Rabu, 09 Maret 2016

TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMOMI DALAM ISLAM

TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMOMI DALAM ISLAM
Jamal Siregar (15770020)

A.  Pendahuluan
Sejak Manusia dilahirkan dan bergaul, tumbuhlah suatu masalah yang harus dipecahkan bersama-sama, yaitu setiap manusia memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing. Karena kebutuhan hidup seseorang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri. Makin luas pergaulan mereka bertambah kuatlah ketergantungan antara satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan itu.[1]

Kebutuhan hidup membuat manusia disebut sebagai pelaku ekonomi, berkembang manusia menjadi banyak populasi dan tersebar di berbagai belahan dunia membuat ekonomi semakin berkembang. Teori tentang bagaimana cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi suatu disiplin ilmu, kemudian ilmu berkembang dari paham-paham pakar ekonomi terdahulu seperti kapitalis, komunis,  dan sosialis,  namun teori-teori dari beberapa aliran ini memiliki banyak kekurangan untuk diterpakan dalam perekenomian manusia.
Turunnya agama Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw, agama tauhid dari Allah Swt yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi. Seiring dengan lahirnya Agama Islam, maka lahirlah teori ekonomi baru yang langsung dipraktekkan oleh Rasulullah Saw yaitu Ekonomi Islam, ekonomi yang berbasis pada prinsip ketuhanan. Hingga saat ini agama Islam berkembang dan memiliki banyak penganut yang disebut sebagai kaum muslimin.
Hadirnya ekomi Islam bagi kaum mulsimin merupakan anugerah yang sangat besar dari Allah Swt, dimana selama ini ummat manusia menganut aliran ekonomi yang tidak adil seperti aliran kapitalis. Namun demikian haingga saat ini aliran kapitalis masih diterpakan di beberapa negara di Dunia, demikian aliran ekonomi soialis. Bagi kaum muslimin penting untuk membedakan mana yang syariah dan mana yang konvesional dalam ekonomi, untuk itu kita harus berpegang pada prinsip dasar ekonomi Islam yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dibawa Rasulullah SAW yang merupakan kitab sucinya kaum muslimin. Ada beberpa ayat dari Al-Qur’an mengenai prinsip-prinsip dasar ekonomi, tidak hanya prinsip dasar ekonomi Islam, aspek ekonomi lain seperti menciptakan kesejahteraan agama dan sosialis, kewajiban manusia bekerja dan mengakui kepemilikan individual. Semua ayat-ayat mengenai aspek tersebut akan dibahas dalam makalah ini. Oleh karena itulah penulis membagi waktu untuk menuliskan judula makalah Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam.

B.  Pembahasan
1.    Pengertian Tafsir Tematik
Kata maudu’i yang dinisbatkan pada kata Al-maudhu’i yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Dalam kamus Al-Munawir dijelaskan bahwa kata maudhu’ adalah derivasi dari kata wadha’a yang berkedudukan sebagai isim maf’ul yang berarti masalah.[2] Secara semantik, tafsir maudhu’i berarti penafsiran Al-Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan tafsir tematik.[3]
Menurut Ali Hasan Al-Aridh, Tafsir Tematik adalah suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat Al-qur’an yang berbicara tentang suatu pokok pembicaraan atau tema (maudhu’i) yang mengarah kepada satu pengertian atau tujuan.[4] Dengan demikian yang dimaksud dengan metode tematik ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat Al-Qur'an dengan menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[5]
2.    Cara Kerja Tafsir Maudu’i
Al-farmawi didalam kitab Al-bidayah Fittafsir Al-maudu’iy secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
a.    Memilih masalah Al-qur’an yang akan dikaji secara tematik
b.    Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
c.    Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau Asbab An-nuzul.
d.   Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
e.    Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh.
f.     Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
g.    Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian am dan kahas, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.[6]
h.    Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.[7]
3.    Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhu’i
a.    Kelebihan Metode maudi’i
1)   Hasil tafsir maudi’i memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan sementara orang bahwa Al-qur’an hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
2)   Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap Al-Qur’an.
3)   Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan falsafah dan balagah Al-qur’an.
4)   Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
5)   Tafsir maudi’i lebih tuntas dalam membahas masalah.
b.    Kekurangan Metode maudi’i
1)   Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.
2)   Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja. Yang dimaksudkan di sini ialah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersamaan dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, maka mau tak mau ayat tentang shalat harus ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar ridak menganggu pada waktu melakukan analisis.
3)   Membatasi pemahaman ayat. Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalah yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufasir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek. Dengan demikian, dapat menimbulkan kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu memang merupakan konsekuensi logis dari metode tematik.[8]
4.    Sistem Ekonomi Islam
“Utsman ibn Abul ‘Ash berkata kepada Umar Radhiallaahu anhu, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya di daerah kami terdapat lahan tanah yang tidak dimiliki seseorang, maka putuskanlah dia kepadaku untuk aku kelolanya, sehingga dia mendatangkan manfaat bagi keluargaku dan juga bagi kaum muslimin.” Maka Umar menetapkan lahan tersebut untuknya. Ekonomi Islam (syariah) semakin tumbuh dengan sangat signifikan ditandai dengan bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah baik bank syariah, asuransi syariah, hingga pegadaian syariah. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam selain memberikan ketenangan karena dijalankan sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, juga memberikan keuntungan yang cukup menggiurkan.
Ekonomi Islam juga disebut sebagai ekonomi yang rahmatan lil ‘alamin, karena sesuai dengan sumbernya yaitu Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Seyogyanya, dengan kehadiran ekonomi Islam ini dapat memberikan jawaban yang nyata terhadap berbagai krisis ekonomi yang menderat. Berkenaan dengan ekonomi syariah sebagai rahmatan lil ‘alamin, kita bisa merujuk terhadap dialog antara ‘Utsman ibn Abul ‘Ash dengan Amirul Mukminin Sayyidina Umar ibn Khattab di atas. Dalam dialog tersebut ‘Utsman ibn Abul ‘Ash meminta kepada Amirul Mukminin Umar ibn Khattab tanah yang tidak dimiliki seseorang dan tidak dikelola untuk dia kelola. Sehingga dengan dia kelola, maka tanah tersebut dapat hidup dan bermanfaat. Bermanfaat di sini diutarakan oleh ‘Utsman ibn Abul ‘Ash adalah bermanfaat bagi keluarganya dan juga bagi kaum Muslimin. Dalam benak pikiran “Utsman Ibn Abul Ash adalah keluarga dan umat muslim yang harus menikmati keberhasilan dari pemanfaatan lahan yang diolah olehnya. Pemanfaatan yang dimaksud mungkin ketersediaan lapangan kerja, berzakat dan bersedekah kepada fakir-miskin, serta memberikan bantuan-bantuan lain yang sekiranya diperlukan.[9]
5.    Tafsiran Ayat Tentang Ekonomi Islam
Firman Allah yang mengatakan
.ياايهاالذين امنواكونوقومين لله شهداءبلقسط
 ولايجرمنكم شنان قوم على الاتعدلوا. اعدلواهواقربوللتقوى. واتقوالله ان لله خبيربما تعملون
Artinya: Hai orang-orang briman hendaklah kamu orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-maidah: 8)
Yakni jadilah kalian orang-orang yang menegakkan Al-haq karena Allah Azza Wajalla bukan karena manusia dan Sum’ahسمعه  (mencari popularitas). Jadilah kalian شهداءبلقسط (saksi yang adil), yakni bukan dengan kedzaliman. Termaktub dalam As-shahihain dari An-Nu’man bin Basyir bahwa ia mengatakan “ayahku memberikan suatu pemberian kepadaku, maka ibuku Amrah Binti Rawahah mengatakan kepadanya, “aku tidak rindu hingga engkau menjadikan Rasulullah Saw sebagai saksinya. Iapun datang kepada beliau untuk memintanya sebagai sadaqah yang diberikan kepadaku, meka beliau bertanya “اكل ولدك تَحلت مثله Apakah semua anakmu telah kamu berikan sepertinya?, ia menjawab, tidak. Mendengar itu, beliau mengatakan: اني لا يشهد على جور  وقال, اتق لله وعدلو. في اولداكم bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adil terhadapa nak-anakmu, beliau melanjutkan “aku tidak menjadi saksi atas kedjaliman, ayahku pulang dan menarik sadaqahnya kembali.
Firmannya ولايجرمنكم شنان قوم على الاتعدلو dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Yakni janganlah kebencian kepada kaum mendorong kalian untuk tidak adil terhadap mereka. Tetapi berlaku adillah pada setiap orang, baik teman maupun musuh. Karena itu Allah berfirman, اعدلواهواقربوللتقوى berlaku adillah, karena berlaku adil itu mendekatkan pada taqwa”. Yakni keadilan kalian itu lebih dekat kepada ketakwaan daripada meninggalkannyya. Fi’il (kata kerja) adilah menunjukkan pada masdar (kata benda bentukan) yakni keadilan. Masdar ini ditunjukkan oleh dhamir (kata ganti) Hua. Kasus seperti ini banyak contohnya dalam Al-Qur’an dan selainnya.
Kemudian Allah berfirman واتقوالله ان لله خبيربما تعملون dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Yakni dia akan memberikan balasan kepada apa yang kalian kerjakan. Jika baik maka Allah memberikan balasan yang baik, namun jika amalan kalian buruk maka Allah akan memberikan balasan yang setimpal dengan kejahatan yang kalian lakukan.[10]
Ayat ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang berurusan dengan agama maupun yang bertujuan dengan urusan kehidupan duniawi. Karena dengan demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil dan balasan yang merka harapkan. Dalam persaksian, mereka harus adil dalam menerangkan apa yang sebenarnya, tampa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat. Ayat ini senafas dan seirama dan dengan Surat Annisa 4:135 yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaannya dalam ayat itu diterangkan beraku adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan kerabat sendiri, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan.
Selanjutnya secara luas dan menyeluruh Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman supaya berlaku adil, karena keadilan diperlukan dalam segala hal, untuk mencapai dan memperoleh ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena adil adalah jalan yang terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada Allah.
Akhir ayat ini menyatakan janji Allah bahwa kepada orang-orang yang beriman yang banyak beramal saleh akan diberikan ampunan dan pahala yang besar. Janji Allah akan ditepatinya sebagaimana dinyatakan dalam firmannya ان لله لا يفلح الميعاد sesungguhnya Allah tidak akan menyalahi janji. (Ali ‘Imran: 3:9).
Amal saleh ialah setiap pekerjaan baik, bermanfaat dan patut dikerjakan, baik pekerjaan ubudiyah seperti salat dan lain-lain, maupun pekerjaan seperti menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan perbuatan sosial lainnya.[11]
يايهالذين امنوا قونواقومين بلقسط.
Hai orang-orang beriman hendaklah kamu menjadi penegak kebenaran, yakni melaksanakan الله (karena Allah), dengan hak-haknya, شهداءبلقسط (serta menjadi saksi-saksi dengan adil). ولا يجرمنكم dan jangan sekali-kali mendorongmu membawa kebencian kepada suatu kaum yakni orang kafir, untuk tidak berlaku adil, lalu kamu menjelek-jelekkan mereka karena permusuhan mereka.
 اعدلوberlaku adillah, terhadap musuh dan teman setia, karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan, lalu memberimu balasan atasnya.[12]
 قوامينmerupakan bentuk jamak dari قومن yang berarti banyak melakukan amal untuk Allah Ta’ala yang merupakan hakya dan apa yang diwajibkan Allah atasnya, dan hak orang lain yang tidak boleh dilanggar. شهداءبلقسط menjadi saksi yang adil, ولا يجرمنكم dan jangan sekali-kali membawa kalian سن ان kemarahan dan permusuhan. العدل yakni kejaliman, yakni persamaan tampa kejaliman dan kesalahan. اقربو لتقو yakni keadilan lebih dekat kepada taqwa daripada kejaliman.
Dalam ayat kedelapan ini Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar menjadi qowwamin yang banyak melakukan ketaatan untuk Allah Ta’ala sebagai hak-hak Allah atas mereka, dan menjadi saksi-saksi keadilan yang tidak melakukan kesalahan dan kejaliman dalam hal apapun, baik yang menjadi objek persaksian itu seorang teman atau seorang musuh. Allah juga mencegah mereka untuk tidak terbawa oleh kemarahan suatu kaum dengan berlaku tidak adil, sedang mereka telah diperintahkan untuk berlaku adil. Kemudian dia telah memerintahkan untuk selalu berlaku adil serta memberitahukan bahwa orang yang selalu berlaku adil itu adalah orang yang paling dekat pada ketakwaan, karena barang siapa yeng memiliki keadilan itu maka ia lebih mampu dalam melaksakana hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan lebih mampu dalam meninggalkan kejaliman dan menjauhi semua larangan. Kemudian dia memerintahkan mereka untuk bertakwa seraya mempertegas bahwa ketakwaan merupakan asas segala sesuatu, dan memberitahukan kepada mereka bahwa dia mengetahui apa yang mereka kerjakan, agar bertambah kemampuan bermurokobah kepada Allah dari diri mereka, sehingga mereka dapat berhasil berlaku adil dan takwa secara bersama-sama.[13]
Hai orang-orang beriman hendaklah kamu menegakkan kebenaran kepada Allah dan menegakkakan keadilan pada dirimu, dan kepada orangtuamu, dan kaum kerabat meskipun dalam keadaan kaya maupun fakir. Maka Allah adalah memimpin bagi keduanya (miskin dan kaya). Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu, maka hendaklah berlaku adil meskipun merugikan kamu dan menguntungkan bagi yang lain, karena Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Makna dari kata اعد لو هو اقربو للتقوى  adalah menyerukan pada keadilan.[14]
Hai orang-orang yang beriman bersaksilah kalian dengan benar, dan takutlah kepada Allah Swt dalam pelaksanaannya, hindarilah persaksian palsu. Oleh karenanya laksanakanlah persaksian dengan adil dan benar. Janganlah celaan orang yang mencela membuat kalian berpaling dari Allah swt, dan janganlah permusuhan kaum musyrikin dan kebencian orang-orang kafir kepada kalin mendorong kalian bersikap tidak adil dalam persaksian bersama mereka maupun terhadap mereka. Tapi sampaikanlah kebenaran meski kebenaran itu untuk kepentingan musuh kalian. Sebab bersikap adil itu lebih dekat kepada takwa, sikap adillah yang menegakkan langit dan bumi. Allah pun menyuruh kalian bersikap adil, jangan sebab paktor-paktor kekerabatan membuat persaksian kalian menguntungkan keluarga kalian. Janganpula kebencian musuh terhadap kalian membuat persaksian kalian merugikannya. Bertakwalah kalian kepada Allah Swt, dan takutlah kepada-Nya dalam melaksanakan persaksian, waspadalah terhadap persaksian palsu. Sesungguhya tidak ada yang bisa disembunyikan dari pengetahuan-Nya. Amal kalian juga dalam pengawasan-Nya, perkataan kalian juga dalam pendengaran-Nya, perbuatan kalian dalam perhitungan-Nya.[15]
يَاايهاالذين امنواكونواقوامين الله  Hai orang-orang yang beriman hendaklah kalin menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah (Al-Maidah: 8). Yakni jadilah kalian orang-orang yang menegakkan kebenaran karena Allah, bukan karena manusia atau karena harga diri.
شهداءبالقسط menjadi saksi dengan adil. Maksudnya menegakkan keadilan bukan kejaliman telah disebutkan dalam sahihain dari An-Nu’man ibnu basyir yang menceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian yang berharga. Ibunya benama amrah bin rawwahah berkata “aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah Saw”, kemudian ayahnya menemui Rasulullah untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut, maka Rasulullah bertanya:
جورعلى لااشهداني :وقال(دكماولافي وعد لوالله اتقو)فقال.لا:؟قال متله تحلت,اكل ولدك
 Apakah semua anakmu diberi hadiah yang sama? Ayahku menjawa: tidak. Lalu Rasulullah Saw bersabda, bertakwalah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anakmu. Dan Rasulullah bersabda pula, sesungguhya aku tidak mau bersaksi atas kejaliman. An-nu’man ibnu basyir melanjutkan kisahya, bahwa lalu ayahnya pulang dan mencabut kembali pemberian itu.
Firman Allah swt
ولايجرمنكم سنان قوم الاتعدلو
Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Artinya, janganlah kalian biarkan perasaan benci terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil kepada mereka, tetapi amalkanlah keadilan terhadap setiap orang, baik terhadap teman maupun musuh. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:
اعدلو هو اقربو للتقوى
Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa, yakni sikap adilmu lebih dekat kepada taqwa daripada kamu meninggalkan.[16]
Surat Al-Baqarah: 60 dan 168
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Baqarah:60)
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”(Q.S. Al-Baqarah:168
Pada permulaan ayat (60) ini Allah swt mengisahkan bagaimana Nabi Musa A.s. berdoa kepada Allah swt untuk mendapatkan air minum bagi para pengikutnya itu yang terdiri dari dua belas suku. Allah mengabulkan doa tersebut, lalu memerintahkan Nabi Musa A.s. memukulkan tongkatnya ke sebuah batu besar yang ada di padang pasir itu. Tiba-tiba memancarlah air dari batu sebanyak dua belas sumber, sehingga masing-masing suku dari kaum Nabi Musa a.s. mendapatkan air minum dengan cukup.
Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Musa a.s. untuk membuktikan kerasulannya dan untuk menunjukkan kekuasaan Allah swt. Sesungguhnya Allah kuasa memancarkan air dari batu tanpa dipukul dengan tongkat lebih dahulu akan tetapi Allah swt hendak memperlihatkan kepada hamba-Nya hubungan sebab dengan akibat, supaya mereka itu apabila menginginkan sesuatu haruslah berusaha dan bekerja mendapatkannya menurut proses hubungan antara sebab dan akibat. Allah swt telah menyediakan rezeki untuk setiap makhluk-Nya yang hidup di muka bumi ini, akan tetapi rezeki itu tak datang sendiri, melainkan harus diusahakan dan harus ditempuh cara caranya. Siapa yang malas berusaha tentu tidak akan mendapatkan rezeki yang diperlukan. Akan tetapi, di samping itu Allah swt telah menciptakan manusia ini mempunyai pikiran dan perasaan yang terbatas, sehingga ia hanya dapat memahami yang berada dalam daerah jangkauan indera pikiran dan perasaannya. Apabila ia melihat adanya sesuatu yang berada di luar kemampuannya, ia berusaha untuk mengembalikan persoalannya kepada yang telah diketahuinya. Bila ia tidak dapat memahaminya sama sekali maka ia menjadi bingung, apabila hal itu terjadi di hadapannya berulang kali, maka Allah memperlihatkan mukjizat melalui para nabi sesuai dengan keadaan umat pada masa nabi itu. Allah swt menyuruh mereka makan dan minum dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada mereka dan dilarang-Nya mereka untuk berbuat kelaliman.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 168 dijelaskan bahwa manusia harus mencari makanan yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram, yang haram telah pula disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu yang tidak disembelih, daging babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang demikian halal dia dimakan. Tetapi hendaklah pula yang baik meskipun halal. Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia. Misalnya daging lembu yang sudah disembelih, lalu dimakan saja mentah-mentah. Meskipun halal tetapi tidaklah baik. Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu daya halus atau paksaan atau karena segan-menyegan. Karena segan diberikan orang juga, padahal hatinya merasa tertekan. Atau bergabung keduanya, yaitu tidak halal dan tidak baik; yaitu harta dicuri, atau seumpamanya. Ada juga umpama yang lain dari harta yang tidak baik; yaitu menjual azimat kepada murid, ditulis di sana ayat-ayat, katanya untuk tangkal penyakit dan kalau dipakai akan terlepas dari marabahaya. Murid tadi membelinya atau bersedekah membayar harga, meskipun tidak najis namun itu adalah penghasilan yang tidak baik.[17]
Supaya lebih kita ketahui betapa besarnya pengaruh makanan halal itu bagi rohani manusia, maka tersebutlah dalam suatu riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Mardawaihi daripada Ibnu Abbas, bahwa tatkala ayat ini dibaca orang dihadapan Nabi SAW, yaitu ayat: ”Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan doa yang disampaikannya kepada Allah, supaya dikabulkan oleh Allah. Maka berkatalah Rasulullah SAW: Wahai Sa’ad, Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empatpuluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya.”
Artinya, lebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa juka dibandingkan dengan apai neraka. Biar hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang haram. Penting sekali peringatan ini, kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit adalah hubunganya dengan perut asal berisi. Berapa perbuatan curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat perut. Maka apabila manusia telah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman modern ini dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada kekasarannya.
Kemudian diperingatkan pula pada lanjutan surat Al-Baqarah ayat 169 supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan. Dia akan mengajarkan berbagai tipu daya, mengicuh dan asal perut berisi, tidaklah peduli dari mana saja sumbernya. Syaitan akan bersedia menjadi pokrol mengajarkan bermacam jawaban membela diri karena berbuat jahat. Keinginan syaitan ialah bahwa engkau jatuh, jiwamu menjadi kasar, dan makanan yang masuk perutmu penambah darah dagingmu, dari yang tidak halal dan tidak baik. Dengan demikian rusaklah hidupmu.
Q.S. Al-Jumu’ah: 10.
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah: 10)


Tafsir Ayat
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa setelah selesai melakukan salat Jumat boleh bertebaran di muka bumi melaksanakan urusan duniawi, berusaha mencari rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang bermanfaat untuk akhirat. Hendaklah mengingat Allah sebanyak-banyaknya di dalam mengerjakan usahanya dengan menghindarkan diri dari kecurangan, penyelewengan dan lain-lainnya, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, yang tersembunyi apalagi yang nampak nyata, sebagaimana firman Allah SWT:
Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Taghabun:18)
Dengan demikian tercapailah kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dianjurkan kepada siapa yang telah selesai salat Jumat.[18] Suroh hud ayat 6, yang artinya: dan tidak ada suatu binatangpun melata di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan temapt penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfuzh).
Kata rizquha yang berarti rizki pada mulanya, sebagaimana ditulis oleh pakar bahasa arab yaitu ibnu faris, berarti pemebrian untuk waktu tertentu. Kemudian berkembang menjadi pangan, pemenuhan kebutuhan, hujan dan lain-lain. Sementara para pakar membatasi pengertian rizki pada pemberian yang bersipat halal. Dari kedua pendapat di ats kita dapat memahami hakekat rizki yang benar. Kita tahu bahwa rizki yang terbesar di dunia ini bukan saja untuk manusia, tetapi untuk makhluk Allah yang lain, termasuk binatang. Kemudian untuk rizki yang halal dan yang haram dapat kita artikan bahwa rizki yang haram itu tetap saja disebut rizki. Hanya saja rizki yang haram itu adalah rizki yang tidak berkah, sedangkan rizki yang halal itu berkah.[19]

6.    Refleksi Penulis
Syaik Syafiurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan bahwa dalam berekonomi harus dilaksanakan dengan adil, meskipun persaksian itu menguntungkan pada pihak lain, sekalipun menguntungkan kafir, musyrik. Dengan demikian tata cara ekonomi dalam islam harus dipersaksikan dengan cara yang benar, dikarenakan persaksian itu adalah merupakan suatu pertanda kedekatan kita pada-Nya. Dalam tafsir as-sidiqy dikatakan, bahwa Allah memberikan rezeki dan makanan bagi manusia, tapi kita bukan binatang yang hanya memikirkan kenyangnya perut dengan makanan yang datang dari mana pun dan dalam jenis apapun. Kita adalah manusia dan harus mendapatkan makanan yang bersih, halal dan baik. Oleh sebab itu ayat 57 surat Al-Baqarah ini mengatakan, "Makanlah makanan yang baik yang telah kami berikan kepadamu. Allah adalah Maha Pengasih, tetapi taubat memiliki syarat-syarat yang juga meminta kerendahan hati, juga permohonan dengan lisan dan pengakuan perbuatan dosa di hadapan ilahi.Pada ayat 58 Allah Swt berfirman, "Masukilah melalui pintu gerbang sambil bersujud dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa. Dalam beribadah, seseorang harus memiliki rasa penghambaan dan harus mengamalkan perintah-perintah ilahi sebagaimana yang telah diturunkan, jika tidak, maka yang demikian itu bukanlah ibadah dan penghambaan, tetapi mempermainkan perintah Allah. Para pemimpin memikirkan pemenuhan keperluan-keperluan materi masyarakat. Dalam hal ini tidak boleh terdapat diskriminisasi di antara anggota masyarakat. Pembagian fasilitas mestilah dilakukan dengan adil. Sebagaimana pada ayat 60, Allah Swt berfirman, "Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minum mereka (masing-masing). Pada ayat (68), Allah menyuruh manusia memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat Al-Maidah dan dalam ayat 173 surat kedua ini. Adapun selain dari yang diharamkan Allah itu dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum muslimin mengikuti langkah-langkah setan itu, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.
Sedangkan dalam tafsir kementerian Agama RI bahwa Ayat ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang berurusan dengan agama maupun yang bertujuan dengan urusan kehidupan duniawi. Karena dengan demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil dan balasan yang mereka harapkan. Dalam persaksian, mereka harus adil dalam menerangkan apa yang sebenarnya, tampa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat. Disini ada anjuran untuk menerangkan dalam persaksian yang sebenarnya, dalam artian lain menerangkan jenis barang yang hendak di jual, dan bersaksi dengan benar karena Allah SWT.
Al-imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, berpendapat berlaku adillah, terhadap musuh dan teman setia, karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan, lalu memberimu balasan atasnya. Jadi Al-imam Jalaluddin mengatakan untuk berlaku adil dalam persaksian untuk meraih ketakwaan pada Allah.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jairi mengatakan dalam persaksian itu menuntut manusia pada kejujuran dan menghindari kemarahan. Al-Allamah Syaikh Muhammad Husain Atoba’ Thobai’ mengatakan dilain berbuat adil dalam persaksian maka hendaklah jangan mengikuti hawa nafsu untuk melakukan kecurangan dalam hal bertransaksi.
Dr. ‘Aidh Al-Qarni mengatakan dalam menafsirkanayat ini, bahwa orang-orang yang beriman harus bersaksi dengan benar, dan takutlah kepada Allah Swt dalam pelaksanaannya, menghindari persaksian palsu. Itulah ajaran islam yang mengajarkan agar melakukan transaksi dalam jual beli dengan benar, menghindari namipulasi, dan hendaklah takut kepada Allah. Al-Iamam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyiqi mengatkan hendaklah belaku adil dalam melaksanakan persaksian terhadap sesama manusia, dikarenakan persaksian adil itu menghindari dari zalim.

Daftar Rujukan

Abdullah Zakky Al-Kaff, 2002, Ekonomi Dalam Prespektif Islam, Jakarta: CV. Pustaka Setia
Ahmad Warson Munawir, 2002, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif
Usman, 2009, Ilmu tafsir, Teras, Yogyakarta
Al-Aridh,Ali Hasan. 1994, Sejarah Metodologi Tafsir. Jakarta: Raja Grapindo Persada
Rohimin, 2007,  Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Abd Al-Hayy Al-Farmawiy. 2007, Metode Tafsir Maudhu’i. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, t.tp.: Tafakur, t.t.
Nasruddin Baidan, 2000, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, cet- II. Jogjakarta: Putaka Pelajar
Syaik Syafiurrahman Al-Mubarakfuri, 2010, Sahih Ibnu Katsir, Jilid III, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Kementerian Agama RI, 2008, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II. Jakarta: Lentera Abadi.
Al-imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, 2010, Tafsir Jalalain, Jilid II, Surabaya: Elba Fitrah Mandiri Sejahtera.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jairi, 2007, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, Jilid II, Jakarta Timur: Darus Sunnah Press
Al-Allamah Syaikh Muhammad Husain Atoba’ Thobai’. Al-Manar Fi Tafsir Al-Qur’an, ttt
Dr. ‘Aidh Al-Qarni, 2007, Tafsir Muyassar, Jilid I, Juz I-VIII, Jakarta: Qisthi Press.
Al-Iamam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyiqi, 2001, Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algensindo.



[1] Abdullah Zakky Al-Kaff. Ekonomi Dalam Prespektif Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 2002). Hlm.11
[2] Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, hlm. 1565
[3] Usman, Ilmu tafsir, Teras, Yogyakarta, 2009, h. 311
[4] Al-Aridh,Ali Hasan. Sejarah Metodologi Tafsir. (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1994). Hlm. 13
[5] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm, 75
[6] Abd Al-Hayy Al-Farmawiy. Metode Tafsir Maudhu’i. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007) h. 36-37.
[7] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116
[8] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, cet- II (Jogjakarta: Putaka Pelajar, 2000), hlm. 165-169
[9].http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/868-ekonomi-islam-sebagai-rahmatan-lil-alamin.html.diakse pada hari jum’at 25 desember 2015. Jam 09.14
[10] Syaik Syafiurrahman Al-Mubarakfuri, Sahih Ibnu Katsir, Jilid III, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. 2010), hlm:57-61
[11] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II. (Jakarta: Lentera Abadi. 2008), hlm.364-367
[12] Al-imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid II, (Surabaya: Elba Fitrah Mandiri Sejahtera. 2010), hlm.432-433
[13] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, Jilid II, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2007). hlm. 610-612
[14] Al-Allamah Syaikh Muhammad Husain Atoba’ Thobai’. Al-Manar Fi Tafsir Al-Qur’an, (ttt), hlm. 235-238
[15] Dr. ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar, Jilid I, Juz I-VIII (Jakarta: Qisthi Press.2007), hlm. 493
[16] Al-Iamam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyiqi, Tafsir Ibnu Katsir, )Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2001). hlm:302-303
[17] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anal Majid An-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000). Hlm Hal. 518-520
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 229-332
[19] Tengu Muhammada Hasbi Assiddieqy, Tafsir Qur’anul Majid An-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm 1872-1873

Tidak ada komentar:

Posting Komentar