TAFSIR AYAT-AYAT
POLITIK
Ahmad
Mushollin (15770044)
A. Pendahuluan
Al-Quran tidak menyatakan secara
eksplisit bagaimana sistem politik terwujud. Tetapi ia menegaskan bahwa
kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh. Ini
berarti sistem politik terkait dengan kedua faktor tersebut. Pada
sisi lain keberadaan sebuah sistem politik terkait pula denganruang dan waktu.
Ini berarti ia adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dapat
dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu lahirnya sistem politik islam
harus ditelusuri dari sebuah peristiwa sejarah.
Dalam hal ini peristiwa yang dimaksud
adalah baiat atau mubayaah keislaman,sebuah perikatan berisi pengakuan dan
penaklukan diri kepada islam sebagai agama.Konsekuensi dari baiat tersebut
adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yangyang dikendalikan oleh
kekuasaan yang dipegang Rasulullah SAW.
Perkembangan lebih lanjut dari sistem
politik tersebut terjadi setelahRasulullah hijrah ke Madinah. Disini sistem
politik tersebut memiliki supremasi ataskota Madinah yang ditandai dengan
keluarnya Piagam Madinah (1 H).
Rasulullah menjalankan sistem politik
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsipal-Quran tentang politik. Lalu
bagaimanakah konsep dan prinsip politik islam dalam pandangan al-Quran?
B. Pembahasan
1. Ayat-Ayat Politik
1)
Surat
Ali Imran Ayat 26
قُلِ
اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ
الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ
بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيٌ.
Katakanlah: "Wahai
Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2)
Surat
Al-Baqarah ayat 30
وَ
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ
نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ
تَعْلَمُوْنَ.
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya akuhendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasabertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman:"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
3)
Surat
Al-Baqarah Ayat 251
فَهَزَمُوهُمْ
بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ
وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ
بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى
الْعَالَمِينَ.
“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut
dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian
Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya
Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain,
pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.”
4)
Surat
Huud Ayat 61
وَإِلَىٰ
ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ
إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ.
“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka
shaleh. Shaleh berkata: " Haikaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak
ada bagimu Tuhan selain Dia. Diatelah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya,[1]
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,Sesungguhnya
Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doahamba-Nya).”
5)
Surat
An-Nisa’ Ayat 58-59
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antaramanusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.”
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Maha
melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jikakamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itulebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
6)
Surat
Ibrahim Ayat 35
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ
أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya
Tuhanku, Jadikanlah negeri ini(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku
beserta anak cucuku daripadamenyembah berhala-berhala.”
7)
Surat
Al-Baqarah Ayat 126
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ
الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ
كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ
وَبِئْسَ الْمَصِيرُ.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya
Tuhanku, Jadikanlah negeri ini,negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki
dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah
dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku
beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan
Itulah seburuk-buruk tempat kembali."
8)
Surat
Ibrahim An-Naml Ayat 32-32
قَالَتْ
يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا
حَتَّىٰ تَشْهَدُونِ.
Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar
berilah aku pertimbangan dalamurusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan
sesuatu persoalan sebelum kamuberada dalam majelis(ku)."
قَالُوا
نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي
مَاذَا تَأْمُرِينَ.
Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang
memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam
peperangan), dan keputusan beradaditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang
akan kamu perintahkan."
9)
Surat
Ali Imran Ayat 159
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar
berilah aku pertimbangan dalamurusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan
sesuatu persoalan sebelum kamuberada dalam majelis(ku)". Mereka menjawab:
"Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga)memiliki
keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan beradaditanganmu: Maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan."
2.
Kajian tentang Politik
Kata Politik berasal dari kata Politic
(Inggris) yang menunjukkan sifat pribadiatau perbuatan. Secara leksikal, kata
asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.
Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan Bahasa Yunani (Greek)
politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut
juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”.[2]
Politic kemudian
diserap dalam Bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu
negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga
dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara
bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."[3]
Sebagai istilah, “politik” pertama kali
dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia yang juga dikenal
dengan Republik. Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul Politiea.
Kedua karya ini dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian.
Dari karya tersebut dapat diketahui bahwa “politik” merupakan istilah yang dipergunakan
untuk konsep pengaturan masyarakat, sebab yang dibahas dalam kedua kitab tersebut
adalah soal-soal yang berkenaan dengan masalah bagaimana pemerintahan
dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling
baik. Dengan demikian, dalam konseptersebut terkandung berbagai unsur, seperti
lembaga yang menjalankan aktivitas pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang
berkepentingan, kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan
masyarakat, dan cita-cita yang hendak dicapai.[4]
Dari berbagai definisi yang ada
ditemukan dua kecenderungan pendefinisian politik. Pertama, pandangan
yang mengaitkan politik dengan negara, yakni denganurusan pemerintahan pusat
atau pemerintahan daerah. Kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan
masalah kekuasaan, otoritas, dan atau dengan konflik.[5]
Dalam kaitan dengan kegiatan-kegiatan
politik, Gabriel Almond mengungkapkan kegiatan-kegiatan politik sebagai
fungsi-fungsi politik dalam duakategori: fungsi-fungsi masukan (input
functions) dan fungsi-fungsi keluaran (output functions). Yang pertama adalah
fungsi-fungsi yang sangat penting dan menentukancara kerjanya sistem dan yang
diperlukan untuk membuat dan melaksanakan kebijaksanaan dalam sistem politik.[6]
Fungsi-fungsi politik yang dimaksud adalah:
a.
Sosialisasi
Politik. Sosialisasi antara lain berarti proses
sosial yang memungkinkan seseorang menjadi anggota kelompoknya. Dalam hal ini
iaharus mempelajari kebudayaan kelompoknya dan perannya dalam kelompok.
Sosialisasi politik dilaksanakan oleh berbagai unsur dalam masyarakat,
misalnya: keluarga, sekolah, lingkungan pergaulan dan pekerjaan, media massa,
juga oleh instansi resmi. Dengan begitu kebudayaan politik dapat berkembang dan
terpelihara dari satu generasi kegenerasi berikutnya.[7]
b.
Rekrutmen
politik. Yang dimaksud adalah proses selelsi
warga masyarakat untuk menduduki jabatan politik dan administrasi. Setiap
sistem politik memiliki cara tersendiri dalam merekrut warganya untuk menduduki
kedudukan politik dan administrasi.[8]
c.
Artikulasi
kepentingan. Fungsi ini merupakan proses penentuan kepentingan-kepentingan
yang dikehendaki dari sistem politik. Dalam halini rakyat menyatakan
kepentingan mereka kepada lembaga politik atau pemerintahan melalui
kelompok-kelompok kepentingan yang mereka bentuk bersama dengan orang-orang
lain yang juga memiliki kepentingan yang sama.[9]
d.
Agregasi
kepentingan. Fungsi ini adalah perumusan proses
alternatif dengan jalan penggabungan, atau penyesuaian kepentingan-kepentingan
yang telah diartikulasikan, atau dengan merekrut calon-calon pejabat yang menganut
pola kebijaksanaan tertentu.[10]
e.
Komunikasi
politik. Fungsi ini merupakan alat untuk
penyelenggaraan fungsi-fungsi lainnya. Orang tua, guru-guru, dan
pemimpin-pemimpin agama misalnya, mengambil bagian dalam sosialisasi politik
dengan menggunakan komunikasi.[11]
Fungsi-fungsi keluaran meliputi
fungsi-fungsi: pembuatan aturan (rulemaking), pelaksanaan aturan-aturan
hukum (rule application), dan pengawasan atas pelaksanaan aturan-aturan
hukum (rule adjudication).
3.
Politik
dalam Al-Qur’an
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern,
kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini
terambil dari akar kata sasa – yasusu yang biasa diartikan
mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama
ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.[12]
Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang
terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa
Al-Quran tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama Al-Quran yang
menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Qur’an dan
sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah
satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-Syar'iyah (Politik
Keagamaan).[13]
Uraian Al-Quran tentang politik secara
sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini
pada mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka
perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang
pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasat,
yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.[14]
Hukm dalam
bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam
bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti
"putusan". Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang
bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti
"pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat
berarti perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan" kata hukm berarti
membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada
sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai "membuat atau
menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu,
baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum
tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.[15]
Kata siyasat sebagaimana
dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama
dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara
pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan
hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah
sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini
sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia
tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.
Menurut Quraish Shihab, paling tidak,
dari dua istilah dalam Al-Quran dapat dijumpai uraian tentang kekuasaan
politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada manusia. Kedua istilah
tersebut adalah istikhlaf dan isti'mar.[16]
a.
Istikhlaf
Dalam surat Al-Baqarah: 30
dinyatakan: “Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi khalifah.” Kata
khalifah dalam bentuk tunggal terulang dalam Al-Quran sebanyak dua kali,
yakni ayat di atas, dalam surat Shad: 26: “Wahai Daud Kami telah menjadikan
engkau khalifah di bumi”. Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa'
dan khalaif. Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan konteksnya.
Seperti terbaca di atas, ayat-ayat
yang berbicara tentang pengangkatan khalifah dalam Al-Quran ditujukan kepada
Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama adalah manusia pertama (Adam) dan
ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi
Daud. Beliau menjadi khalifah setelah berhasil membunuh Jalut. Al-Quran dalam
hal ini menginformasikan bahwa:
“Dan Daud membunuh Jalut. Allah
memberinya kekuasaan atas keVrajaan,dan
hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya.”
(QS Al-Baqarah: 251).
Ayat ini menunjukkan bahwa Daud
memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola satu wilayah, dan dengan demikian
kata khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan
dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik.
Hal ini didukung pula oleh surat Al-Baqarah : 251 di atas yang menjelaskan
bahwa Nabi Daud as dianugerahi hikmah yang maknanya telah dijelaskan sebelum
ini. Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat
yang menggunakan bentuk jamak khulafa'. Perhatikan konteks ayat-ayat surat
Al-A'raf: 69 dan 74, serta Al-Naml : 62.
Surat Al-Baqarah ayat 31
menginformasikan juga unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang
khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang
diberi kekuasaan politik atau mandataris),serta (3) hubungan antara pemilik
kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).
Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila sang khalifah memperhatikan
hubungan-hubungan tersebut.[17]
b.
Isti’mar
Kata isti'mar dalam bahasa Arab
modern diartikan penjajahan; ista'mara adalah menjajah. Makna ini tidak dikenal
dalam bahasa Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan yang tidak sejalan
dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya.[18]
Dalam surat Hud: 61 Allah
berfirman: “Dia Allah yang menciptakan kamudari bumi dan menugaskan kamu
memakmurkannya.” Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari huruf
sin dan ta' yang dapat berarti meminta seperti dalam kata istighfar,
yang berarti meminta maghfirah (ampunan). Dapat juga kedua huruf
tersebut berarti "menjadikan" seperti padakata hajar yang berarti
"batu" bila digandengkan dengan sin dan ta' sehingga terbaca
istahjara yang maknanya adalah menjadi batu.
Kata 'amara dapat diartikan
dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks uraian ayat. SuratAl-Tawbah:
17 dan 18 yang menggunakan kata kerja masa kini ya'muru, dan ya'muru
dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan masjid dengan jalan
membangun, memelihara, memugar, membersihkan, shalat, atau i'tikaf di
dalamnya. Sedangkan surat Al-Rum: 9 yang mengulangi dua kali katakerja masa
lampau 'amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai membangun
bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaatnya.[19]
Jika demikian, kata ista'marakum
dapat berarti "menjadikan kamu" atau "meminta atau menugaskan
kamu" mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya. Dari satu sisi, penugasan
tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik; di sisi lain karena yang
menjadikan dan yang menugaskan itu adalah Allah Swt, maka para petugas dalam
menjalankan tugasnya harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya.[20]
4.
Prinsip-prinsip Politik dalam Al-Qur’an
Prinsip Al-Quran tentang politik
yang pertama berkaitan dengan persoalan keadilan. Hal ini tersurat dalam
Surat An- Nisa’ ayat 58-59 di atas yang dinilai oleh para ulama sebagai
prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau
pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha, seorang pakar tafsir, berpendapat bahwa,
"Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal permerintahan,
maka ayat itu telah amat memadai." Amanat dimaksudkan berkaitan dengan
banyak hal, salah satu diantaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut
ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup
seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.[21]
Al-Qur'an menggunakan pengertian yang
berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan.
Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga
tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth,
hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan.
Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisasaja
kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu,
dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).[22]
Abdurrahman Wahid mengkategorikan
beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar
kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak,
penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan
(Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan).
Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi
keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari
terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atausisi
keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi
"warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat
dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah)
sebagai salah satu dari lima prinsip utama (al-Mabdi al-Khamsah) dalam
keyakinan atau akidah mereka.[23]
Berdampingan dengan amanat yang
dibebankan kepada para penguasa, ditekankan kewajiban taat masyarakat terhadap
mereka. Perlu diperhatikan bahwaredaksi ayat di atas menggandengkan kata
"taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada ulil
amr. “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, danulil amr antara
kamu.” (QS Al-Nisa': 59).
Tidak disebutkannya kata taat pada
ulil amr untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri
sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat denganketaatan kepada Allah dan Rasul,
dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Tetapi disisi lain,
apabila perintah ulul amr tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib
ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui olehyang diperintah.[24]
Taat dalam bahasa Al-Quran berarti
"tunduk" menerima secara tulus dan menemani. Ini berarti ketaatan
dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus ikut
berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung
usaha-usahanya.
Prinsip kedua
al-Quran tentang politik juga tergambar dalam Surat Ibrahim ayat 35 dan Surat
Al-Baqarah ayat 126, yaitu adanya prinsip yang disebut dalam doa Nabi Ibrahim
tentang visi negara yang aman dalam yang dalam bahasa al-Quran digunakan dua
terma al-balad al-amin dan baladan aminan. Medan semantik kata amin dan
aman menunjuk tentang keterlindungan warga negara atau penduduk melalui
pemenuhan kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan kebutuhan material
yang lain sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman, eksploitasi)
sertakebutuhan spiritual (ajaran bertauhid).
Prinsip ketiga yang dapat
dianalisis adalah adalah adanya upaya mencari pertimbangan atau musyawarah
dilakukan oleh penguasa dengan melibatkan masyarakat atau perwakilannya
sebagaimana tersirat dalam Surat An-Naml ayat 32, “Hai Para pembesar berilah
aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak
pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majelis(ku)”. Meski ayat ini tidak secara eksplisit menunjuk tentang
musyawarah, namun upayauntuk meminta pertimbangan dan pandangan dari pihak lain
dalam memutuskan suatu persoalan merupakan substansi dari yang disebut
musyawarah.
Ayat lain yang juga menunjukkan
tentang prinsip musyawarah terlihat dalamSurat Ali Imran Ayat 159. Al-Tabari
menyebut ayat ini berkaitan dengan perintahAllah agar Nabi bermusyawarah dengan
para Shahabatnya dalam persoalan strategi perang dan taktik menghadapi musuh.
Upaya ini dilakukan untuk memberikan efek
psikologis pada kaum muslimin bahwa pendapat mereka didengar oleh Nabi
dan Nabi mengandalkan pandangan mereka.[25]
5.
Aktivitas
(Langkah-langkah)
Berpolitik dalam
Islam
Banyak urusan rakyat yang harus
diperhatikan oleh kaum muslimin. Baik urusan pelaksanaan syariat Islam di dalam
negeri ataupun yang menyangkut urusan luar negeri.
Di dalam negeri, kaum muslimin
harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat terpelihara dengan baik oleh
negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan, ekonomi, kesehatan,
pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan wanita serta
seluruh kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam
negeri ini berarti menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara
umum. Yaitu memperhatikan kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah
dan penguasa terhadap mereka. Sudahkah pemimpin kaum muslimin (penguasa)
melaksanakan langsung tanggung jawab terhadap rakyatnya, yang telah dibebankan
Allah? Apakah seluruh urusan rakyat telah terpenuhi sesuai dengan hukum syara?
Aktivitas-aktivitas ini merupakan
persoalan yang penting dan telah diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam. Dengan
demikian haram hukumnya bila kaum muslimun meninggalkannya.
Selain dari aktivitas politik dalam
negeri, umat Islam juga harus menyibukkan diri dalam politik luar negeri. Hal
ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi makar (tipu daya) negara-negara
kafir terhadap kaum muslimin. Tindakan selanjutnya adalah membeberkan makar
tersebut agar kaum muslimin waspada dan mampu menolak ancamannya. Di samping
itu politik luar negeri ditegakkan dalam rangka menyebarkan da’wah Islam kepada
seluruh umat manusia di bumi ini. Ini sudah menjadi kewajiban kaum muslimin.
Sebab Islam diturunkan untuk seluruh manusia.
Oleh karena itu kewajiban
berpolitik bersifat mutlak, baik berupa politik dalam negeri ataupun luar
negeri. Pentingnya politik luar negeri ini karena aktivitas penguasa bersama
negar-negara lain adalah bagian dari politik. Maka salah satu aktivitas politik
luar negeri adalah mengoreksi aktivitas penguasa yang berkaitan dengan
negara-negara lain.
Bila kita telaah secara mendalam
aktivitas-aktivitas kenegaraan, maka pemeliharaan kepentingan umat yang
dilakukan oleh negara (pemerintahan serta hubungan luar negeri) hukumnya wajib.
Namun di sisi lain kaum muslimin harus pula mengetahui kebijakan-kebijakan
negara ini. Karena bagaimana mungkin kaum muslimin bisa menyibukkan diri dalam
berpolitik di dalam negeri yaitu mengoreksi tindakan-tindakan yang dilakukan
penguasa, tanpa mengetahui berbagai kebijakan yang mereka lakukan. Bila kaum
muslimin tidak mengetahui esensi tindakan penguasa ini, mereka akan menemui
kesulitan dalam mengoreksi tindakan-tindakannya, dengan demikian menelaah
secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan termasuk suatu hal yang wajib,
sebagaimana wajibnya berpolitik itu sendiri.
Aktivitas menasehati dan mengoreksi
tindakan penguasa (bila penguasa lalai dari penerapan hukum Islam) merupakan
aktivitas penting yang harus dilakukan umat. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
"Aku
mendatangi Nabi SAW, lalu aku berkata : "Aku membai’atmu berdasarkan Islam
Maka beliau mensyaratkan agar aku memberi nasehat kepada semua muslim"
Lafazh
(nasehat), berbentuk umum, termasuk di dalamnya adalah menolak tindakan lalim
penguasa dan kelaliman musuh Islam terhadap kaum muslimin. Hal ini diartikan
dengan menyibukkan diri dengan berpolitik di dalam negeri, dalam rangka
mengetahui kebijakan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya dan juga dalam
rangka mengoreksi tindakan-tindakan mereka.
Sebagai contoh, ketika kaum
pemimpin muslimin (penguasa Daulah Islamiyah) lalai dalam menerapkan hukum
Islam atau mengeluarkan kebijakan negara yang bertentangan dengan syari’at
Islam, maka rakyat berkewajiban untuk menasehatinya. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda :
"Penghulu
syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang
lalim lalu menasehatinya, kemudian Ia di bunuh".
Dari Abi Umamah, ia berkata :
"Ada
seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang paling
baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia bertanya
kembali kepada beliau, namun beliau pun tetap tidak menjawabnya. Maka pada saat
melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukan kaki beliau
keatas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya :’Mana orang yang
bertanya tadi ?’ Dia menjawab : ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian bersabda
: ‘ Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan dihadapkan
seorang penguasa yang zalim." (Ibnu Majah)
Menasehati penguasa yang lalim
memang membutuhkan keberanian dan pengorbanan yang tinggi. Namun imbalan yang
dijanjikan Allah SWT sangatlah besar. Bagi seorang muslim yang meyakini
sepenuhnya bahwa hanya Allahlah satu-satunya tempat kembali, maka ia pun akan
senantiasa berusaha dan berjuang untuk meraih kemuliaan ini.
C. Penutup
Analisa atas ayat-ayat al-Quran yang
memuat pesan politik setidaknya menemukan beberapa poin tentang unsur dan
prinsip-prinsip politik dalam islam. Surat Al-Baqarah ayat 31 menginformasikan
unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban khalifah atau pemimpin.
Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang diberi
kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan antara pemilik kekuasaan
dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).
Surat An-Nisa’ ayat 58-59 yang dinilai
oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam
tentang kekuasaan atau pemerintahan, memuat prinsip tentang keadilan. Keadilan
yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,golongan, atau kaum Muslim
saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.
Sementara dalam Surat Ibrahim ayat 35
dan Surat Al-Baqarah ayat 126, menunjuk kepada keterlindungan warga negara atau
penduduk melalui pemenuhan kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan
kebutuhan material yang lain sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman,
eksploitasi) serta kebutuhan spiritual (ajaran bertauhid).
Prinsip selanjutnya berkaitan dengan
upaya mencari pertimbangan atau musyawarah dilakukan oleh penguasa dengan
melibatkan masyarakat atau perwakilannya terlihat dalam Surat An-Naml ayat 32
dan Surat Ali Imran Ayat 159.
Daftar
Rujukan
Al-Thabari, Ibnu Jarir. 1995. Jami’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Beirut: Dar Al-Fikr.
Mas’oed, Moechtar dan Mc. Andrews (ed).
1982. Perbandingan Sistem Politik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
Munir, Abdul Salim. 2002. Fiqh
Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. Yogyakarta: Raja
Grafindo Persada,
Poerwadarminta, W.J.S. 1983. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka,
Shihab, Quraish. 2003. Wawasan
Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit
Mizan,
[1] Maksudnya: manusia
dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
[2] Abdul
Munir Salim. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran.
(Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2002) h. 34
[3] W.J.S
Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
1983) h. 763
[4] Abdul
Munir Salim. Op.cit. h. 35
[5] Ibid.
35
[6] Moechtaer
Mas’oed dan McAndrews (ed). Perbandingan Sistem Politik. (Yogyakarta:
Gadjah MadaUniversity Press, 1982) h. 29
[7] Abdul
Munir Salim. Op.cit. h. 41-42
[8] Ibid.
h. 43
[9] Ibid.
43
[10] Ibid.
45
[11] Ibid.
45
[12] Quraish
Shihab. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat.
(Bandung: Penerbit Mizan, 2003). 36
[13] Ibid. 36
[14] Ibid. 36
[15] Ibid. 35
[16] Ibid. 35
[17] Ibid. 36
[18] Ibid. 37
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Budhy
Munawar-Rachman (ed). Konstekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.
(Jakarta: PenerbitYayasan Paramadina).
[23] Ibid.
[24] Quraish
Shihab. Op.cit. 26
[25]
Al-Tabari. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. (Beirut: Dar Al-Fikr.
1995). Vol IV. h. 99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar