Sabtu, 12 Maret 2016

TAFSIR AYAT-AYAT POLITIK



TAFSIR AYAT-AYAT POLITIK
Ahmad Mushollin (15770044)

A.  Pendahuluan
Al-Quran tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik terwujud. Tetapi ia menegaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh. Ini berarti sistem politik terkait dengan kedua faktor tersebut. Pada sisi lain keberadaan sebuah sistem politik terkait pula denganruang dan waktu. Ini berarti ia adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu lahirnya sistem politik islam harus ditelusuri dari sebuah peristiwa sejarah.
Dalam hal ini peristiwa yang dimaksud adalah baiat atau mubayaah keislaman,sebuah perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada islam sebagai agama.Konsekuensi dari baiat tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yangyang dikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang Rasulullah SAW.
Perkembangan lebih lanjut dari sistem politik tersebut terjadi setelahRasulullah hijrah ke Madinah. Disini sistem politik tersebut memiliki supremasi ataskota Madinah yang ditandai dengan keluarnya Piagam Madinah (1 H).
Rasulullah menjalankan sistem politik tersebut sesuai dengan prinsip-prinsipal-Quran tentang politik. Lalu bagaimanakah konsep dan prinsip politik islam dalam pandangan al-Quran?


B.  Pembahasan
1. Ayat-Ayat Politik
1)      Surat Ali Imran Ayat 26
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيٌ.
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang  yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2)      Surat Al-Baqarah ayat 30
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya akuhendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasabertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
3)      Surat Al-Baqarah Ayat 251
فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ.
“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
4)      Surat Huud Ayat 61
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ.
“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: " Haikaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Diatelah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,[1] karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doahamba-Nya).”
5)      Surat An-Nisa’ Ayat 58-59
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antaramanusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jikakamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itulebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
6)      Surat Ibrahim Ayat 35
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripadamenyembah berhala-berhala.”
7)      Surat Al-Baqarah Ayat 126
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini,negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali."
8)      Surat Ibrahim An-Naml Ayat 32-32
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّىٰ تَشْهَدُونِ.
Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalamurusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamuberada dalam majelis(ku)."
قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ.
Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan beradaditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan."
9)      Surat Ali Imran Ayat 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalamurusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamuberada dalam majelis(ku)". Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga)memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan beradaditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan."
2.    Kajian tentang Politik
Kata Politik berasal dari kata Politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadiatau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan Bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”.[2]
Politic kemudian diserap dalam Bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."[3]
Sebagai istilah, “politik” pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia yang juga dikenal dengan Republik. Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul Politiea. Kedua karya ini dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut dapat diketahui bahwa “politik” merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat, sebab yang dibahas dalam kedua kitab tersebut adalah soal-soal yang berkenaan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik. Dengan demikian, dalam konseptersebut terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan masyarakat, dan cita-cita yang hendak dicapai.[4]
Dari berbagai definisi yang ada ditemukan dua kecenderungan pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara, yakni denganurusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah. Kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas, dan atau dengan konflik.[5]
Dalam kaitan dengan kegiatan-kegiatan politik, Gabriel Almond mengungkapkan kegiatan-kegiatan politik sebagai fungsi-fungsi politik dalam duakategori: fungsi-fungsi masukan (input functions) dan fungsi-fungsi keluaran (output  functions). Yang pertama adalah fungsi-fungsi yang sangat penting dan menentukancara kerjanya sistem dan yang diperlukan untuk membuat dan melaksanakan kebijaksanaan dalam sistem politik.[6] Fungsi-fungsi politik yang dimaksud adalah:
a.    Sosialisasi Politik. Sosialisasi antara lain berarti proses sosial yang memungkinkan seseorang menjadi anggota kelompoknya. Dalam hal ini iaharus mempelajari kebudayaan kelompoknya dan perannya dalam kelompok. Sosialisasi politik dilaksanakan oleh berbagai unsur dalam masyarakat, misalnya: keluarga, sekolah, lingkungan pergaulan dan pekerjaan, media massa, juga oleh instansi resmi. Dengan begitu kebudayaan politik dapat berkembang dan terpelihara dari satu generasi kegenerasi berikutnya.[7]
b.    Rekrutmen politik. Yang dimaksud adalah proses selelsi warga masyarakat untuk menduduki jabatan politik dan administrasi. Setiap sistem politik memiliki cara tersendiri dalam merekrut warganya untuk menduduki kedudukan politik dan administrasi.[8]
c.    Artikulasi kepentingan. Fungsi ini merupakan proses penentuan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki dari sistem politik. Dalam halini rakyat menyatakan kepentingan mereka kepada lembaga politik atau pemerintahan melalui kelompok-kelompok kepentingan yang mereka bentuk bersama dengan orang-orang lain yang juga memiliki kepentingan yang sama.[9]
d.   Agregasi kepentingan. Fungsi ini adalah perumusan proses alternatif dengan jalan penggabungan, atau penyesuaian kepentingan-kepentingan yang telah diartikulasikan, atau dengan merekrut calon-calon pejabat yang menganut pola kebijaksanaan tertentu.[10]
e.    Komunikasi politik. Fungsi ini merupakan alat untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi lainnya. Orang tua, guru-guru, dan pemimpin-pemimpin agama misalnya, mengambil bagian dalam sosialisasi politik dengan menggunakan komunikasi.[11]
Fungsi-fungsi keluaran meliputi fungsi-fungsi: pembuatan aturan (rulemaking), pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule application), dan pengawasan atas pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule adjudication).
3.    Politik dalam Al-Qur’an
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.[12]
Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-Syar'iyah (Politik Keagamaan).[13]
Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.[14]
Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti "putusan". Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan" kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai "membuat atau menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.[15]
Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.
Menurut Quraish Shihab, paling tidak, dari dua istilah dalam Al-Quran dapat dijumpai uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf dan isti'mar.[16]
a.    Istikhlaf
Dalam surat Al-Baqarah: 30 dinyatakan: “Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi khalifah.” Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dalam Al-Quran sebanyak dua kali, yakni ayat di atas, dalam surat Shad: 26: “Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi”. Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa' dan khalaif. Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan konteksnya.
Seperti terbaca di atas, ayat-ayat yang berbicara tentang pengangkatan khalifah dalam Al-Quran ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama adalah manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau menjadi khalifah setelah berhasil membunuh Jalut. Al-Quran dalam hal ini menginformasikan bahwa:
Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan atas keVrajaan,dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS Al-Baqarah: 251).
Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola satu wilayah, dan dengan demikian kata khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh surat Al-Baqarah : 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi Daud as dianugerahi hikmah yang maknanya telah dijelaskan sebelum ini. Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khulafa'. Perhatikan konteks ayat-ayat surat Al-A'raf: 69 dan 74, serta Al-Naml : 62.
Surat Al-Baqarah ayat 31 menginformasikan juga unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris),serta (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt). Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.[17]
b.    Isti’mar
Kata isti'mar dalam bahasa Arab modern diartikan penjajahan; ista'mara adalah menjajah. Makna ini tidak dikenal dalam bahasa Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan yang tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya.[18]
Dalam surat Hud: 61 Allah berfirman: “Dia Allah yang menciptakan kamudari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya.” Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari huruf sin dan ta' yang dapat berarti meminta seperti dalam kata istighfar, yang berarti meminta maghfirah (ampunan). Dapat juga kedua huruf tersebut berarti "menjadikan" seperti padakata hajar yang berarti "batu" bila digandengkan dengan sin dan ta' sehingga terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu.
Kata 'amara dapat diartikan dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks uraian ayat. SuratAl-Tawbah: 17 dan 18 yang menggunakan kata kerja masa kini ya'muru, dan ya'muru dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan masjid dengan jalan membangun, memelihara, memugar, membersihkan, shalat, atau i'tikaf di dalamnya. Sedangkan surat Al-Rum: 9 yang mengulangi dua kali katakerja masa lampau 'amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai membangun bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaatnya.[19]
Jika demikian, kata ista'marakum dapat berarti "menjadikan kamu" atau "meminta atau menugaskan kamu" mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya. Dari satu sisi, penugasan tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik; di sisi lain karena yang menjadikan dan yang menugaskan itu adalah Allah Swt, maka para petugas dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya.[20]
4.    Prinsip-prinsip Politik dalam Al-Qur’an
Prinsip Al-Quran tentang politik yang pertama berkaitan dengan persoalan keadilan. Hal ini tersurat dalam Surat An- Nisa’ ayat 58-59 di atas yang dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha, seorang pakar tafsir, berpendapat bahwa, "Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal permerintahan, maka ayat itu telah amat memadai." Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu diantaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.[21]
 Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisasaja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).[22]
Abdurrahman Wahid mengkategorikan beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan (Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atausisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama (al-Mabdi al-Khamsah) dalam keyakinan atau akidah mereka.[23]
Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ditekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka. Perlu diperhatikan bahwaredaksi ayat di atas menggandengkan kata "taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada ulil amr. “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, danulil amr antara kamu.” (QS Al-Nisa': 59).
Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amr untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat denganketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Tetapi disisi lain, apabila perintah ulul amr tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui olehyang diperintah.[24]
