab itu, dalam kajian psikologi dikenal bebrapa terma tentang lupa seperti kemudian disbut dengan pengembalian ingatan (istirjaa’), lupa ingatan atau, lupa diri (hilang kesadaran).[14]
Kata Lupa juga banyak disebut oleh hadits-hadits Rasul saw., terutama dalam ranga menunjukkan bahwa sifat ini merupakan bagian dari tabiat dasar manusia. Nafi berkata, “ Apabila Abdullah bin Umar ditamya tentang apa yang harus dilakukan  seseorang yang lupa dala (jumlah rakaat) shalatnya, dia berkata, :Hendalah orang tersebut segera berniat dan menambah rakaat shalatnya.: (HR Maliki). Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah memberi maaf kepada umatku terhadap hal-hal (kesalahan) yang mereka lakukan karena tidak sengaja, terlupa, maupun terpaksa”. (HR Ibnu Majah).

C.  Penutup
Dengan kata anastu aku melihat seperti  yang diungkapan Nabi Musa,  berati manusia harus melihat apa yang ada disekitarnya. Manusia sebagai mahluk yang memiliki indera  penglihatan yang tajam. Kehidupan manusia dengan memiliki penglihatan merupakan anugerah yang diberikan Allah. Sehingga ia dapat melakukan aktivitas sosial sehari-hari. Akan tetapi  pada realitasnya manusia dianggap menuruti hawa nafsunya secara berlebihan agar sifat tadi dapat diatur sehingga pada  kata tasta’nisu agar  manusia mengerti akan sebuah etika misalnya saat ingin bertamu maupun bertemu dirumah. Manusia dilarang melewati batas kebebasan orang lain termasuk memasuki rumahnya. Namun, manusia sering lupa akan apa yang telah diberitahukannya kepadanya termasuk lupa apa yang diberikan kepadanya seperi kata nasiya saat manusia diberikan kesenangan maka ia lupa akan yang diberikan kepadanya

Daftar Rujukan

Abd. Rahman Dahlan. 2010. Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Hakim Muda Harahap. 2007. Rahasia Al-Qur’an: Menguak Alam semesta, Manusia, Malaikat Keruntuhan AlamYogyakarta: Ar-ruzz Media.

Imam Musbukin,  Mutiara  Al-Qur’an, Jaya Star Nine.

Sa’ad Riyadh, 2004. . Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah, diterj. Abul Hayyie al-Kattani, dkk Jakarta: Gema Insani.
Sihab, M. Quraisy, 2012. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian, (Jakarta: Lentera Hati.

Suryadilaga. 2005.  M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras.

Tafsir Ibnu Katsir, 2005 (Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir, diterj. M. Abdul Ghoffar, Bogor: Pustaka Imam Syafiie.



[1] Abd. Rahman Dahlan,  Kaidah-kaidah Tafsir, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), Cet-1, hlm. 3
[2] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), cer-I, hlm. 47
[3] Imam Musbukin,  Mutiara  Al-Qur’an, Jaya Star Nine, 2014),  cet-1, 39
[4] Hakim Muda Harahap, Rahasia Al-Qur’an: Menguak Alam semesta, Manusia, Malaikat , Keruntuhan Alam (Yogyakarta: Ar-ruzz Media,  2007), cet-1, hlm. 82
[5] Ibid, 83
[6] Terjemah al-Qur’an  Digital 
[7] Tanah yang belum diinjak Ialah: tanah-tanah yang akan dimasuki tentara Islam.

[8] Salah satu nikmat Tuhan kepada mereka Ialah: mereka selalu dinaungi awan di waktu mereka berjalan di panas terik padang pasir. manna Ialah: makanan manis sebagai madu. Salwa Ialah: burung sebangsa puyuh.

[9] M. Quraisy Sihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian, (Jakarta: Lentera Hati, 2012),  Cet-V, hlm. 563-564
[10] Tafsit Ibnu Katsir (Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir, diterj. M. Abdul Ghoffar  (Bogor: Pustaka Imam Syafiie, 2005), cet ke-IV, 371-372.
[11]  Ibid, M. Quraisy Sihab, hlm.  520.
[12] Ibid, M. Quraisy Sihab, hlm.  451-452.
[13] Tafsit Ibnu Katsir (Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir, diterj. M. Abdul Ghoffar  (Bogor: Pustaka Imam Syafiie, 2005), cet ke-IV, hlm.
[14] Sa’ad Riyadh, Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah, diterj. Abul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2004) hlm. 212.http://pascasarjana2015.blogspot.co.id/p/study-quran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar