KONSEP PENCIPTAAN MANUSIA: TAFSIR PERBANDINGAN ANTARA TAFSIR AL AZHAR DENGAN TAFSIR AL MARAGHI
BUDI PRASETYO M. (15770039)
A. Pendahuluan
Al-Qur’an telah memperkenalkan dirinya antara lain
sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi umat manusia). Sebagai kitab petunjuk
atau kitab keagamaan, ternyata tidak sedikit kita jumpai di dalamnya tentang
fenomena-fenomena kealaman atau yang dalam terminologi al-Qur’an biasa disebut
sebagai al-ayat al-kauniyah. Salah satu tema yang menyangkut problem
keilmuan modern yang diilustrasikan oleh al-Qur’an antara lain fenomena tentang
asal-usul kejadian manusia, yaitu yang dalam al-Qur’an ditampilkan sebagai
suatu wujud yang berasal dari tanah (QS. Nuh: 17-18; Thaha: 55).[1]
Ayat-ayat senada yang menjelaskan tentang asal-usul
manusia dari tanah ini sangat banyak jumlahnya. Adapun term-term yang digunakan
al-Qur’an untuk menyebut hal itu, antara lain (1) thurab (QS. 22: 5);
(2) thin (QS. 6: 2); (3) thin lazibin (QS. 37: 11); (4) sulalah
min thin (QS. 23: 126); (5) shalshal min hamaim masnun (QS. 15: 26);
dan sebaginya.
Ilustrasi tentang asal-usul manusia dari tanah ini,
sekarangtelah dapat dibuktikan oleh sains modern melalui hasil inthidhar yang
dilakukan oleh para ilmuwan. JL. Carl Worfman misalnya, setelah mengadakan
penelitian terhadap segumpal tanah yang diambil di sekitar tambang minyak tanah
pada sebuah laboratorium, maka ia menulis laporannya sebagai berikut:
Yang lebih mengherankan daripada terdapatnya
benda-benda kollodial di dalam dunia anorganis adalah hasil penelitian dalam
minyak tanah terdapat hormon kelamin yang berjumlah besar”.[2]
Materi asal-usul manusia seperti terdapat beberapa
ayat di atas, kesemuanya merujuk pada penciptaan mansuia pertama, yaitu
Adam,yang juga biasa dikenal sebagai Abu al-Basyar (QS. 38: 71-72). Al-Qur’an
secara jelas tidak menjelaskan tentang proses kejadian Adam ini secara evolutif
sebagaimana manusia sesudahnya. Oleh karenanya, dalam makalah ini tidak akan
dijelaskan bagaimana proses penciptaan Adam. Disamping karena al-Qur’an sendiri
tidak menjelaskan masalah ini, juga disebabkan oleh karena kisah penciptaan
Adam lebih menitik beratkan pada aspek moral dan pendidikan, dan tidak
berkaitan dengan masalah tauhid dan pengakuan adanya sang pencipta. Mengenai
hal ini, Murtadha Muthahhari menulis sebagai berikut:
Tetapi lingkungan penciptaan Adam yang khusus dan
merupakan pengecualian tidak berkaitan dengan masalah tauhid dan pengakuan
adanya Sang Pencipta. Karena, sasaran dari pengungkapan kisah Adam itu terletak
pada ajaran-ajaran moral dan pendidikan, bukan seruan untuk mengakui awal
kehidupan sebagai kesaksian atas tauhid, maka kisah penciptaan manusia yang
pertama dirasakan sudah mencukupi dan tidak disebut-sebut tentang awal
keberadaan sepesies-sepesies lain yang ada dimuka bumi.[3]
Penciptaan manusia-manusia kedua dan seterusnya,
al-Qur’an memberikan keterangan yang berbeda dengan penciptaan manusia pertama
(QS. al-Nisa’/4: 1). Ayat ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan pertama kali
dalam bentuk tunggal, yaitu Adam, kemudian dari bahan baku yang ada padanya
diciptakan manusia kedua yang menjadi istrinya, yaitu Hawa. Dari keduanya
itulah lahir manusia-manusia berikutnya dalam jumlah yang besar yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan.
Sementara penciptaan manusia ketiga dan seterusnya –
setelah Adam dan Hawa – dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa penciptaannya
dilakukan secara bertahap (QS. Nuh: 14), dari bentuk yang sangat sederhana
menjadi bentuk yang lebih sempurna dan lebih rumit. Dalam al-Qur’an sedikitnya
ada 34 ayat yang menjelaskan tentang masalah ini, dan tersebar ke dalam 16
surat.[4]
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap konsepsi
penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa yang ada dalam al-Qur’an dengan cara
membandingkan dua kitab tafsir, yaitu tafsir al-Azhar karya HAMKA dan tafsir
al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi. Sekalipun ayat al-Qur’an yang
menjelaskan masalah ini cukup banyak jumlahnya, namun yang akan dijadikan titik
tolak adalah QS. al-Hajj/22: 5.
B. Pembahasan
1. Teks Al-Qur’an Surat Al-Hajj/22: 5
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa yang
menjadi sampel dalam kajian ini berkaitan dengan penciptaan manusia adalah QS.
al-Hajj/22: 5. Meskipun demikian, ayat-ayat yang senada yang mendukung tema ini
akan digunakan sebagai informasi tambahan dan bahan perbandingan guna melengkapi
data-data dimaksud. Adapun terjemah teks QS. al-Hajj/22: 5, selengkapnya
sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُ
إِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ فَإِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ
مِن
نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ
عَلَقَةٖ ثُمَّ مِن مُّضۡغَةٖ مُّخَلَّقَةٖ وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ لِّنُبَيِّنَ
لَكُمۡۚ وَنُقِرُّ
فِي
ٱلۡأَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا
ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ
أَشُدَّكُمۡۖ
وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ
لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ
مِنۢ
بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡٔٗاۚ وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَاٱلۡمَآءَٱهۡتَزَّتۡ
وَرَبَتۡ وَأَنۢبَتَتۡ مِن
كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ ٥
Artinya,
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan(dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara
kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” (QS.
al-Hajj/22: 5).
2.
Konsep
Penciptaan Manusia: Perspektif Hamka Dan Al-Maraghi
Sebagaimana telah dissinggung pada bagian terdahulu,
bahwa tulisan ini pada dasarnya ingin membandingkan dua penafsiran terhadap QS.
al-Hajj/22: 5, yang dalam hal ini adalah Tafsir Al-Azhar karya HAMKA dan
Tafsir al-Maraghi karya Musthafa al-Maraghi. Dalam ayat tersebut
dijelaskan bahwa secara evolutif penciptaan manusia mengalami beberapa fase,
yaitu dari sesuatu yang semula berupa mani (nuthfah) hingga menjadi
manusia sempurna seperti sekarang ini.
1) Penciptaan Manusia Menurut Hamka dalam Tafsir
Al-Azhar
Mengingat bahwa Tafsir al-Azhar bila dilihat
dari aspek metodologis termasuk dalam kelompok tafsir tahlili-ijmali,
maka dalam menafsirkan QS. al-Hajj/22: 5, HAMKA menafsirkannya dengan cara
menjelaskannya secara global dari beberapa fase penciptaan manusia tersebut.
Namun, sebelum menjelaskan fase-fase dalam penciptaan manusia, Hamka memulai
tafsirnya dengan menjelaskan terlebih dahulu latar belakang kenapa masalah ini
menjadi penting untuk diketahui semua manusia. Berpangkal dari firman Allah
dalam QS. al-Hajj/22: 5, “ya ayyuhan nas” (wahai sekalian manusia),
beliau berusaha menjelaskan bahwa hal ini merupakan seruan bagi seluruh umat
manusia – tanpa terkecuali – mengenai dua hal yang amat tentang penting
dasar-dasar berfikir yang akan menjadi pegangan hidup, yaitu percaya akan
adanya Allah, dan percaya tentang adanya kebangkitan kembali sesudah mati.
Semua itu disebabkan oleh karena adanya kenyataan
bahwa banyak di antara umat manusia yang tidak percaya akan kekuasaan Allah dan
meragukan akan kebenaran wahyu Ilahi. Mereka menganggap bahwa apa yang telah
berubah dari bentuk aslinya – seperti proses kematian manusia, dari
dikubutrkan beratus-ratus tahun lamayna hingga menjadi tulang-belulang yang
berserakan, atau menjadi abu setelah dibakar – tidak akan dapat kembali seperti
semula. Menurutnya bagaimana mungkin hal itu akan terjadi?.
Secara logika, memang hal itu mustahil akan terjadi.
Hal yang demikianlah yang akan menjadikan seseorang meragukan akan wahyu Ilahi.
Bahkan keraguan itu akan bertambah manakala fikiran selalu bertumpu pada
kesanggupan yang terbatas. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat al-Qur’an kita
disuruh untuk merenungkan hal yang selalu kita hadapi, bahkan tentang diri kita
masing-masing.
Untuk membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu, termasuk di dalamnya adalah membangkitkan manusia yang telah mati,
dalam ayat selanjutnya disebutkan tentang asal-usul kejadian manusia, yaitu
yang dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa proses kejadian manusia melalui
beberapa fase. Secara eksplisit, Hamka tidak menyatakn secara pasti tentang
pembagian fase-fase tersebut. Namun, jika diikuti arah penafsirannya, nampaknya
ia membagi fase penciptaan manusia menjadi 7 fase. Fase-fase dimaksud adalah:[5]
1) Fase Turab
Menurut Hamka bahwa fase turab ini tidak hanya
berkenaan dengan manusia pertama saja, yaitu Adam, tetapi juga kita semua
diciptakan dari tanah. Menurutnya, bumi yang terkena siraman air hujan akan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, buah-buahan, bahkan segala
macam makanan pokok, seperti padi, jelai, gandum dan sagu. Dari berbagai macam
makanan itulah terdapat zat-zat yang dapat menyuburkan hidup manusia.[6]
Hal ini sejalan dengan QS. al-Sajdah/32: 27 yang menjelaskan bahwa dari
tumbuh-tumbuhan binatang ternak mereka dan mereka sendiri makan.
Berbagai macam makanan, baik nasi, sayuran, atau
buah-buahan yang kita makan pada akhirnya menjadi darah yang di dalamnya
terdapat zat hormon untuk meningkatkan nafsu sexualitas. Dari dalam darah
itilah mani berasal, baik mani laki-lai maupun mani perempuan.
2) Fase Nuthfah
Fase kedua proses penciptaan manusia dalam ayat
tersebut adalah fase nuthfah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa nuthfah asalnya adalah dari beberapa makanan yang kita makan
sehari-hari. Dalam memaknai term nuthfah ini, Hamka tidak mengkhususkan
hanya pada laki-laki saja. Artinya, bahwa nuthfah itu tidak hanya
dipunyai oleh laki-laki saja sebagaimana dipahami selama ini. Tetapi yang
dimaksud nuthfah adalah berpadunya mani laki-laki dan mani perempuan
yang ada dalam rahim. Mengenai hal ini Hamka mengatakan sebagai berikut:
Ahli gizi menyelidiki khasiat tumbuh-tumbuhan itu bagi
menyuburkan darah. Dikenalilah betapa pentingnya zat hormon dalam darah manusia
untuk nafsu setubuh atau sex. Dari dalam darah itulah mani. Baik mani si
laki-laki atau mani si perempuan. Kita misalkan secara kasar, petang hari suami
istri makan buah durian yang panas khasiatnya itu. Malam harinya mereka
bersetubuh dengan puas. Maka lekatlah zat yang akan jadi orang, yang panjang
bagai cacing yang ada di mani si laki-laki dengan zat bulat sebagai kuning
telur dalam mani si perempuan. Keduanya berpadu dalam rahim! Itulah yang
bernama nuthfah.[7]
3) Fase Alaqah
Fase ketiga proses penciptaan manusia adalah alaqah.
Fase ini merupakan kelanjutan dari fase nuthfah. Hamka mengartikan term alaqah
ini dengan ‘segumpal darah’. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa proses
terjadinya nuthfah menjadi alaqah ini setelah nuthfah
berada di rahim wanita selama empat puluh hari lamanya. Proses berubahnya nuthfah
menjadi alaqah sebagaimana dikatakannya: ‘Yaitu berangsur-angsur
dalam pertumbuhan empatpuluh hari mani segumpal yang telah jadi satu bertambah
besar itu telah berangsur-angsur menjadi segumpal darah. Itulah yang dinamakan
alaqah’.[8]
4) Fase Mudhghah
Fase selanjutnya adalah fase mudhghah (segumpal
daging). Proses terjadinya alaqah menjadi mudhghah, menurut Hamka
juga setelah melalui empat puluh hari lamanya. Pada masa ini, maka dapat
diketahui secara pasti kapan seorang wanita mengalami keguguran. Apakah pada
waktu masih menjadi nuthfah (di bawah 40 hari), atau di waktu alaqah (di
watu 80 hari), ataukah di waktu mudhghah (di bawah 120 hari).
“Yang terbentuk ataupun tidak terbentuk” pada ayat
tersebut penafsirannya adalah sampai kepada sekitar 120 hari itulah akan jelas,
apakah akan menjadi manusia sempurna (mukhallaqah) atau tidak sempurna (ghairu
mukhallaqah). Sebab, pada umur 120 hari itulah nyawa akan mulai ditiupkan.
“supaya Kami
jelaskan bagi kamu” pada ayat tersebut oleh Hamka dijelaskan sedikitnya ada
dua makna, (1) supaya jelas bagi kamu bagaimana proses perkembangan kejadian
itu, (2) bahwa setelah 3 x 40 = 120 hari (empat bulan) sudah jelaslah bagi kamu
bahwa perkembangan akan jadi manusia sudah cukup, atau sudah matang. Ataupun
kalau akan jadi, di waktu itu pulalah ketentuanya. Supaya penjagaan atas
kehamilah diselenggrakan dengan bagik pada masa itu.
Sedangkan petafsiran “dan Kami tetapkan di dalam
rahim-rahim apa yang Kami kehendaki” pada kalimat selanjutnya dijelaskan
bahwa terlepas dari masa yang tiga kali empat puluh hari, dan Tuhan pun
berkenan menentukan bentuknya, maka ditetapkan Tuhanlah di dalam rahim-rahim
itu apa yang dikehendaki-Nya, apakah ditetapkan lalki-laki atau perempuan,
rizkinya, untung buruk, untung baiknya, bahkan bentuk rupanya, ukuran badannya
kelak tinggi atau rendah, kulit menyerupai ibu atau menyerupai ayah.
5) Fase Tifl
Fase Tifl (bayi) merupakan fase setelah mudhghah.
Proses terjadinya mudhghah hingga menjadi tifl melalui proses
yang cukup lama. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada fase mudhghah,
Tuhan telah menentukan beberapa hal, baik menyangkut jenis kelamin, rizki,
bentuk rupa, dan lain sebagainya. Pada fase tifl ini, sekalipun sudah
cukup sempurna bentuk tubuhnya, namun belum tahu apa-apa. Segala alat panca
indera belum dicukupkan dan akal belum ada. Ini sebagaimana dijelaskan dalam
QS. al-Nahl/16: 78: “Dan Allahlah yang mengeluarkan kamu dari perut ibu,
kamu tidak mengetahui apa-apa”.
6) Fase Dewasa (Asudda)
Fase ini merupakan kelanjutan dari fase sebelumnya,
yaitu tifl (bayi). Proses untuk menjadi seorang dewasa juga melalui
proses yang berangsur-angsur. Dari bayi yang mencucut susu ibunya, sampai mampu
memakan-makanan keras. Dari tidur, miring berangsur merangkak mencoba berdiri,
tegak dan terjatuh dan tegak pula, sampai ia menjadi seorang yang sangat kuat.
7) Fase Pikun
Fase ini merupakan fase yang paling akhir yang harus
dilalui oleh manusia yang oleh Allah dipanjangkan umurnya. Sebab, bagi mereka
yang umurnya dipendekkan oleh Allah, sudah barang tentu fase ini tidak sempat
dijalaninya, bahkan ada yang tidak sampai pada fase mudhghah seandainya
seorang ibu mengalami keguguran. Artinya, secara normal semua fase ini akan
dijalani manusia.
Bagi mereka yang dipanjangkan umurnya, hingga mencapai
100 tahun misalnya, maka ia akan mengalami suatu keadaan di mana ia menjadi
lemah kembali, bahkan tidak mampu mengingat hal-hal yang pernah diketahuinya.
Menurut Hamka, orang-orang yang dipanjangkan umurnya seperti itu disebut
‘tawanan Allah’ (asirullah) yang masih di tawan sementara di dunia ini,
karena memenuhi kebijaksanaan tertinggi dari Tuhan.Dan pada waktunya,
orang-orang yang demikian akan dimudakan kembali oleh Tuhan, sebagaimana
janji-Nya.
b. Penciptaan Manusia Menurut al-Maraghi dalam Tafsir
al-Maraghi
Sama seperti Tafsir al-Azhar, Tafsir
al-Maraghi juga termasuk dalam kelompok tafsir tahlili-ijmali.
Sehingga, penafsirannyapun cenderung parsial dan tidak berusaha menjelaskan
ayat yang dikaji dengan ayat-ayat lain yang senada. Dalam menafsirkan QS.
al-Hajj/22: 5, Musthafa al-Maraghi mengklasifikasikan penciptaan manusia
menjadi tujuh fase, di antaranya:
a.
Fase Turab
(tanah)
Berdasarkan bunyi redaksi QS. al-Hajj/22: 5, bahwa
Allah menciptakan manusia semula dari tanah (turab) “Fainna
khalaqnakum min turab”. Beliau menafsirkan lafazh tersebut dengan
mengatakan: “Allah menciptakan manusia dari mani yang lahir dari makanan,
sedangkan makanan itu berasal dari tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan itu
semula asalnya dari bumi/tanah dan air”.[9]
Pernyataan al-Maraghi tersebut dapat dijelaskan bahwa
semula manusia itu berasal dari tanah (turab). Atau dengan kata lain
bahwa mani (nuthfah) itu dibentuk dari beberapa unsur yang dulunya
berupa makanan atau tumbuh-tumbuhanan. Sementara tumbuh-tumbuhan sendiri hidup
dari tanah dan air.
b.
Fase Nuthfah
Fase nuthfah (mani) merupakan fase kedua dalam
prosen penciptaan manusia. Nuthfah sendiri memiliki makna dasar “air
yang tawar” (al-ma’ al-‘adzb). Namun, dalam hal ini yang dimaksud dengan
nuthfah adalah ma’ al-rajuli (air laki-laki, mani).[10]
Ketika menafsirkan lafazh “tsumma min nuthfatin” beliau mengatakan: “maksudnya
dari air mani yang tersusun dari darah dan yang lahir dari makanan yang berasal
dari tanah (turab)”.[11]
Penafsiran al-Maraghi tersebut dapat dijelaskan bahwa
setelah manusia yang hidup ini memakan beberapa makanan, baik makanan nabati
maupun hewani, lalu makanan tersebut lambat laun, di antaranya ada yang berubah
menjadi nuthfah (mani) yang dimiliki seorang laki-laki.
c.
Fase ‘Alaqah
Fase ketiga penciptaan manusia menurut al-Maraghi dalam
ayat tersebut adalah fase ‘alaqah. Secara etimologis, al-Maraghi
memaknai lafazh ini dengan gumpalan darah yang beku (al-qith’ah al-jamidah
min al-dam).Artinya bahwa setelah masa nuthfah, maka lambat laun ia
menjadi ’alaqah, yaitu darah beku yang tebal (dam jamid ghalidh).
Menurutnya lebih lanjut bahwa pada fase ini sudah mulai dapat dibedakan
antara air dengan darah.
- Fase Mudhghah
Fase selanjutnya adalah fase mudhghah. Fase ini
menurut al-Maraghi adalah fase keempat setelah fase ‘alaqah. Mudhghah
sendiri secara bahasa – menurutnya lebih lanjut – berarti sepotong atau
segumpal daging yang dapat dikunyah (al-qith’ah min al-lahm biqadri ma
yamdha’u). Sebagaimana teks ayat dalam surat tersebut “tsumma min
mudhghah al-mukhallaqah wa ghair al-mukhallaqah”, bahwa pada fase ini ada
dua kemungkinan terbentuknya mudhghah;pertama, fase dimana mudhghah diciptakan
dalam keadaan sempurna (mukhallaqah), tidak ada cacat dan tidak pula ada
kekuarannya; dan kedua, fase dimana mudhghah diciptakan menjadi
sesuatu yang tidak sempurna (ghair al-mukhallaqah), sehingga bentuknya
menjadi cacat.
Dengan demikian, pada fase ini pulalah dapat diketahui
bahwa terdapat suatu perbedaan dalam kejadian manusia, yaitu ada yang sempurna
dan ada yang kurang sempurna, baik dalam hal bentuk, rupa, tinggi, dan
rendahnya ukuran badan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa penciptaan yang demikian
itu bertujuan untuk menjelaskan kepada umat manusia tentang keindahan sistem
kerja Tuhan, keagungan, serta kebijaksanaan-Nya.
e.
Fase Tifl
(bayi)
Fase kelima proses penciptaan manusia adalah fase tifl
(bayi). Fase ini merupakan fase dimana seluruh peroses penciptaan manusia
yang ada di dalam rahim (janin) sudah sempurna dan sudah ditentukan kadarnya,
kapan janin tersebut harus lahir. Dalam menafsirkan lafazh “tsumma
nukhrijukum thiflan” beliau mengatakan sebagai berikut: “kemudian
setelah sampai kepada waktu yang telah Kami tentukan untuk keluar, kalian Kami
keluarkan dari rahim itu sebagai bayi-bayi yang masih dalam buaian”.
f.
Fase Dewasa
(asyudda)
Fase keenam adalah fase dimana manusia menjadi dewasa
(asyudda). Fase ini merupakan kelanjutan dari fase sebelumnya, yaitu
bayi. Dalam prosesnya bayi tersebut dipelihara dan secara berangsur-angsur
kemudian menjadi seorang dewasa dan sangat kuat. Term asyuddu sendiri
secara bahasa memiliki makna “kekuatan” (al-quwwah).
Ketika menjelaskan fase ini, al-Maraghi menulis
sebagai berikut: “kemudian Kami memakmurkan kalian dan memudahkan
pemeliharaan kalian hingga mencapai akal dan kekuatan yang sempurna”.
g.
Fase Pikun (Ardzal
al-Umur)
Fase terakhir dalam proses penciptaan manusia adalah
fasedimana manusia menjadi tua dan pikun. Pada fase ini ada yang di pendekkan
umurnya (diwafatkan) dan ada pula yang dipanjangkan umurnya hingga mereka
menjadi seorang yang pikun (ardzal al-umur). Dalam keadaan yang
demikian, mereka sering mengalami kelupaan, yaitu tidak mengetahui lagi apa-apa
yang sebelumnya diketahuinya.
Sehubungan dengan fase yang terakhir ini al-Maraghi
menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut: “setelah itu, di antara kalian
ada yang diwafatkan setelah mencapai kekuatan dan akal yang sempurna, ada pula
yang dibiarkan hidup hingga menjadi tua renta sampai menjadi seperti
kekanak-kanakan kembali; tubuh, akal dan pemahamannya menjadi lemah”.
2)
PENCIPTAAN
MANUSIA: ANALISIS PERBANDINGAN
Memperhatikan pola penafsiran yang dilakukan, baik
oleh Hamka maupun al-Maraghi terhadap QS. al-Hajj/22: 5, nampaknya ada beberapa
hal yang perlu dianalisis lebih lanjut. Jika dilihat dari aspek metodologis,
kedua tafsir di atas termasuk dalam kategori tafsir yang menggunakan metode tahlili-ijmali.
Artinya, penafsirannya dilakukan dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
berdasarkan urutan ayat sesuai dengan mushfaf usmani dan dengan cara penjelasan
yang global dan singkat. Akibatnya, penjelasan yang dipaparkannya pun tidaklah
komprehensif dan terkesan parsial, apalagi untuk menjawab persoalan suatu
konsep yang ada dalam al-Qur’an, terlihat tidak tuntas.
Jika memperhatikan dari data kelahiran kedua mufassir
– baik Hamka (th. 1908) maupun al-Maraghi (th. 1883) yang hanya berselisih 25
tahun – nampak jelas bahwa keduanya hidup pada masa dimana peradaban sudah
berada pada tingkat yang sangat maju. Artinya, bahwa kedua mufassir sudah
dihadapkan pada situasi dimana penemuan-penemuan ilmiah sudah mulai terkuak,
baik yang terkait dengan ilmu-ilmu kealaman, maupun ilmu-ilmu anatomis tubuh
manusia. Tetapi, dalam penafsirannya, keduanya tidak berusaha menjelaskan atau
membandingkan dengan penemuan-penemuan ilmiah tersebut. Hal ini nampak jelas
sekali pada diri al-Maraghi yang ketika menjelaskan ayat dimaksud (khususnya
QS. al-Hajj/22: 5) uraiannya sangat ringkas dan padat sekali. Sehingga pembaca
seolah-olah hanya dihadapkan pada sebuah kamus bahasa Arab.
Berbeda dengan Hamka, dalam menafsirkan ayat dimaksud
ia berusaha menjelaskannya agak terperinci dan berusaha menampilkan sisi
komprehensifitasnya dengan cara mnguatkannya dengan argumen-argumen ilmiah
serta memperkuatnya dengan penemuan-penemuan ilmiah yang telah ada.
Penafsiran yang demikian, mungkin lebih disebabkan
oleh karena keduanya meyakini bahwa pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab
petunjuk dan keagamaan, dan bukan sebagai kitab ilmu pengetahuan, yang di
dalamnya harus memuat berbagai penemuan-penemuan ilmiah dan kajian-kajian
sistematis tentang ilmu pengetahuan. Sebab, jika penafsirannya di arahkan
kesana, tidak menutup kemungkinan al-Qur’an dianggap seolah-olah hanya sebagai
legitimasi terhadap berbagai macam bidang ilmu yang berkembang belekangan.
Menurut hemat penulis, penafsiran terhadap al-Qur’an
dengan menggunakan fakta ilmiah – yang secara khusus berkaitan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan – merupakan suatu yang tidak mustahil. Sebab,
tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang fenomena kealaman,
seperti penciptaan manusia, yang dalam menjelaskannya harus didukung oleh
penemuan-penemuan ilmiah yang terkait dengannya.
Usaha untuk menghubungkan antara keduanya harus
dibutuhkan kehatia-hatian. Demikian juga harus dibedakan natara fakta ilmiah
dengan teori ilmiah. Jadi alternatif yang diambil bukanlah menyesuaikan
ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan atau mencari teori ilmiah dari
al-Qur’an, tetapi lebih menemukan bagaimana perspektif al-Qur’an tentang ilmu
pengetahuan.
Oleh karenanya, jika memperhatikan kembali kedua
penafsiran yang telah diuraikan sebelumnya berkaitan dengan proses penciptaan
manusia, secara umum bahwa penafsiran tersebut sudah sesuai dengan fakta
ilmiah. Namun, bila diperbandingkan dengan penemuan ilmiah, ada penafsiran yang
tidak sesuai lagi dengan kenyataan ilmiah.
Untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif
mengenai masalah ini, di bawah ini akan kami paparkan proses penciptaan manusia
baik menurut al-Qur’an maupun sains modern dewasa ini. Namun, dalam
penjelasannya tidak akan terpaku pada ayat yang dikaji (QS. al-Hajj/22: 5),
tetapi lebih kepada usaha menjelaskan dengan cara membandingkannya dengan
ayat-ayat yang memiliki tema yang sama. Oleh karena itu, dalam tulisan ini
hanya akan ditampilkan empat proses dari tujuh proses yang ada.
1.
Fase Turab
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa asal mula manusia
dari tanah ini secara khusus merujuk pada penciptaan manusia pertama, yaitu
Adam (Abu al-Basyar).
2.
Fase Nuthfah
Fase nuthfah merupakan fase pertama kejadian
manusia sesudah Adam dan Hawa menurut perspektif Al-Qur’an. Secara definitif nuthfah
mempunyai beberapa macam arti. Al-Ragib al-Asfahaniy mengartikan lafaz nuthfah
dengan al-ma’ al-shafiy (air yang jernih).[12]Muhammad
Husain al-Thabathabai mengartikan lafaz tersebut dengan al-qalil min al-ma’
(air yang sedikit).[13]Sementara
ada yang mengartikannya dengan sisa air sedikit di timba.[14]Mungkin
arti yang terakhir lebih tepat untuk makna nuthfah, meskipun tidak
sepenuhnya. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang berarti mengalir, kata
tersebut dipakai untuk menunjukkan air yang ingin tetap dalam wadah, setelah
wadah itu dikosongkan. Jadi kata itu menunjukkan setetes kecil, dan disini
berarti setetes air sperma, karena dalam ayat lain diterangkan bahwa setetes
itu adalah setetes sperma. Allah berfirman:
أَلَمۡ يَكُ نُطۡفَةٗ مِّن مَّنِيّٖ يُمۡنَىٰ ٣٧
“Bukankah (manusia) dahulu merupakan setetes mani
yang ditumpahkan” (Al-Qiyamah/17: 37).
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa al-Qur’an
secara tegas menjelaskan bahwa kemampuan sperma untuk membuahi tidak tergantung
pada volume cairan yang ditumpahkan, tetapi hanya sebagian kecil dari sperma
itu. Ternyata sains modern sekarang dapat membuktikan lewat intizhar
para ilmuwan akan kebenaran al-Qur’an tersebut. Mengenai hal ini Drs. Med
Mudwal menulis sebagai berikut :
Pada coitus/senggama sekitar 200-3000 juta spermatozoa
yang bercampur dengan sekret-sekret kelenjar lainnya akan diletakkan ke dalam
saluran alat kelamin wanita. Tetapi hanya 300-500 sel sajalah yang sempat
mencapai tempat pembuangan. Dan hanya satu sel spermatozoa sajalah yang dapat
menembus/membuahi ocit masak.[15]
Dari sini terdapat kesesuaian antara
pernyataan-pernyataan al-Qur’an dengan sains modern, yaitu hanya satu sel
sepermatozoalah yang dapat membuahi sel telur wanita di antara berjuta-juta sel
yang dikeluarkan. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa sperma yang merupakan zat
pembuah tersebut, mempunyai beberapa unsur yang sangat komplek, sebagaimana
firman Allah dalam QS. al-Insan: 2,:
إِنَّا
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٖ نَّبۡتَلِيهِ فَجَعَلۡنَٰهُ
سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
setetes mani yang bercampur” (al-Insan: 2)
Para mufassir terdahulu mengartikan kata amsaj sebagai
suatu cairan laki-laki dan perempuan, dengan demikian seakan akan wanita juga
menghasilkan cairan yang berperan dalam reproduksi, padahal dalam pembuahan sel
telur wanita tidak terkandung di dalam suatu cairan seperti sperma, dan bahwa
berbagai keluaran getah yang benar-benar terjadi di dalam vagina dan lendir
rahim sepenuhnya tak ada hubungannya dengan pembentukan suatu manusia baru
sejauh menyangkut zat aktual mereka.
Cairan-cairan yang bercampur yang ditunjuk oleh
al-Qur’an hanya khas bagi cairan sperma yang kompleksitasnya demikian
terpaparkan. Adapun unsur-unsur sperma yang bermacam-macam itu adalah berasal
dari kelenjar-kelenjar seperti:
- Testicule, pengeluaran kelenjar kelamin lelaki yang mengandung spermatozoide yakni sel panjang yang berekor dan berenang dalam cairan serolite
- Vesicules seminates (kantong-kantong benih), organ ini merupakan tempat penyimpan spermatozoide, tempatnya dekat prostrate, organ ini juga mengeluarkan cairan tetapi cairan itu tidak membuahi.
- Prostrate, mengeluarkan cairan yang memberi sifat krem serta bau khusus pada sperma.
- Kelenjar yang tertempel kepada jalan air kencing, Kelenjar Cooper atau Mery mengeluaarkan cairan yang melekat, dan kelenjar Lettre mengeluarkan semacam lendir.[16]
Al-Qur’an masih menyebut hal-hal lain. Ia juga menjelaskan
kepada kita bahwa unsur-unsur pembuah pria berasal dari cairan sperma.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Sajdah/32: 8, allah berfirman:
ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ
مَّهِينٖ ٨
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati
air yang hina (air mani)” (al-Sajdah/32: 8).
Dan yang dimaksud dengan saripati di sini adalah suatu
bahan yang dikeluarkan atau keluar dari bahan lain dan merupakan bagian yang
terbaik dari pada bahan itu. Dari sini ternyata terdapat persesuaian yang
mengagumkan antara teks al-Qur’an dengan pengetahuan ilmiyah yang berkembang
seperti sekarang ini.
3.
Fase ‘Alaqah
Fase kedua penciptaan manusia – setelah nuthfah –
adalah ‘alaqah, yaitu suatu fase dimana terjadi penanaman sel telur yang
telah dibuahi di dalam rahim (uterus) wanita. Al-Qur’an menanamkan uterus
tempat telur dibuahkan adalah dengan nama rahim, sebagaimana firman Allah yang
artinya:
Dan Kami tetakan dalam rahim apa yang kamu kehendaki
sampai waktu yang sudah ditentukan (QS. al-Hajj/22: 5).
Lafaz alaqah atau yang dalam ilmu kedokteran
disebut sebagai nidasi (menetapnya telur yang sudah dibuahi), di dalam
al-Qur’an sering terulang beberapa kali, salah satunya adalah:
Bukankah dia dahulu setetas mani yang ditumpahkan
(kedalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah
menciptakanya, dan menyempurnakannya (QS. al-Qiyamah/17: 37-38)
Para mufassir biasa mengartikan lafazh alaqah dengan
segumpal darah, seperti yang kita dapati di dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya
oleh Departemen Agama seperti tersebut di atas. HAMKA dan juga al-Maraghi
ketika memaknai lafazh tersebut juga dengan pengertian yang sama. Arti lafazh alaqah
selain segumpal darah adalah sesuatu yang bergantung.[17]
Arti yang terakhir adalah dirasa lebih relevan dengan makna ayat di atas. Ini
disebabkan oleh karena setelah nuthfah, maka hasil konsepsi akan
melakukan persarangan atau pelekatan di rahim (masuk studium blastula).[18]Alasan
lain bahwa manusia tidak pernah melewati tahap “segumpal darah”.[19]
Oleh karena itu pengertian alaqah dengan sesuatu yang melekat adalah
lebih relevan dengan menemuan sains modern.
4.
Fase Mudhghah
Fase selanjutnya, setelah melalui tahap alaqah
(sesuatu yang bergantung atau sesuatu yang melekat), embrio, menurut al-Qur’an
melalui suatu tahap mudhghah (segumpal daging).
Secara definitif mudhghah dapat diartikan
dengan sesuatu yang dikunyah, yaitu seperti daging yang dikunyah. Pada fase ini
perkembangan embrio telah dimulai, perkembangan embrio dimulai dari
terbentuknya garm disc, embrional period, mudhghah, sampai saat janin
akan dilahirkan.
Terbentuknya garm disc/lempeng benih dalam al-Qur’an
lebih dikenal dengan nama mudhghah dari pada kata-kata lahm yang artinya
juga segumpal daging. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa arti kata mudhghah
adalah seperti daging yang dikunyah, sedangkan kata lahm lebih merujuk
pada daging yang segar dan menunjukkan bahwa perkembangan lempeng benih telah
selesai. Jaringan-jaringan tulang dan tulang belulang mulai nampak dalam embrio
itu yang secara berurutan diliputi oleh otot-otot. Jadi memang sangat tepatlah
kalau kata-kata lahm digunakan untuk daging pembungkus otot, di mana
fase ini merupakan fase setelah fase mudhghah dan fase ‘izam.
Gagasan ini diungkakan dalam al-Qur’an surat al-Mukminun/23: 14, Allah
berfirman:
ثُمَّ
خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا
ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ
خَلۡقًا
ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang-belulang Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah
Pencipta Yang paling baik” (al-Mu’minun: 14)
Dari ayat di atas, jelas al-Qur’an mengatakan
terjadinya mudhghah/garm disc dan sebagian masa perkembangannya, yaitu
terbentuknya tulang dan otot-otot. Jadi, walaupun tulang belulang dan otot-otot
sudah terbentuk, belum satu sebab untuk kita mengatakan bahwa embrio tersebut
telah masuk pada masa perkembangan janin/tahap penyempurnaan jaringan. Karena,
walaupun pada akhir minggu ke 8 embrional periode/perkembangan lempeng benih,
susunan alat-alat utama telah terbentuk, tetapi penyempurnaan jaringan dan
alat-alat dalam, pertumbuhan yang cepat, dan deferensiasi yang tidak menonjol
lagi, baru dimulai setelah permulaan bulan ketiga. Bahkan pada permulaan bulan
ketiga wajah baru dianggap menyerupai manusia. Baru setelah masuk bulan keempat
sudah menyerupai manusia.
Pada masa perkembangan embrio terbentuk juga
ruangan-ruangan disekitar tempat pertumbuhan embrio (embrionaplate) pada
hari ke 13. Ruangan-ruangan itu di dalam al-Qur’an disebut dengan tiga
kegelapan (zhulumat salas). Sebagaimana firman Allah dalam QS.
al-Zumar/39: 6, Allah berfirman:
خَلَقَكُم
مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ
ٱلۡأَنۡعَٰمِ ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ
أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا
مِّنۢ بَعۡدِ خَلۡقٖ فِي ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ
ٱلۡمُلۡكُۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٦
“Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian
demi kejadian dalam tiga kegelapan” (QS. al-Zumar/39: 6)
Kata-kata tiga kegelapan dalam ayat tersebut di atas
menunjukkan ruang-ruang yang melingkupi tempat embrio. Di mana embrio yang
terdapat di dalam uterus si ibu, hidup dengan aman dari gangguan. Adapun tiga
lapisan selaput itu disebut oleh ahli-ahli bedah dengan amnios membrane.
Lapisan pertama berbentuk selaput halus yang merupakan kantong cairan
aminotik. Di dalam kantong inilah embrio tinggal selama masa hamil, ia bebas
bergerak, kadang-kadang bermain dengan tali pusatnya dan kadang-kadang mengecup
telunjuknya. Sedangkan lapisan kedua adalah rahim yang melindunginya
dari semua penjuru yang dalam istilah ilmu kedokteran modern disebut chorin
frondosom. Dan lapisan yang ketiga adalah dinding perut yang disebut
devidnavera.[20]
Kemudian setelah melalui tahap tersebut di atas Allah
menjadikannya makhluk yang berbentuk lain yaitu manusia. Dengan terlebih dahulu
meniupkan roh-Nya dan melengkapinya dengan indera-indera dan bagian lain dalam
tubuh. Sebagaimana firman Allah dalam surat als-Sajdah: 9, Allah berfirman:
ثُمَّ
سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ
وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَۚ قَلِيلٗا
مَّا
تَشۡكُرُونَ ٩
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
(tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS.
al-Sajdah: 9)
Ayat lain yang senada dengan ayat tersebut di atas
antara lain QS. 82; 7; QS.64:3; QS. 75:38. Dari ayat di atas dapat di pahami
bahwa kriteria yang disebut manusia (jasad dan roh) adalah setelah Allah
menyempurnakan kejadian manusia.Dan sekarang yang menjadi permasalahan adalah
kapan Allah menyempurnakan kejadian tersebut?.
Oleh karena ayat-ayat al-Qur’an tidak ada yang
menyebutkan secara jelas dan pasti, dan oleh karena roh bukan fokus dari pada
ilmu, maka dalam hal ini kami mengambil hadis Nabi sebagai sumber Islam lainnya
untuk mengungkap rahasia al-Qur’an dan membandingkannya dengan sains modern.
Mengabarkan akan kami al-Hasan bin al-Raba’i,
mengabarkan akan kami Abul Ahwas dari al-A’mas dari Sa’id bin Wahab, Abdullah
berkata : Mengabarkan akan kami Rasulullah saw. dan ia orang yang benar dan
lagi dibenarkan, bahwasannya awal kejadian seseorang kamu (yaitu sperma dan
ovum) berkumpul dalam perut ibumu selama empat puluh malam, kemudian menjadi
segumpal darah selama itu (pula), lalu menjadi segumpal daging selama itu
(pula), kemudian Allah mengutus Malaikat, setelah Allah meniup roh kedalamnya.
Maka malaikat itu diperintakannya menulis empat kalimat, lalu malaikat itu menuliskan
rizkinya, ajalnya, amalnya, bahagia atau sengsaranya”. (HR. Bukhari).[21]
Berdasarkan hadis tersebut di atas roh ditiupkan
setelah empat bulan. Jadi kata-kata al-Qur’an disempurnakan kejadiannya
maksudnya adalah pada umur kehamilan empat bulan tersebut, dan hal ini sesuai
dengan sains modern.
Ternyata apa yang diinformasikan oleh al-Qur’an
mengenai perkembangan embrio sangatlah sesuai dengan embriologi modern sekarang
ini. Maha suci Allah dengan segala firman-Nya. Itulah sebagian kecil dari
tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapa dalam alam mikro (fi anfusihim).
Masih banyak lagi tanda-tanda kebesaran-Nya yang tidak dapat kami ungkapkan
dalam makalah ini.
C.
PENUTUP
Konsep penciptaan manusia dalam
al-Qur’an diilustrasikan sebagai sesuatu yang terjadi secara evolutif, dari
sesuatu yang sangat sederhana menjadi manusia yang sangat sempurna. Jika,
konsep penciptaan manusia dalam al-Qur’an ini dikaji secara parsial – tanpa
memperhatikan ayat-ayat lain yang juga berbicara tentang tema yang sama – maka
akan menimbulkan pemahaman yang nampak saling kontradiktif dan bertentangan.
Proses kejadian manusia pertama misalnya, dalam satu ayat diilustrasikan
sebagai sesuatu yang terbentuk dari turab, tetapi pada ayat-ayat yang
lain, ia dibentuk dari thin, thin lazibin, sulalah min thin, shalshal min
hamaim masnun, dan sebagainya.
Ketika berbicara tentang proses
penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa pun, satu ayat dengan ayat yang
lainnya juga nampak adanya pertentangan, satu sisi al-Qur’an menyebutkan bahwa
proses penciptaannya melalui tiga tahapan, namun di sisi lain al-Qur’an juga
menjelaskan bahwa prosesnya melalui empat, lima, enam, bahkan sampai tujuh
tahapan. Oleh karenanya, pemahaman yang komprehensif tentang konsep al-Qur’an
mengenai sualu masalah menjadi sangat penting sekali. Untuk bisa mendapatkan
pemahaman yang demikian, maka diperlukan perangkat analisis yang bersifat
metodologis-aplikatif dalam memahaminya.
Berkaitan dengan konsep penciptaaan
manusia ini, khususnya dalam QS. al-Hajj/22: 5, baik penafsiran yang dilakukan
oleh HAMKA maupun al-Maraghi nampak adanya kesamaan pemahaman. Ketika memaknai
kata-kata kunci yang terdapat dalam ayat tersebut, seperti nuthfah, ‘alaqah,
mudhghah, dan sebagainya tidak ada perbedaan pemaknaan. Term nuthfah diartikan
sebagai air mani, ‘alaqah sebagai segumpal darah, dan mudhghah sebagai
segumpal daging. Pemaknaan yang demikian, juga dilakukan oleh para penafsir
lainnya. Bisa jadi, pemaknaan ini lebih dititik beratkan pada makna kamus, dan
bukan pada hasil intizhar secara ilmiah saintifik.
Memang, secara umum pemaknaan yang
demikian sesuai dengan fakta ilmiah, namun ada pemaknaan yang perlu
direkonstruksi kembali berkaitan dengan konsep ini. Sebegai contoh ketika
memaknai term ‘alaqah, kebanyakan ulama menafsirkannya dengan ‘segumpal
darah’. Padahal ada makna lain selain segumpal darah yaitu ‘sesuatu yang
bergantung’, dan makna yang disebutkan terakhir ini lebih relevan dan sesuai
dengan fakta ilmiah, sebab, sebagaimana dikemukakan oleh Maurice Bucaille,
bahwa manusia tidak pernah melewati tahap ‘segumpal darah’. Oleh karenanya,
pemaknaan ‘alaqah dengan ‘sesuatu yang melekat’ adalah yang lebih tepat
dibandingkan dengan ‘segumpal darah’.
Daftar Rujukan
Abdul Djalal H.A., Tafsir al-Maraghi dan Tafsir
al-Nur: Sebuah Studi Perbandingan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijogo, 1985
al-Asfahaniy, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfazh
al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
al-Maraghi, Abdullah Musthafa, al-Fath al-Mubin fi
Tabaqat al-Ushuliyin, Beirut: Muhammad Amin. Co., 1934
al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Jilid.
XVI, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
al-Thabathabai, Muh}ammad H}usain, Al-Mizan fi
Tafsir al-Qur’an, Jilid. XIV, Iran: Ismailliyan, 1412 H
Bucaille, Maurice, Dr., Asal-Usul Manusia Menurut
Bible, al-Qur’an, Sains, Bandung: Mizan, 1992
——–, Bible, Qur’an, dan Sains Modern, Jakarta:
Bulan Bintang, 1979
Charisma, Moch. Chadziq, Drs., Tiga Aspek
Kemu’jizatan al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1991
Ensiklopedi Islam, Jakarta:
t.tp, 1993
Fath al-Barri Syarah Shahih al-Bukhari, Jilid. VI,
Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
HAMKA, (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Prof. Dr., Tafsir
al-Azhar, Jizu’ 17, Jakarta: Pustaka Panjimas, t.th.
Kahhalah, Umar Rida, Mu’jam al-Muallifin, Beirut:
Dar al-Ihya’ al-‘Ulum, 1376
Mudwal, Med, Drs., Sumbangan al-Qur’an dalam
Ilmu Kebidanan Sebuah Tinjauan terhadap Tafsir al-Qur’an, Solo: Ramadhani,
1986
Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta:
Ponpes Al-Munawwir, t.th.
Muthahhari, Murtadho Ruh, Materi dan Kehidupan, Bandung:
Yayasan Muthahhari, 1993
Nuwaihid, ‘Adil, Mu’jam al-Mufassirin min Sadr
al-Islam hatta al-‘Ashr al-Hadir, Beirut: Muassasah al-Nuwaihid
al-Saqafiyah, 1988
Thoha, Ahmadie, Kedokteran Dalam Islam, Surabaya:
Bina Ilmu. T.th.
[1] Menurut Maurice
Bucaille, bahwa aspek sepiritual daripada asal-usul manusia dari tanah adalah
ditekankan pada kenyataan bahwa kita akan kembali ke tanah setelah kematian dan
akan mengeluarkannya pada hari pengadilan kelak. (Lihat Dr. Maurice Bucaille, Asal-Usul
Manusia Menurut Bible, al-Qur’an, Sains (Bandung: Mizan, 1992), h. 202
[2] Lihat Drs. Moch. Chadziq
Charisma, Tiga Aspek Kemu’jizatan al-Qur’an (Surabaya: Bina Ilmu,
1991), h. 215.
[3] Lihat Murtadho
Muthahhari, Ruh, Materi dan Kehidupan (Bandung: Yayasan Muthahhari,
1993), h. 46
[4] Ke 34 ayat dimaksud secara
sederhana dapat disimpulkan kedalam empat ayat (1) QS. 32: 7-9, yang
menjelaskan bahwa penciptaan manusia dibedakan ke dalam tiga tahapan; (2) QS.
75: 37-39, yang menjelaskan bahwa penciptaan manusia dibedakan ke dalam empat
tahapan; (3) QS. 22: 5; yang menjelaskan bahwa penciptaan manusia dibedakan ke
dalam lima tahapan; dan (4) QS. 23: 12-14, yang menjelaskan bahwa penciptaan
manusia dibedakan ke dalam enam tahapan.
[5] Lihat Prof. Dr. Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (untuk selanjutnya disebut Hamka), Tafsir
al-Azhar, Jizu’ 17 (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.th.), h. 137
[8]Ibid
[9]Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid. XVI (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), h. 88
[12] Lihat al-Raghib
al-Asfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), h. 517
[13] Muhammad Husain
al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid. XIV (Iran:
Ismailliyan, 1412 H), h. 20
[14] Ahmad Warson Munawir, Kamus
al-Munawwir (Yogyakarta: Ponpes Al-Munawwir, t.th.), h. 1530
[15] Drs. Med Mudwal, Sumbangan
al-Qur’an dalam Ilmu Kebidanan Sebuah Tinjauan terhadap Tafsir al-Qur’an (Solo:
Ramadhani, 1986), h. 16-17
[16] Lihat Dr, Maurice
Bucaille, Bible, Qur’an, dan Sains Modern (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 301
[17] Ahmad Warson Munawir, op.
cit., h. 1035
[18] Drs. Med Mudwal, op.
cit., h. 39
[19] Dr. Maurice Bucaile, op.
cit., h. 303
[20] Ahmadie Thoha, Kedokteran
Dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu. T.th.), h. 79-80
[21] Lihat Fath al-Barri
Syarah Shahih al-Bukhari, Jilid. VI (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 303
Tidak ada komentar:
Posting Komentar