Taat dalam bahasa Al-Quran berarti "tunduk" menerima secara tulus dan menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.
Prinsip kedua al-Quran tentang politik juga tergambar dalam Surat Ibrahim ayat 35 dan Surat Al-Baqarah ayat 126, yaitu adanya prinsip yang disebut dalam doa Nabi Ibrahim tentang visi negara yang aman dalam yang dalam bahasa al-Quran digunakan dua terma al-balad al-amin dan baladan aminan. Medan semantik kata amin dan aman menunjuk tentang keterlindungan warga negara atau penduduk melalui pemenuhan kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan kebutuhan material yang lain sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman, eksploitasi) sertakebutuhan spiritual (ajaran bertauhid).
Prinsip ketiga yang dapat dianalisis adalah adalah adanya upaya mencari pertimbangan atau musyawarah dilakukan oleh penguasa dengan melibatkan masyarakat atau perwakilannya sebagaimana tersirat dalam Surat An-Naml ayat 32, “Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak  pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”. Meski ayat ini tidak secara eksplisit menunjuk tentang musyawarah, namun upayauntuk meminta pertimbangan dan pandangan dari pihak lain dalam memutuskan suatu persoalan merupakan substansi dari yang disebut musyawarah.
Ayat lain yang juga menunjukkan tentang prinsip musyawarah terlihat dalamSurat Ali Imran Ayat 159. Al-Tabari menyebut ayat ini berkaitan dengan perintahAllah agar Nabi bermusyawarah dengan para Shahabatnya dalam persoalan strategi perang dan taktik menghadapi musuh. Upaya ini dilakukan untuk memberikan efek  psikologis pada kaum muslimin bahwa pendapat mereka didengar oleh Nabi dan Nabi mengandalkan pandangan mereka.[25]
5.    Aktivitas (Langkah-langkah) Berpolitik dalam Islam
Banyak urusan rakyat yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Baik urusan pelaksanaan syariat Islam di dalam negeri ataupun yang menyangkut urusan luar negeri.
Di dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat terpelihara dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan wanita serta seluruh kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam negeri ini berarti menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara umum. Yaitu memperhatikan kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah dan penguasa terhadap mereka. Sudahkah pemimpin kaum muslimin (penguasa) melaksanakan langsung tanggung jawab terhadap rakyatnya, yang telah dibebankan Allah? Apakah seluruh urusan rakyat telah terpenuhi sesuai dengan hukum syara?
Aktivitas-aktivitas ini merupakan persoalan yang penting dan telah diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam. Dengan demikian haram hukumnya bila kaum muslimun meninggalkannya.
Selain dari aktivitas politik dalam negeri, umat Islam juga harus menyibukkan diri dalam politik luar negeri. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi makar (tipu daya) negara-negara kafir terhadap kaum muslimin. Tindakan selanjutnya adalah membeberkan makar tersebut agar kaum muslimin waspada dan mampu menolak ancamannya. Di samping itu politik luar negeri ditegakkan dalam rangka menyebarkan da’wah Islam kepada seluruh umat manusia di bumi ini. Ini sudah menjadi kewajiban kaum muslimin. Sebab Islam diturunkan untuk seluruh manusia.
Oleh karena itu kewajiban berpolitik bersifat mutlak, baik berupa politik dalam negeri ataupun luar negeri. Pentingnya politik luar negeri ini karena aktivitas penguasa bersama negar-negara lain adalah bagian dari politik. Maka salah satu aktivitas politik luar negeri adalah mengoreksi aktivitas penguasa yang berkaitan dengan negara-negara lain.
Bila kita telaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan, maka pemeliharaan kepentingan umat yang dilakukan oleh negara (pemerintahan serta hubungan luar negeri) hukumnya wajib. Namun di sisi lain kaum muslimin harus pula mengetahui kebijakan-kebijakan negara ini. Karena bagaimana mungkin kaum muslimin bisa menyibukkan diri dalam berpolitik di dalam negeri yaitu mengoreksi tindakan-tindakan yang dilakukan penguasa, tanpa mengetahui berbagai kebijakan yang mereka lakukan. Bila kaum muslimin tidak mengetahui esensi tindakan penguasa ini, mereka akan menemui kesulitan dalam mengoreksi tindakan-tindakannya, dengan demikian menelaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan termasuk suatu hal yang wajib, sebagaimana wajibnya berpolitik itu sendiri.
Aktivitas menasehati dan mengoreksi tindakan penguasa (bila penguasa lalai dari penerapan hukum Islam) merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan umat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
"Aku mendatangi Nabi SAW, lalu aku berkata : "Aku membai’atmu berdasarkan Islam Maka beliau mensyaratkan agar aku memberi nasehat kepada semua muslim"
Lafazh (nasehat), berbentuk umum, termasuk di dalamnya adalah menolak tindakan lalim penguasa dan kelaliman musuh Islam terhadap kaum muslimin. Hal ini diartikan dengan menyibukkan diri dengan berpolitik di dalam negeri, dalam rangka mengetahui kebijakan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya dan juga dalam rangka mengoreksi tindakan-tindakan mereka.
Sebagai contoh, ketika kaum pemimpin muslimin (penguasa Daulah Islamiyah) lalai dalam menerapkan hukum Islam atau mengeluarkan kebijakan negara yang bertentangan dengan syari’at Islam, maka rakyat berkewajiban untuk menasehatinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
"Penghulu syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim lalu menasehatinya, kemudian Ia di bunuh".
Dari Abi Umamah, ia berkata :
"Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia bertanya kembali kepada beliau, namun beliau pun tetap tidak menjawabnya. Maka pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukan kaki beliau keatas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya :’Mana orang yang bertanya tadi ?’ Dia menjawab : ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian bersabda : ‘ Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan dihadapkan seorang penguasa yang zalim." (Ibnu Majah)
Menasehati penguasa yang lalim memang membutuhkan keberanian dan pengorbanan yang tinggi. Namun imbalan yang dijanjikan Allah SWT sangatlah besar. Bagi seorang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allahlah satu-satunya tempat kembali, maka ia pun akan senantiasa berusaha dan berjuang untuk meraih kemuliaan ini.

C.  Penutup
Analisa atas ayat-ayat al-Quran yang memuat pesan politik setidaknya menemukan beberapa poin tentang unsur dan prinsip-prinsip politik dalam islam. Surat Al-Baqarah ayat 31 menginformasikan unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban khalifah atau pemimpin. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).
Surat An-Nisa’ ayat 58-59 yang dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan, memuat prinsip tentang keadilan. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.
Sementara dalam Surat Ibrahim ayat 35 dan Surat Al-Baqarah ayat 126, menunjuk kepada keterlindungan warga negara atau penduduk melalui pemenuhan kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan kebutuhan material yang lain sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman, eksploitasi) serta kebutuhan spiritual (ajaran bertauhid).
Prinsip selanjutnya berkaitan dengan upaya mencari pertimbangan atau musyawarah dilakukan oleh penguasa dengan melibatkan masyarakat atau perwakilannya terlihat dalam Surat An-Naml ayat 32 dan Surat Ali Imran Ayat 159.

Daftar Rujukan

Al-Thabari, Ibnu Jarir. 1995. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Beirut: Dar Al-Fikr.
Mas’oed, Moechtar dan Mc. Andrews (ed). 1982. Perbandingan Sistem Politik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
Munir, Abdul Salim. 2002. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada,
Poerwadarminta, W.J.S. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka,
Shihab, Quraish. 2003. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan,


[1] Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
[2] Abdul Munir Salim. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2002) h. 34
[3] W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1983) h. 763
[4] Abdul Munir Salim. Op.cit. h. 35
[5] Ibid. 35
[6] Moechtaer Mas’oed dan McAndrews (ed). Perbandingan Sistem Politik. (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press, 1982) h. 29
[7] Abdul Munir Salim. Op.cit. h. 41-42
[8] Ibid. h. 43
[9] Ibid. 43
[10] Ibid. 45
[11] Ibid. 45
[12] Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Penerbit Mizan, 2003). 36
[13] Ibid. 36
[14] Ibid. 36
[15] Ibid. 35
[16] Ibid. 35
[17] Ibid. 36
[18] Ibid. 37
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Budhy Munawar-Rachman (ed). Konstekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: PenerbitYayasan Paramadina).
[23] Ibid.
[24] Quraish Shihab. Op.cit. 26
[25] Al-Tabari. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. (Beirut: Dar Al-Fikr. 1995). Vol IV. h. 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar