TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMOMI DALAM ISLAM
Jamal Siregar (15770020)
A. Pendahuluan
Sejak
Manusia dilahirkan dan bergaul, tumbuhlah suatu masalah yang harus dipecahkan
bersama-sama, yaitu setiap manusia memenuhi kebutuhan hidup mereka
masing-masing. Karena kebutuhan hidup seseorang tidak mungkin dapat dipenuhi
oleh dirinya sendiri. Makin luas pergaulan mereka bertambah kuatlah
ketergantungan antara satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan itu.[1]
Kebutuhan hidup membuat manusia
disebut sebagai pelaku ekonomi, berkembang manusia menjadi banyak populasi dan
tersebar di berbagai belahan dunia membuat ekonomi semakin berkembang. Teori
tentang bagaimana cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi suatu
disiplin ilmu, kemudian ilmu berkembang dari paham-paham pakar ekonomi
terdahulu seperti kapitalis, komunis, dan sosialis, namun teori-teori dari beberapa aliran ini
memiliki banyak kekurangan untuk diterpakan dalam perekenomian manusia.
Turunnya agama Islam yang di bawa
oleh Nabi Muhammad Saw, agama tauhid dari Allah Swt yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi. Seiring dengan lahirnya Agama Islam,
maka lahirlah teori ekonomi baru yang langsung dipraktekkan oleh Rasulullah Saw
yaitu Ekonomi Islam, ekonomi yang berbasis pada prinsip ketuhanan. Hingga saat
ini agama Islam berkembang dan memiliki banyak penganut yang disebut sebagai
kaum muslimin.
Hadirnya ekomi Islam bagi kaum
mulsimin merupakan anugerah yang sangat besar dari Allah Swt, dimana selama ini
ummat manusia menganut aliran ekonomi yang tidak adil seperti aliran kapitalis.
Namun demikian haingga saat ini aliran kapitalis masih diterpakan di
beberapa negara di Dunia, demikian aliran ekonomi soialis. Bagi kaum
muslimin penting untuk membedakan mana yang syariah dan mana yang konvesional
dalam ekonomi, untuk itu kita harus berpegang pada prinsip dasar ekonomi Islam
yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dibawa Rasulullah SAW yang
merupakan kitab sucinya kaum muslimin. Ada beberpa ayat dari Al-Qur’an mengenai
prinsip-prinsip dasar ekonomi, tidak hanya prinsip dasar ekonomi Islam, aspek
ekonomi lain seperti menciptakan kesejahteraan agama dan sosialis, kewajiban
manusia bekerja dan mengakui kepemilikan individual. Semua ayat-ayat mengenai
aspek tersebut akan dibahas dalam makalah ini. Oleh karena itulah penulis
membagi waktu untuk menuliskan judula makalah Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Tafsir Tematik
Kata maudu’i yang dinisbatkan pada
kata Al-maudhu’i yang berarti topik
atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Dalam kamus Al-Munawir
dijelaskan bahwa kata maudhu’ adalah derivasi dari kata wadha’a yang
berkedudukan sebagai isim maf’ul yang berarti masalah.[2]
Secara semantik, tafsir maudhu’i berarti penafsiran Al-Qur’an menurut tema atau
topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan tafsir tematik.[3]
Menurut
Ali Hasan Al-Aridh, Tafsir Tematik adalah suatu metode yang
ditempuh oleh seorang mufassir dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat
Al-qur’an yang berbicara tentang suatu pokok
pembicaraan atau tema (maudhu’i)
yang mengarah kepada satu pengertian atau tujuan.[4]
Dengan demikian yang
dimaksud dengan metode tematik ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat Al-Qur'an
dengan menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama
membicarakan satu topik masalah menyusunnya berdasar kronologi serta sebab
turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[5]
2. Cara Kerja
Tafsir Maudu’i
Al-farmawi didalam kitab Al-bidayah
Fittafsir Al-maudu’iy secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus
ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Memilih masalah Al-qur’an yang akan
dikaji secara tematik
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat
yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan
Madaniyyah
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara
runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar
belakang turunnya ayat atau Asbab An-nuzul.
d. Mengetahui korelasi (munasabah)
ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
e. Menyusun tema bahasan di dalam
kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh.
f. Melengkapi pembahasan dan uraian
dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna
dan semakin jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut
secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung
pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian am dan kahas, antara yang muthlaq dan
yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak
kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang
kurang tepat.[6]
h. Menyusun kesimpulan yang
menggambarkan jawaban Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.[7]
3.
Kelebihan dan Kekurangan Metode
Maudhu’i
a. Kelebihan Metode maudi’i
1)
Hasil tafsir maudi’i memberikan pemecahan
terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban
terhadap tuduhan sementara orang bahwa Al-qur’an hanya mengandung teori-teori
spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
2)
Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu
berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap Al-Qur’an.
3)
Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu
juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan falsafah dan balagah Al-qur’an.
4)
Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih
mendalam dan lebih terbuka.
5)
Tafsir maudi’i lebih tuntas dalam membahas
masalah.
b. Kekurangan Metode maudi’i
1) Mungkin melibatkan pikiran dalam
penafsiran terlalu dalam.
2) Tidak menafsirkan segala aspek yang
dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik
pembahasan saja. Yang dimaksudkan di sini ialah mengambil satu kasus yang
terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang
berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu
diungkapkan bersamaan dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang
zakat, maka mau tak mau ayat tentang shalat harus ditinggalkan ketika
menukilkannya dari mushaf agar ridak menganggu pada waktu melakukan analisis.
3) Membatasi pemahaman ayat. Dengan
ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalah yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufasir terikat oleh judul itu.
Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek. Dengan
demikian, dapat menimbulkan kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang
digambarkan itu memang merupakan konsekuensi logis dari metode tematik.[8]
4.
Sistem
Ekonomi Islam
“Utsman
ibn Abul ‘Ash berkata kepada Umar
Radhiallaahu anhu, “Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya di daerah kami terdapat lahan tanah yang tidak dimiliki seseorang,
maka putuskanlah dia kepadaku untuk aku kelolanya, sehingga dia mendatangkan
manfaat bagi keluargaku dan juga bagi kaum muslimin.” Maka Umar menetapkan
lahan tersebut untuknya. Ekonomi
Islam (syariah) semakin tumbuh dengan
sangat signifikan ditandai dengan bermunculannya
lembaga-lembaga keuangan syariah baik bank syariah, asuransi syariah, hingga
pegadaian syariah. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam selain memberikan
ketenangan karena dijalankan sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, juga memberikan
keuntungan yang cukup menggiurkan.
Ekonomi
Islam juga disebut sebagai ekonomi yang rahmatan lil ‘alamin, karena sesuai
dengan sumbernya yaitu Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Seyogyanya,
dengan kehadiran ekonomi Islam ini dapat memberikan jawaban yang nyata terhadap
berbagai krisis ekonomi yang menderat. Berkenaan dengan ekonomi syariah
sebagai rahmatan lil ‘alamin, kita bisa merujuk terhadap dialog antara ‘Utsman
ibn Abul ‘Ash dengan Amirul Mukminin Sayyidina Umar ibn Khattab di atas. Dalam
dialog tersebut ‘Utsman ibn Abul ‘Ash meminta kepada Amirul Mukminin Umar ibn
Khattab tanah yang tidak dimiliki seseorang dan tidak dikelola untuk dia
kelola. Sehingga dengan dia kelola, maka tanah tersebut dapat hidup dan
bermanfaat. Bermanfaat di sini diutarakan oleh ‘Utsman ibn Abul ‘Ash adalah
bermanfaat bagi keluarganya dan juga bagi kaum Muslimin. Dalam
benak pikiran “Utsman Ibn Abul Ash adalah keluarga dan umat muslim yang harus
menikmati keberhasilan dari pemanfaatan lahan yang diolah olehnya. Pemanfaatan
yang dimaksud mungkin ketersediaan lapangan kerja, berzakat dan bersedekah
kepada fakir-miskin, serta memberikan bantuan-bantuan lain yang sekiranya
diperlukan.[9]
5. Tafsiran Ayat
Tentang Ekonomi Islam
Firman
Allah yang mengatakan
.ياايهاالذين
امنواكونوقومين لله شهداءبلقسط
ولايجرمنكم شنان قوم على الاتعدلوا.
اعدلواهواقربوللتقوى. واتقوالله ان لله خبيربما تعملون
Artinya: Hai
orang-orang briman hendaklah kamu orang yang selalu menegakkan kebenaran karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-maidah: 8)
Yakni
jadilah kalian orang-orang yang menegakkan Al-haq karena Allah Azza Wajalla bukan
karena manusia dan Sum’ahسمعه (mencari
popularitas). Jadilah kalian شهداءبلقسط (saksi yang adil), yakni bukan
dengan kedzaliman. Termaktub dalam As-shahihain dari An-Nu’man bin Basyir
bahwa ia mengatakan “ayahku memberikan suatu pemberian kepadaku, maka ibuku Amrah
Binti Rawahah mengatakan kepadanya, “aku tidak rindu hingga engkau menjadikan Rasulullah
Saw sebagai saksinya. Iapun datang kepada beliau untuk memintanya sebagai
sadaqah yang diberikan kepadaku, meka beliau bertanya “اكل ولدك تَحلت مثله Apakah semua
anakmu telah kamu berikan sepertinya?, ia menjawab, tidak. Mendengar itu,
beliau mengatakan: اني لا يشهد على جور وقال, اتق لله وعدلو. في اولداكم bertaqwalah kepada Allah dan
berlaku adil terhadapa nak-anakmu, beliau melanjutkan “aku tidak menjadi saksi
atas kedjaliman, ayahku pulang dan menarik sadaqahnya kembali.
Firmannya
ولايجرمنكم شنان قوم
على الاتعدلو dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Yakni janganlah kebencian kepada kaum
mendorong kalian untuk tidak adil terhadap mereka. Tetapi berlaku adillah pada
setiap orang, baik teman maupun musuh. Karena itu Allah berfirman, اعدلواهواقربوللتقوى
berlaku
adillah, karena berlaku adil itu mendekatkan pada taqwa”. Yakni keadilan kalian
itu lebih dekat kepada ketakwaan daripada meninggalkannyya. Fi’il (kata kerja) adilah menunjukkan pada masdar
(kata benda bentukan) yakni keadilan. Masdar ini ditunjukkan oleh dhamir (kata ganti) Hua. Kasus seperti
ini banyak contohnya dalam Al-Qur’an dan selainnya.
Kemudian
Allah berfirman واتقوالله ان لله خبيربما
تعملون dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Yakni dia akan memberikan balasan kepada apa yang kalian kerjakan. Jika baik
maka Allah memberikan balasan yang baik, namun jika amalan kalian buruk maka
Allah akan memberikan balasan yang setimpal dengan kejahatan yang kalian
lakukan.[10]
Ayat
ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan
mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang
berurusan dengan agama maupun yang bertujuan dengan urusan kehidupan duniawi.
Karena dengan demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil dan balasan
yang merka harapkan. Dalam persaksian, mereka harus adil dalam menerangkan apa
yang sebenarnya, tampa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan
lawan dan merugikan sahabat dan kerabat. Ayat ini senafas dan seirama dan
dengan Surat Annisa 4:135 yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang yang
berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaannya dalam ayat itu
diterangkan beraku adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan
merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan kerabat sendiri, sedang dalam ayat ini
diterangkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum tidak boleh mendorong seseorang
untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap
lawan.
Selanjutnya
secara luas dan menyeluruh Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman
supaya berlaku adil, karena keadilan diperlukan dalam segala hal, untuk
mencapai dan memperoleh ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Oleh karena adil adalah jalan yang terdekat untuk mencapai tujuan
bertakwa kepada Allah.
Akhir
ayat ini menyatakan janji Allah bahwa kepada orang-orang yang beriman yang
banyak beramal saleh akan diberikan ampunan dan pahala yang besar. Janji Allah
akan ditepatinya sebagaimana dinyatakan dalam firmannya ان لله لا يفلح الميعاد sesungguhnya Allah
tidak akan menyalahi janji. (Ali ‘Imran: 3:9).
Amal
saleh ialah setiap pekerjaan baik, bermanfaat dan patut dikerjakan, baik
pekerjaan ubudiyah seperti salat dan lain-lain, maupun pekerjaan seperti
menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan perbuatan sosial lainnya.[11]
يايهالذين
امنوا قونواقومين بلقسط.
Hai
orang-orang beriman hendaklah kamu menjadi penegak kebenaran, yakni
melaksanakan الله (karena
Allah), dengan hak-haknya, شهداءبلقسط (serta menjadi saksi-saksi dengan adil). ولا يجرمنكم
dan jangan sekali-kali mendorongmu membawa kebencian kepada suatu kaum yakni
orang kafir, untuk tidak berlaku adil, lalu kamu menjelek-jelekkan mereka
karena permusuhan mereka.
اعدلوberlaku adillah,
terhadap musuh dan teman setia, karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,
lalu memberimu balasan atasnya.[12]
قوامينmerupakan
bentuk jamak dari قومن
yang berarti banyak melakukan amal untuk Allah Ta’ala yang merupakan hakya dan
apa yang diwajibkan Allah atasnya, dan hak orang lain yang tidak boleh
dilanggar. شهداءبلقسط menjadi saksi
yang adil, ولا
يجرمنكم dan jangan sekali-kali membawa kalian سن ان kemarahan dan permusuhan. العدل
yakni kejaliman, yakni persamaan tampa kejaliman dan kesalahan. اقربو لتقو
yakni keadilan lebih dekat kepada taqwa daripada kejaliman.
Dalam
ayat kedelapan ini Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar menjadi
qowwamin yang banyak melakukan ketaatan untuk Allah Ta’ala sebagai hak-hak
Allah atas mereka, dan menjadi saksi-saksi keadilan yang tidak melakukan
kesalahan dan kejaliman dalam hal apapun, baik yang menjadi objek persaksian
itu seorang teman atau seorang musuh. Allah juga mencegah mereka untuk tidak
terbawa oleh kemarahan suatu kaum dengan berlaku tidak adil, sedang mereka
telah diperintahkan untuk berlaku adil. Kemudian dia telah memerintahkan untuk
selalu berlaku adil serta memberitahukan bahwa orang yang selalu berlaku adil
itu adalah orang yang paling dekat pada ketakwaan, karena barang siapa yeng
memiliki keadilan itu maka ia lebih mampu dalam melaksakana hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya, dan lebih mampu dalam meninggalkan kejaliman dan
menjauhi semua larangan. Kemudian dia memerintahkan mereka untuk bertakwa
seraya mempertegas bahwa ketakwaan merupakan asas segala sesuatu, dan
memberitahukan kepada mereka bahwa dia mengetahui apa yang mereka kerjakan,
agar bertambah kemampuan bermurokobah kepada Allah dari diri mereka, sehingga mereka
dapat berhasil berlaku adil dan takwa secara bersama-sama.[13]
Hai
orang-orang beriman hendaklah kamu menegakkan kebenaran kepada Allah dan
menegakkakan keadilan pada dirimu, dan kepada orangtuamu, dan kaum kerabat
meskipun dalam keadaan kaya maupun fakir. Maka Allah adalah memimpin bagi
keduanya (miskin dan kaya). Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu, maka
hendaklah berlaku adil meskipun merugikan kamu dan menguntungkan bagi yang lain,
karena Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Makna dari kata اعد لو هو اقربو للتقوى adalah menyerukan pada keadilan.[14]
Hai
orang-orang yang beriman bersaksilah kalian dengan benar, dan takutlah kepada
Allah Swt dalam pelaksanaannya, hindarilah persaksian palsu. Oleh karenanya
laksanakanlah persaksian dengan adil dan benar. Janganlah celaan orang yang
mencela membuat kalian berpaling dari Allah swt, dan janganlah permusuhan kaum
musyrikin dan kebencian orang-orang kafir kepada kalin mendorong kalian
bersikap tidak adil dalam persaksian bersama mereka maupun terhadap mereka.
Tapi sampaikanlah kebenaran meski kebenaran itu untuk kepentingan musuh kalian.
Sebab bersikap adil itu lebih dekat kepada takwa, sikap adillah yang menegakkan
langit dan bumi. Allah pun menyuruh kalian bersikap adil, jangan sebab
paktor-paktor kekerabatan membuat persaksian kalian menguntungkan keluarga
kalian. Janganpula kebencian musuh terhadap kalian membuat persaksian kalian
merugikannya. Bertakwalah kalian kepada Allah Swt, dan takutlah kepada-Nya dalam
melaksanakan persaksian, waspadalah terhadap persaksian palsu. Sesungguhya
tidak ada yang bisa disembunyikan dari pengetahuan-Nya. Amal kalian juga dalam
pengawasan-Nya, perkataan kalian juga dalam pendengaran-Nya, perbuatan kalian
dalam perhitungan-Nya.[15]
يَاايهاالذين
امنواكونواقوامين الله Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kalin menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena Allah (Al-Maidah: 8). Yakni jadilah kalian
orang-orang yang menegakkan kebenaran karena Allah, bukan karena manusia atau
karena harga diri.
شهداءبالقسط
menjadi saksi dengan adil. Maksudnya menegakkan keadilan bukan kejaliman telah
disebutkan dalam sahihain dari An-Nu’man ibnu basyir yang menceritakan bahwa
ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian yang berharga. Ibunya
benama amrah bin rawwahah berkata “aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan
pemberian ini kepada Rasulullah Saw”, kemudian ayahnya menemui Rasulullah untuk
meminta kesaksian atas pemberian tersebut, maka Rasulullah bertanya:
جورعلى
لااشهداني :وقال(دكماولافي وعد لوالله اتقو)فقال.لا:؟قال
متله تحلت,اكل ولدك
Apakah semua anakmu diberi hadiah yang sama?
Ayahku menjawa: tidak. Lalu Rasulullah Saw bersabda, bertakwalah kamu kepada
Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anakmu. Dan Rasulullah bersabda pula,
sesungguhya aku tidak mau bersaksi atas kejaliman. An-nu’man ibnu basyir
melanjutkan kisahya, bahwa lalu ayahnya pulang dan mencabut kembali pemberian
itu.
Firman
Allah swt
ولايجرمنكم
سنان قوم الاتعدلو
Dan
janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian
untuk berlaku tidak adil. Artinya, janganlah kalian biarkan perasaan benci
terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil kepada mereka,
tetapi amalkanlah keadilan terhadap setiap orang, baik terhadap teman maupun
musuh. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:
اعدلو
هو اقربو للتقوى
Berlaku
adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa, yakni sikap adilmu lebih dekat
kepada taqwa daripada kamu meninggalkan.[16]
Surat
Al-Baqarah:
60 dan 168
Dan
(ingatlah)
ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: Pukullah batu itu
dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air.
sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan
dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di
muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Baqarah:60)
Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”(Q.S. Al-Baqarah:168
Pada
permulaan
ayat (60) ini Allah swt mengisahkan bagaimana Nabi Musa A.s. berdoa kepada Allah
swt untuk mendapatkan air minum bagi para pengikutnya itu yang terdiri dari dua
belas suku. Allah mengabulkan doa tersebut, lalu memerintahkan Nabi Musa A.s.
memukulkan tongkatnya ke sebuah batu besar yang ada di padang pasir itu.
Tiba-tiba memancarlah air dari batu sebanyak dua belas sumber, sehingga
masing-masing suku dari kaum Nabi Musa a.s. mendapatkan air minum dengan cukup.
Kejadian
ini merupakan mukjizat bagi Musa a.s. untuk membuktikan kerasulannya dan untuk
menunjukkan kekuasaan Allah swt. Sesungguhnya Allah kuasa memancarkan air dari
batu tanpa dipukul dengan tongkat lebih dahulu akan tetapi Allah swt hendak
memperlihatkan kepada hamba-Nya hubungan sebab dengan akibat, supaya mereka itu
apabila menginginkan sesuatu haruslah berusaha dan bekerja mendapatkannya
menurut proses hubungan antara sebab dan akibat. Allah swt telah menyediakan
rezeki untuk setiap makhluk-Nya yang hidup di muka bumi ini, akan tetapi rezeki
itu tak datang sendiri, melainkan harus diusahakan dan harus ditempuh cara
caranya. Siapa yang malas berusaha tentu tidak akan mendapatkan rezeki yang
diperlukan. Akan tetapi, di samping itu Allah swt telah menciptakan manusia ini
mempunyai pikiran dan perasaan yang terbatas, sehingga ia hanya dapat memahami
yang berada dalam daerah jangkauan indera pikiran dan perasaannya. Apabila ia
melihat adanya sesuatu yang berada di luar kemampuannya, ia berusaha untuk
mengembalikan persoalannya kepada yang telah diketahuinya. Bila ia tidak dapat
memahaminya sama sekali maka ia menjadi bingung, apabila hal itu terjadi di
hadapannya berulang kali, maka Allah memperlihatkan mukjizat melalui para nabi
sesuai dengan keadaan umat pada masa nabi itu. Allah swt menyuruh mereka makan
dan minum dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada mereka dan dilarang-Nya
mereka untuk berbuat kelaliman.
Dalam
surat Al-Baqarah ayat 168 dijelaskan bahwa manusia harus mencari makanan
yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram, yang haram
telah pula disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu yang tidak disembelih, daging
babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang
demikian halal dia dimakan. Tetapi hendaklah pula yang baik meskipun halal.
Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia. Misalnya
daging lembu yang sudah disembelih, lalu dimakan saja mentah-mentah. Meskipun
halal tetapi tidaklah baik. Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu
daya halus atau paksaan atau karena segan-menyegan. Karena segan diberikan
orang juga, padahal hatinya merasa tertekan. Atau bergabung keduanya, yaitu
tidak halal dan tidak baik; yaitu harta dicuri, atau seumpamanya. Ada juga
umpama yang lain dari harta yang tidak baik; yaitu menjual azimat kepada murid,
ditulis di sana ayat-ayat, katanya untuk tangkal penyakit dan kalau dipakai
akan terlepas dari marabahaya. Murid tadi membelinya atau bersedekah membayar
harga, meskipun tidak najis namun itu adalah penghasilan yang tidak baik.[17]
Supaya lebih kita ketahui betapa
besarnya pengaruh makanan halal itu bagi rohani manusia, maka tersebutlah dalam
suatu riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Mardawaihi daripada Ibnu Abbas, bahwa
tatkala ayat ini dibaca orang dihadapan Nabi SAW, yaitu ayat: ”Wahai seluruh
manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka
berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia
memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja
permohonan doa yang disampaikannya kepada Allah, supaya dikabulkan oleh Allah.
Maka berkatalah Rasulullah SAW: Wahai
Sa’ad, Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang
yang makbul doanya. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya,
sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke
dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empatpuluh
hari. Dan
barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan
riba, maka api lebih baik baginya.”
Artinya,
lebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa
juka dibandingkan dengan apai
neraka. Biar hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang haram. Penting sekali peringatan ini, kecurangan-kecurangan, penipuan dan
mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit adalah hubunganya dengan
perut asal berisi. Berapa perbuatan curang terjadi di atas dunia ini oleh
karena mempertahankan syahwat perut. Maka apabila manusia telah mengatur makan
minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa
yang di zaman modern ini dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada
kekasarannya.
Kemudian diperingatkan pula pada lanjutan surat
Al-Baqarah ayat 169 supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh
syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan
mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan. Dia
akan mengajarkan berbagai tipu daya, mengicuh dan asal perut berisi, tidaklah
peduli dari mana saja sumbernya. Syaitan akan bersedia menjadi pokrol
mengajarkan bermacam jawaban membela diri karena berbuat jahat. Keinginan
syaitan ialah bahwa engkau jatuh, jiwamu menjadi kasar, dan makanan yang masuk
perutmu penambah darah dagingmu, dari yang tidak halal dan tidak baik. Dengan
demikian rusaklah hidupmu.
Q.S.
Al-Jumu’ah: 10.
Apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S.
Al-Jumu’ah: 10)
Tafsir Ayat
Pada
ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa setelah selesai melakukan salat Jumat
boleh bertebaran di muka bumi melaksanakan urusan duniawi, berusaha mencari
rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang bermanfaat untuk akhirat. Hendaklah
mengingat Allah sebanyak-banyaknya di dalam mengerjakan usahanya dengan
menghindarkan diri dari kecurangan, penyelewengan dan lain-lainnya, karena
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, yang tersembunyi apalagi yang nampak
nyata, sebagaimana firman Allah SWT:
Yang mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S.
Al-Taghabun:18)
Dengan
demikian tercapailah kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Dianjurkan kepada siapa yang telah selesai salat Jumat.[18]
Suroh hud ayat 6, yang artinya: dan tidak
ada suatu binatangpun melata di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya,
dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan temapt penyimpanannya. Semua
tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfuzh).
Kata
rizquha yang berarti rizki pada
mulanya, sebagaimana ditulis oleh pakar bahasa arab yaitu ibnu faris, berarti
pemebrian untuk waktu tertentu. Kemudian
berkembang menjadi pangan, pemenuhan kebutuhan, hujan dan lain-lain. Sementara
para pakar membatasi pengertian rizki pada pemberian yang bersipat halal. Dari
kedua pendapat di ats kita dapat memahami hakekat rizki yang benar. Kita tahu
bahwa rizki yang terbesar di dunia ini bukan saja untuk manusia, tetapi untuk
makhluk Allah yang lain, termasuk binatang. Kemudian untuk rizki yang halal dan
yang haram dapat kita artikan bahwa rizki yang haram itu tetap saja disebut
rizki. Hanya saja rizki yang haram itu adalah rizki yang tidak berkah,
sedangkan rizki yang halal itu berkah.[19]
6. Refleksi
Penulis
Syaik Syafiurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan
bahwa dalam berekonomi harus dilaksanakan dengan adil, meskipun persaksian itu
menguntungkan pada pihak lain, sekalipun menguntungkan kafir, musyrik. Dengan
demikian tata cara ekonomi dalam islam harus dipersaksikan dengan cara yang
benar, dikarenakan persaksian itu adalah merupakan suatu pertanda kedekatan
kita pada-Nya. Dalam tafsir as-sidiqy dikatakan, bahwa Allah
memberikan rezeki dan makanan bagi manusia, tapi kita bukan binatang yang hanya
memikirkan kenyangnya perut dengan makanan yang datang dari mana pun dan dalam
jenis apapun. Kita adalah manusia dan harus mendapatkan makanan yang bersih,
halal dan baik. Oleh sebab itu ayat 57 surat Al-Baqarah ini mengatakan, "Makanlah
makanan yang baik yang telah kami berikan kepadamu. Allah adalah Maha
Pengasih, tetapi taubat memiliki syarat-syarat yang juga meminta kerendahan
hati, juga permohonan dengan lisan dan pengakuan perbuatan dosa di hadapan
ilahi.Pada ayat 58 Allah Swt berfirman, "Masukilah melalui pintu
gerbang sambil bersujud dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa. Dalam
beribadah, seseorang harus memiliki rasa penghambaan dan harus mengamalkan
perintah-perintah ilahi sebagaimana yang telah diturunkan, jika tidak, maka
yang demikian itu bukanlah ibadah dan penghambaan, tetapi mempermainkan
perintah Allah. Para pemimpin memikirkan
pemenuhan keperluan-keperluan materi masyarakat. Dalam hal ini tidak boleh
terdapat diskriminisasi di antara anggota masyarakat. Pembagian fasilitas
mestilah dilakukan dengan adil. Sebagaimana pada ayat 60, Allah Swt berfirman,
"Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minum mereka
(masing-masing). Pada ayat (68), Allah menyuruh manusia memakan yang baik
sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut
kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah
tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan
tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat Al-Maidah dan dalam ayat 173
surat kedua ini. Adapun selain dari yang diharamkan Allah itu dan selain
yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal,
boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman
dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi
yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka dan karena memperturutkan hawa
nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum muslimin mengikuti
langkah-langkah setan itu, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi
manusia.
Sedangkan dalam tafsir kementerian
Agama RI bahwa Ayat ini memerintahkan
kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat,
jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang berurusan dengan agama
maupun yang bertujuan dengan urusan kehidupan duniawi. Karena dengan demikianlah
mereka bisa sukses dan memperoleh hasil dan balasan yang mereka harapkan. Dalam
persaksian, mereka harus adil dalam menerangkan apa yang sebenarnya, tampa
memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan
sahabat dan kerabat. Disini ada anjuran untuk menerangkan dalam persaksian yang
sebenarnya, dalam artian lain menerangkan jenis barang yang hendak di jual, dan
bersaksi dengan benar karena Allah SWT.
Al-imam Jalaluddin Muhammad
Al-Mahalli Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, berpendapat berlaku
adillah, terhadap musuh dan teman setia, karena adil itu lebih dekat pada
taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan, lalu memberimu balasan atasnya. Jadi Al-imam Jalaluddin
mengatakan untuk berlaku adil dalam persaksian untuk meraih ketakwaan pada
Allah.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jairi mengatakan
dalam persaksian itu menuntut manusia pada kejujuran dan menghindari kemarahan.
Al-Allamah Syaikh Muhammad Husain Atoba’ Thobai’ mengatakan dilain berbuat adil
dalam persaksian maka hendaklah jangan mengikuti hawa nafsu untuk melakukan
kecurangan dalam hal bertransaksi.
Dr. ‘Aidh Al-Qarni mengatakan dalam
menafsirkanayat ini, bahwa orang-orang yang beriman harus bersaksi dengan
benar, dan takutlah kepada Allah Swt dalam pelaksanaannya, menghindari
persaksian palsu. Itulah ajaran islam yang mengajarkan agar melakukan transaksi
dalam jual beli dengan benar, menghindari namipulasi, dan hendaklah takut
kepada Allah. Al-Iamam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyiqi mengatkan
hendaklah belaku adil dalam melaksanakan persaksian terhadap sesama manusia,
dikarenakan persaksian adil itu menghindari dari zalim.
Daftar
Rujukan
Abdullah Zakky Al-Kaff, 2002, Ekonomi Dalam
Prespektif Islam, Jakarta: CV. Pustaka Setia
Ahmad
Warson Munawir, 2002, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif
Usman,
2009, Ilmu tafsir, Teras, Yogyakarta
Al-Aridh,Ali Hasan. 1994, Sejarah
Metodologi Tafsir. Jakarta: Raja Grapindo Persada
Rohimin,
2007, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Abd
Al-Hayy Al-Farmawiy. 2007, Metode Tafsir Maudhu’i. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, t.tp.: Tafakur, t.t.
Nasruddin
Baidan, 2000, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, cet- II. Jogjakarta: Putaka Pelajar
Syaik Syafiurrahman Al-Mubarakfuri, 2010, Sahih Ibnu Katsir, Jilid III, Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir.
Kementerian Agama RI, 2008, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II. Jakarta: Lentera Abadi.
Al-imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli Al-Imam
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, 2010, Tafsir
Jalalain, Jilid II, Surabaya: Elba Fitrah Mandiri Sejahtera.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jairi, 2007, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, Jilid II, Jakarta
Timur: Darus Sunnah Press
Al-Allamah Syaikh Muhammad Husain Atoba’ Thobai’. Al-Manar Fi Tafsir Al-Qur’an, ttt
Dr. ‘Aidh Al-Qarni, 2007, Tafsir Muyassar, Jilid I, Juz I-VIII, Jakarta: Qisthi Press.
Al-Iamam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyiqi, 2001, Tafsir Ibnu Katsir, Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
[1] Abdullah Zakky
Al-Kaff. Ekonomi Dalam Prespektif Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 2002).
Hlm.11
[2] Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir
Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, hlm.
1565
[5] Rohimin, Metodologi
Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, hlm, 75
[8] Nasruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, cet-
II (Jogjakarta: Putaka Pelajar, 2000), hlm. 165-169
[9].http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/868-ekonomi-islam-sebagai-rahmatan-lil-alamin.html.diakse pada
hari jum’at 25 desember 2015. Jam 09.14
[10] Syaik Syafiurrahman
Al-Mubarakfuri, Sahih Ibnu Katsir,
Jilid III, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. 2010), hlm:57-61
[11] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II.
(Jakarta: Lentera Abadi. 2008), hlm.364-367
[12] Al-imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli
Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Tafsir
Jalalain, Jilid II, (Surabaya: Elba Fitrah Mandiri Sejahtera. 2010),
hlm.432-433
[13] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jairi,
Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, Jilid II,
(Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2007). hlm. 610-612
[14] Al-Allamah Syaikh Muhammad Husain
Atoba’ Thobai’. Al-Manar Fi Tafsir Al-Qur’an,
(ttt), hlm. 235-238
[15] Dr. ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar, Jilid I, Juz I-VIII
(Jakarta: Qisthi Press.2007), hlm. 493
[16] Al-Iamam Abul Fida Ismail Ibnu
Katsir Ad-Dimasyiqi, Tafsir Ibnu Katsir, )Bandung: Sinar
Baru Algensindo. 2001). hlm:302-303
[17] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anal Majid An-Nur, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000). Hlm Hal. 518-520
[19] Tengu Muhammada Hasbi
Assiddieqy, Tafsir Qur’anul Majid An-Nur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm 1872-1873
Tidak ada komentar:
Posting Komentar