PARADIGMA PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Nurul
Azizah (1577009)
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber dari seluruh ajaran Islam
sebagai wahyu Allah yang terakhir dan menjadi rahmat, hidayah dan syifa bagi
seluruh manusia. Ia diturunkan Allah kepada nabi Muhammad Saw. untuk
mengeluarkan manusia dari suasana yang
gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.Dan tidak
bisa disangkal bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang di dalamnya banyak
mengajarkan tentang nilai-nilai pendidikan karakter.
Bahkan Islam merupakan sumber karakter yang
universal. Salah satu konsep dasar bahwa Islam adalah sumber akhlak telah
dikemukakan sendiri oleh Nabi, berkaitan dengan tugas beliau sebagai seorang
utusan Allah “sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Hadits tersebut menunjukan betapa Islam
sangat memperhatikan nilai-nilai akhlak. Akhlak memang menempati posisi yang
sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama ini selalu
berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut al-akhlaq
al-karimah[5].
Penanaman Karakter menjadi salah satu tema yang
selalu dibicarakan dan dikaji, dari dulu hingga saat ini. Bahkan jauh sebelum
nabi Muhamad diutus sebagai pembawa risalah tentang karakter. para filusuf
Yunani kuno berupaya membedah masalah akhlak, sejak Socrates hingga
Aristoteles. Bahkan Plato banyak menekuni bidang ini dan menghasilkan karya
khususnya yang terkenal seputar masalah etika berjudul Republica. Namun
pengaruh filsafat terhadap masyarakat barat nampaknya sangat terbatas dan
bersifat sesaat. Demikian juga dengan generasi-generasi selanjutnya. Jika saja
tidak disebutkan dalam buku-buku pelajaran, niscaya filsafat tidak lama lagi
hanya akan menjadi peninggalan belaka.[6]
Hal ini tentu berbeda dengan ajaran Al-Qur’an yang
bersifat kekal dan berlaku untuk seluruh masa. Wahyu Allah tersebut, akan
berlaku sepanjang zaman, karena seluruh isinya bersipat potensial.[7] Sehingga
tidak diragukan lagi bahwa keberadaannya
menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa dan beriman, sehingga mereka
mendapatkan keberuntungan dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam
hidupnya. Demikianlah kemukjizatan Al-Qur’an dengan segala kesempurnaannya.
Nilai keagungan Al-Qur’an bukan sebatas pada
kandungannya semata, melainkan huruf demi hurufnya pun bernilai satu kebaikan,
bahkan satu kebaikan bisa berlipat sampai sepuluh kalinya.[8]
Tapi jika Al-Qur’an hanya dijadikan bacaan keagamaan semata, tanpa diikuti
dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai Al-Qur’an serta tanpa
diiringi pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sudah barang tentu akan
kehilangan relevansinya dengan realitas-realitas alam. Apalagi jika manusia
sampai menjauh dari Al-Qur’an.
Jika melihat realitas kehidupan kekinian, nampaknya
manusia pada zaman sekarang memang mulai jauh dari nilai-nilai Al-Qur’an. Hal
ini bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari, lemahnya pemahaman terhadap
Al-Qur’an nyatanya telah membuat berbagai penyimpangan dalam kehidupan marak
terjadi. fenomena kemerosotan moral di negara yang mayoritas penduduknya muslim
ini masih cukup jelas terlihat, indikator-indikator itu dapat diamati di dalam
kehidupan sehari-hari seperti pergaulan bebas, tindak kriminal, kekerasan,
korupsi, penipuan, serta prilaku-prilaku tidak terpuji lainnya, sehingga
sifat-sifat terpuji seperti rendah hati, toleransi, kejujuran, kesetiaan,
kepedulian, saling bantu, kepekaan sosial, tenggang rasa, yang merupakan jati
diri bangsa sejak berabad-abad lamanya seolah menjadi barang mahal.[9]
Itulah mengapa pendidikan karakter menjadi sangat
penting, karena sepintar apapun seseorang, setinggi apapun jabatannya, jika
tidak diimbangi dengan keimanan dan
ketaqwaan hanya akan menggiring
manusia kepada sesuatu yang bertolak belakang dengan ajaran
Al-Qur’an dan hadits. Allah SWT hanya
menilai hamba-Nya berdasarkan ketaqwaan dan amal shaleh (akhlak baik) yang
dilakukannya. Seseorang yang memiliki
akhlak mulia akan dihormati
masyarakat, sehingga setiap orang di sekitarnya merasa tentram dengan keberadaannya dan orang
tersebut menjadi mulia di lingkungannya.
Melihat persoalan serius tersebut, maka upaya
menanamkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan menjadi
sangat urgen. Dan salah satu cara untuk memiliki akhlak mulia, tentu kita harus
mencontoh pribadi Rasulullah, karena beliau memiliki sifat-sifat yang terpuji
dan menjadi pedoman bagi umatnya. Tak terbantahkan lagi bahwa dengan akhlak
mulia, keteguhan iman, dan juga budi pekertinya yang luhur, beliau dapat
merubah peradaban bangsa Arab jahiliyah pada saat itu.
Berangkat dari hal tersebut, maka pemakalah akan
mengkaji mendalami ayat-ayat dari Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan
karakter.
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Karakter
a. Pendidikan Karakter
Menurut pendapat Qodri Azizy pendidikan
adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian peserta didik.[10]Pendidikan
merupakan proses perubahan atau pengembangan diri anak didik dalam segala aspek
kehidupan sehingga terbentuklah suatu kepribadian yang utuh (insan kamil)
baik sebagai makhluk sosial, maupun makhluk individu, sehingga dapat
beradaptasi dan hidup dalam masyarakat luas dengan baik. Termasuk bertanggung
jawab kepada diri sendiri, orang lain, dan Tuhannya.[11]
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa
manusia telah dipilih Allah sebagai khalifah di bumi, maka pendidikan harus
mampu mewujudkan manusia yang memiliki karakter yang baik sehingga mampu
mengemban tugas mereka sebagai khalifah di bumi.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional, [12]
pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendaliaan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Adapun makna karakter dalam kamus besar
bahasa indonesia, berarti watak, sifat-sifar kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dengan orang lain.[13]
Sedangkan menurut Suyanto, karakter
merupakan cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu
untuk hidup dan berkerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia
buat.[14]
Donie Koesoema, memahami bahwa kharakter
sama dengan kepribadian. Sifat khas dari
diri seseorang yang bersumber dari bentukan – bentukan yang diterima oleh
lingkungan.[15] Adapun
karakter menurut Simon Philips kumpulan dari hasil pikiran, perilaku dan
perkataan.[16]
Individu yang berkarakter baik atau
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap
Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan bangsa dan negara dengan mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran emosi dan motivasi
(perasaannya).[17]
Dari
berbagai pendapat diatas jika dihubungkan dengan Al-Qur’an tampak memiliki
kesamaan, dalam al-qur,an dalam arti sifat, tabi’at, tabi’at dan sikap mirip
dengan pengertian akhlaq. Di dalam
al-Qur’an terdapat ayat yang mnyebutkan tentang akhlak, pada QS Al-qolam : 4:
Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Al-khuluq
dalam perspektif al’Qur’an adalah sesuai dengan perilaku Nabi Muhammad. Dalam
at-tafsir al-wajiz ‘ala hamiz al-qur’an menyebutkan ketika Aisyah R.A ditanya
tentang budi pekerti Rasul Ia menjwab “ Kaana Khuluquhu al-Qu’an”.[18]Maka
budi perkerti/karakter unggul itu sesuai yang tertulis dalam kitab suci
Al-Qur’an.
b.
Tujuan
Pendidikan karakter
Tujuan pendidikan harus dirumuskan atas
dasar nilai-nilai dasar yang diyakini dapat mengangkat harka dan martabat
manusia, yaitu nilai-nilai ideal yang menjadi kerangka berfikir dan bertindak
bagi setiap individu dan sekaligus menjadi pandangan hidup serta arah bagi
proses pendidikan.[19]Pendidikan
karakter pada hakikatnya ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi
bermoral yang dapat menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya, dengan
demikian, pendidikan karakter senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan
individu bermoral, cakap mengambil keputusan yang tampil dalam perilakunya,
sekaligus mampu berperan aktif dalam membangun kehidupan dan tanggung jawabnya,
dalam relasinya dengan orang lain. Dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membentuk pribadi manusia untuk lebih memahami nilai-nilai yang berhubungan
dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia dan lingkungan, nilai tersebut
terwujud dalam pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. [20] Adapun Al-qur’an QS Ali
Imran 103, menjelaskan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk, Mendamaikan
manusia yang bermusuhan menjadi saudara. Dan menyelamatkan manusia dari
kehancuran, menjadi manusia yang selamat dunia akhirat( Q.S Ali Imran, 103).
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.
c. Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Karakter merupakan sifat alami seseorang dalam
merespon situasi secara bermoral, yang berwujud dalam tindakan nyata melalui
perilaku jujur, baik, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan
nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter
berkaitan erat dengan iman dan ihsan. Hal ini sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Aristoteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan “ habit”
atau kebiasaan yang terus –menerus dipraktikkan dan diamalkan.[21] Untuk
mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu ditekannkan tiga
komponen penting yakni, moral knowing (pengetahuan tentang moral),
moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (tindakan
moral). Moral knowing adalah adanya kemampuan seseorang membedakan
nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak terela secara universal. Termasuk memahami
secara logis dan rasional (bukan secara dogmatis dan doktrinis) pentingnya
aklak mulia dan bahaya akhlak tercela
dalam kehidupan. Hal itu dilakukan lewat pengenalan sosok Nabi Muhamad SAW,
sebagai figur teladan akhlak mulia melalui hadist-hadist dan sunahnya.
Sedangkan moral feeling dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh
terhadap nilai-nilai akhlak mulia, sehingga tumbuh kesadaran dan keinginan
serta butuh untuk menilai dirinya sendiri. Adapun moral doing adalah kemampuan untuk
membiasakan perilaku-perilaku yang baik dan terpuji pada diri seseorang dalam
kehidupan sehari-hari.[22]
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan kemampuan melakukan perbuatan baik. Dengan kata lain, indikator manusia yang memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik dan nyata berperilaku aik, yang secara oheren memancar sebagai hasil dari lima olah yaitu : olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa dan olah karsa. Dan hal ini sesuai dengan grand design yang dikembangkan oleh kemendiknas tahun 2010 dalam upaya pembentukan karakter dalam tiap diri individu.[23] Poin selanjutnya adalah bagaimana kriteria dan tolak ukur dari sikap yang dikategorikan berkarakter. Azhar Arsyad menjelaskan bahwa para ulama memberikan rumusan ukuran baik dan buruk dalam perilaku manusia mestilah merujuk kepada ketentuan Tuhan. Apa yang dinilai baik oleh Tuhan menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk. Itulah sebabnya mengapa manusia dianjurkan untuk meneladani dan berakhlak dengan akhlak Allah dan apa yang tertuang dalam kitab suci, dengan sifat-sifat Allah yang disebtu dengan al-asmaa ul-Husna, seperti pemaaf, aktif hidup, bijaksana, pengasih, penyayang, dan seterusnya.[24] Dengan demikian, di sanalah perlunya langkah penelusuran nilai-nilai dan konsep Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an yang dinilai sebagai sumber kebenaran hakiki dalam kehidupan.
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan kemampuan melakukan perbuatan baik. Dengan kata lain, indikator manusia yang memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik dan nyata berperilaku aik, yang secara oheren memancar sebagai hasil dari lima olah yaitu : olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa dan olah karsa. Dan hal ini sesuai dengan grand design yang dikembangkan oleh kemendiknas tahun 2010 dalam upaya pembentukan karakter dalam tiap diri individu.[23] Poin selanjutnya adalah bagaimana kriteria dan tolak ukur dari sikap yang dikategorikan berkarakter. Azhar Arsyad menjelaskan bahwa para ulama memberikan rumusan ukuran baik dan buruk dalam perilaku manusia mestilah merujuk kepada ketentuan Tuhan. Apa yang dinilai baik oleh Tuhan menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk. Itulah sebabnya mengapa manusia dianjurkan untuk meneladani dan berakhlak dengan akhlak Allah dan apa yang tertuang dalam kitab suci, dengan sifat-sifat Allah yang disebtu dengan al-asmaa ul-Husna, seperti pemaaf, aktif hidup, bijaksana, pengasih, penyayang, dan seterusnya.[24] Dengan demikian, di sanalah perlunya langkah penelusuran nilai-nilai dan konsep Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an yang dinilai sebagai sumber kebenaran hakiki dalam kehidupan.
2.
Ayat–ayat
tentang nilai-nilai Pendidikan Karakter dan Konsep Pembentukan Karakter.
Adapu nilai-nilai pendidikan karakter dan konsep Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an setidaknya terdapat pada ayat Ali-Imran 59,
Al-Hujurat 11 dan Luqman 17-18.
1. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159.
فَبِمَا
رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ
مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ
فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
١٥٩
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S Ali Imran:159).
Asbabun Nuzul surat Ali Imran Ayat
159. Turunnya ayat ini berkenaan dengan terjadinya perang Uhud. Pada perang
Uhud kaum Muslim menderita kekalahan yang besar. Hamzah misalnya, harus gugur
(syahid) dalam perang tersebut. Dan yang paling menyedihkan adalah sikap kaum
Muslim pada saat itu banyak yang melarikan diri dari pertempuran. Sehingga
Rasulullah saat itu hanya dikawal oleh delapan orang sahabat saja, riwayat yang
lain menyatakan dikawal oleh empat belas orang.[25]
Setelah
Rasul kembali ke Madinah, para sahabat yang sebelumnya melarikan diri kembali
menemui Rasulullah. ketika Rasulullah melihat mereka, beliau tidak marah
ataupun bertindak kasar. Beliau tetap memperlakukan mereka dengan bersikap
ramah dan lemah lembut.[26]
Pada
surat Ali-Imran 159, Dalam tafsir
Al-Misbah dijelaskan Kepribadian Nabi dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan
yang Allah limpahkan melalui wahyu Al-Qur’an tapi kalbu Nabi juga disinari,
bahkan totalitas wujud beliau juga merupakan rahmat bagi seluruh alam. Sekiranya
engkau bersikap keras lagi berhati kasar mengandung makna bahwa Muhammad
bukanlah orang yang berhati keras, ini dapat dilihat dari kata (لو)lauw yang diterjemahkan sekiranya. Kata (lauw)
digunakan untuk untuk menggambarkan sesuatu yang bersyarat, tapi syarat
tersebut tidak terwujud. Jika demikian, ketika ayat ini meyatakan sekiranya
engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu itu berarti sikap keras dan berhati kasar tidak ada wujudnya, sehingga
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu tidak akan pernah
terjadi.[27]
Pada
tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an, menafsirkan hal yang sama bahwa Nabi memiliki
sifat penyanyang dan lemah lembut kepada orang yang telah menghianatinya.
Seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya hati orang-orang
disekitar beliau tidak akan tertambat pada beliau.
“karena
itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
urusan itu,”
Dalam
permasalahan yang terjadi hendaknya kaum muslimin mengadakan musyawarah demi
melahirkan prinsip yang benar.[28]“kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadanya”
Dalam
urgensi Syura ialah membolak-balikkan pemikiran dan memilih pandangan yang
diajukan. Dan pemilihan hasil dari syura dengan penuh tekad dan semangat, maka
haruslah bertawakal kepada Allah, menghubungkan urusan tersebut kepada Allah,
bagaimanapun hasilnya nanti. Karena tabi’at yang harus dimiliki seorang mukmin
tawakal kepada Allah dan mengembalikan
segala urusan kepada-nya [29]
2. Tafsir Surat Luqman Ayat 17-18
يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ
وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ
أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ١٧ وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ
مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(Q.S Luqman:
17-18)
Pada ayat Luqman 17-18, meyuruh
mengerjakan ma’ruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah
wajar menyuruh sebelum diri sendiri melakukannya. Demikian juga melarang
kemunkaran menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Ma’ruf
adalah “yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka
kenal luas”, selama sejalan dengan al-Khair (kebajikan), yaitu
nilai-nilai ilahi. Mungkar adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh mereka serta
bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.[30]
Kata shabr (صبر) terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, shad,
ba, dan ra. Maknanya berkisar pada tiga hal, 1) menahan, 2)
ketinggian sesuatu, 3) sejenis batu. Dari kata menahan lahir makna konsisten/bertahan,
karena yang bersabar menahan dari pada suatu sikap. Dari makna kedua lahir
makna shubr, yang berarti puncak sesuatu. Dari kata ketiga lahir
makna ash-shubrah yakni batu yang kukuh lagi kasar atau potongan
besi.[31]
Ketiga
makna tersebut dapat kait-berkait, seorang yang sabar akan menahan diri dan
tentu memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja agar dapat mencapai ketinggian
yang diharapkannya.Kata ‘azm (عزم) secara bahasa berarti keteguhan hati dan tekad untuk
melakukan sesuatu. Kata adalah objek sehingga makna penggalan ayat itu
adalah shalat, amar ma’ruf nahi munkar –serta kesabaran- adalah hal yang telah
diwajibkan Allah untuk dibulatkan tekadnya atas manusia.[32]
Kata
(تصعر)
tusha’ir terambil dari kata (الصعر) ash-sha’ar
yaitu penyakit yang menimpa unta dan menjadikan lehernya keseleo hingga
akhirnya ia berupaya keras agar berpaling sehingga tekanan tidak tertuju pada
syaraf lehernya yang mengakibatkan rasa sakit. Dari kata inilah menggambarkan
upaya seseorang untuk bersingkap angkuh dan menghina orang lain. Kata fil-ardi
(فى الارض)disebut
ayat diatas untuk mengisyaratkan bahwa asal kejadian manusia adalah dari tanah,
maka janganlah menyombongkan diri dan melangkah angkuh di tempat itu. Sedangkan
Ibn Asyur meperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang, yang
kuat yang lemah, kaya miskin, penguasa rakya. Sehingga tidaklah wajar bagi
seseorang menyombongkan diri.[33]Kata
Mukhtalin مختال)) terambil dari kata yang sama dengan خىل)) khayala, karena pada mulanya berarti tingkah orang yang
lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya,
biasanya orang semacam ini angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan
dibanding yang lainnya.
Sementara fakhur yakni sering kali
membanggakan diri, ini mengandung makna yang sama dengan Mukhtalin,
namun mukhtalin bermakna kesombongan yang yang terlihat dari tingkah
laku, yang kedua kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan.[34]
Keterangantersebut, sesuaidenganHadistNabiyaitu :
وعن أبي هريرة رضيه الله عنه قال : سئل رسول الله صلى
الله عليه وسلم عن أكثر
ما يدخل الناس حسن االجنة ؟ قال : تقوي الله و الحسن الخلق وسئل عن أكثر
ما يدخل النلر ؟
فقال الفم والفرج (روه الترميذ )
Dari hadisttersebut di jelaskanbahwa , ketikaRasulditanyaoleh
Abu Hurairahsiapa yang paling banyakmasuksurgayaitu orang-orang yang
bertaqwakepada Allah, Karenabertakwakepada Allah maka akan mendekatkan makhluk terhadap
Tuhannya, Berakhlak Mulia itu mendekatkan sesame Manusia. Lalu Ia bertanya kembali
barang siapa yang paling banyak masuk neraka Rasul pun menjawab mulut dan kemaluan,
maksudnya disini adalah karena tidak dapat menjaga lidahlah orang akan berbohong,
ghibah dan mengadu domba. Dan orang yang tidak dapat menjaga Far jmaka akan
menyebab kan zina bahwa hubungan yang dilaknat Allah sepertikaumNabiLuth.
Pesanpertama yang, disampaikan pada surat Al-Luqman dipertegas
dengan Hadisr yang telah diriwayatkan oleh Tirmidzi, keduanya samamenyuruhuntukbertakwakepada
Allah padasurat Al-luqman diperintahkan untuk
Sholat shoal titu merupakan bukti dari ketakwaan kepada Allah. Dan
selanjut, memerintahkan untuk berbuat baik kepada sesam adan mencegah kemunkaran ,hal tersebut diperjelas dalam Hadist berakhlak mulia menjagali
sanda nfarj.
3. Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11.
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا
مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ
وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ
ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
١١
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain,
boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Hujurat: 11)
Diriwayatkan asbabun nuzul dari ayat ini
berkenaan dengan tingkah laku kabilah
bani Tamim yang pernah berkunjung pada Rasulullah, lalu mereka memperolok-olok
beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab,
dan lain-lain, karena pakaian merekan yang sangat sederhana.
Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini
turun berkaitan dengan kisah Safiyyah binti Huyay bin Ahkab yang pernah datang
menghadap Rasulullah, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah
menegur dia dengan kata-kata yang menyakitkan hati, seperti “Hai perempuan
Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya. Sehingga Nabi bersabda kepadanya
“mengapa tak engkau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Musa, dan suamiku
adalah Muhammad.[35]
PerintahmenjagalisanjugatertulisdalamHadist
, yang berbunyi :
وعنه قال رسول الله صلىّ الله عليه وسلمّ : أكمل
المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخياركم خيار لسانهم( روه الترميذى)
Hadisttersebutmenjelaskanbahwa orang yang sempurnaimannya, adalah yang
berbudipekertimuliadan orang yang baiktuturkatanya.
Hadistersebutbiladikaitkandengan, Ayat Al-hujurat 11 dalam Al-Qur’an
dilarangmengolok-olok, memanggildengankasarkarenahaltersebutjauhdaritutur kata
lembut, yang manadalamHadistdijelaskanbahwa orang yang
baikbudipekertiituadalahbaiklisannya
ada ayat Al-Hujurat 11, Mengenai
surat al-Hujurat, Sayid Quthb mengawali
uraian tafsirnya dengan menulis:
“ Surat yang tidak lebih dari 18 ayat
ini termasuk surat madaniah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang
mengandung aneka hakikat aqidah dan syariah yang penting; mengandung hakikat
wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan
yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep
yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai cara
penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah
ayatnya kurang dari seratus”.[36]
Dalam surat al-Hujurat, khususnya pada
ayat 11 dijelaskan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang mukmin
kepada mukmin lainnya, dan terhadap manusia secara keseluruhan, demi
terciptanya sebuah kedamaian dan menjauhi
pertikaian, yaitu dengan cara menghindari perbuatan mengolok-olok, mencaci
diri, memanggil dengan panggilan yang buruk, sombong, buruk sangka dan
sifat-sifat lainnya.
Dalam bukunya Quraisy Shihab menulis, tentang
tema utama surat ini mengatakan bahwa surah ini mengandung tuntunan agama serta
prinsip-prinsip moral yang jika memperhatikannya akan tercipta bahagia bagi
setiap individu sekaligus terwujudnya suatu sistem kemasyarakatan yang mantap
saleh dan sejahtera.[37]
C. KesimpulandanAnalisis Kandungan Ayat
1. Nilai –nilai pendidikan karakter yang
terkandung di ayat Ali-Imran 159, Luqman 17-18 dan Al-Hujurat 11, dari ketiga
ayat tersebut sebagai berikut :
a. Analisis
kandungan Ayat Ali Imran 159 adalah sebagai berikut :
1) Rasulullah mengajarkan Sikap lemah
lembut Ada sifat belas kasih, cinta, serta sayang kepada diri rasul. Sifat
sifat tersebut sangat memengaruhi beliau dalam memimpin. Dengan sifat sifat
tersebut, beliau memimpin umatnya dengan bijaksana dan penuh cinta serta kasih
sayang. Sifat lemah lembut semacam ini harus kita teladani.
2) Rasul adalah seorang pemimpin. Seorang
pemimpin hendaknya tidak berbuat kasar serta tidak berkeras hati. Apabila
seorang pemimpin bersikap keras dan berhati kasar, orang orang yang dipimpinnya
menjadi enggan dan akan menjauh. Hendaknya seorang pemimpin dapat menjadi
pelindung, orang tua, teman, dan sahabat bagi orang orang yang dipimpinnya.
3) adakalanya seorang pemimpin harus
memiliki sifat pemaaf bahkan pada saat saat tertentu seorang pemimpin perlu
memohonkan ampun (kepada Allah) atas orang orang yang pernah melakukan
kesalahan.
4) Seorang pemimpin juga perlu mengajak
orang orang anggota masyarakat untuk bermusyawarah, Allah memerintahkan kepada
Rasulullah untuk mengajak umatnya bermusyawarah dalam memutuskan suatu
permasalahan, dan dalam mengambil keputusan selalu menyerahkan segala urusan
kepada Allah.
b. Analisis
kandungan Ayat Luqman 17-18
adalah sebagai berikut :
1) Mengajarkan tauhid, mengerjakan ibadah kepada Allah
2) Keberanian menyampaikan kebenaran dan mencengah
kemaksiatan
3) Agar tidak sombong dan angkuh terhadap
orang lain
c.
Analis
kandungan Ayat Al-Hujurat 11 :
1)
Larangan
mencaci, mengumpat dan menghina sesama manusia
2)
Larangan
merendahkan orang lain. Karena setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan
3)
Adab
berbicara dengan sopan santun
2.
Konsep
Pembentukan karakter dalam QS Al-Hujurat 11 dan QS Luqman 17-18, QS Ali Imran,
159 sebagai berikut :
a.
Apabila
ada yang berbuat kasar terhadap-mu, tidak boleh membalasnya dengan kekerasan
b.
Pembiasaan
pengambilan keputusan dengan cara musyawarah/ mufakad. Akan mewujudkan pribadi
yang mampu memaparkan keinginannya, namun tetap menghargai pendapat orang lain.
c.
Demi
terciptanya sebuah kedamaian dan
menjauhi pertikaian, yaitu dengan cara menghindari perbuatan mengolok-olok,
mencaci diri, memanggil dengan panggilan yang buruk, sombong, buruk sangka dan
sifat-sifat lainnya.
d.
Kata
perintah mengerjakan ma’ruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena
tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri melakukannya. Demikian juga
melarang kemunkaran menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah
dirinya. Dalam hal ini bahwa keteladanan dibutuhkan dalam proses pembentukan
karakter.
Daftar Rujukan
Aly,Hery Noer dan Munzier, 2003, Watak Pendidikan Islam Jakarta :Friska
Agung Insani
Anshari, Hafizh, 2005, Ensiklopedi Islam, volume I, Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve
Arifin, Muzayyin,2003, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara
Arsyad, Azhar, 2011, Strategi dan
Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa di Peguruan Tinggi, (Makalah
Disampaikan Atas Permintaan Kasubdit Akademi, Direktorat Perguruan Tinggi
Islam, Kemnetrian Agama RI Jakarta
E. Mulyasa, 2011 Manajemen Pendidikan
Karakter, Jakarta : Bumi Aksara
Fihris, 2010, Pedidikan Karakter di
Madrasah Salafiyah, Semarang : IAIN Walisongo
Gunawan,Heri, 2012 Pendidikan karakter
konsep dan Implementasi, Bandung
:Alfabetha
Hafidz, Hasan,1989, Dasar-dasar
Pendidikan dan Ilmu Jiwa, Solo : Ramadhani
Hasan al-Mahami, Muhamad Kamil ,
tt, Al-Mausu’ah Al-Quraniyya, Ensiklopedi
Al-Qur’an, volume III, terj. Ahmad Fawaid Syadzili, Jakarta: PT Kharisma Ilmu
Hidayat,Ara dan Machali,Imam, 2010
Pengolahan Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Education.
Juwariyah, , 2010, Dasar-Dasar Pendidikan Anak dalam
Al-Qur’an, Yogyakarta: Teras
Kementrian Agama RI, Qur’an dan
Tafsirnya, jilid IX, Jakarta: Widya Cahaya, 2011
Kementrian Pendidikan Nasional Dirjen
Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Sekolah Menenah Pertama, 2011Panduan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta : Diknas
Koesuma Donie, 2010 Pendidikan
Karakter, strategi Mendidik anak di zaman global, Jakarta :grafindo
Majid, Abdul dan Andayani, Dian, 2012 Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya
Mu;in, Fatchul, 2011 Pendidikan
Karakter Kontruksi teoritik & praktik Jakarta : Ar-ruz Media
Muslich,Mansur, 2011 Pendidikan
Karakter Menjawab Tantangan kritis Multidimensional, Jakarta : Bumi Aksaara
Qutb Sayid, 1990, Tafsir Fi Zhilal
Al-Qur’an, cet XVII Kairo: Dar al-Syuruq
Rahardjo M. Dawam, 2002, Ensiklopedi
Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta:
Paramadina
Rakhmat, Jalaluddin, 2001, .Renungan-Renungan
Sufistik; Membuka Tirai Kegaiban, cet XII, Bandung: Mizan
Shihab, Quraish, 2009, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an,
volume XII, Jakarta: Lentera Hati
Shihab, Quraish, 2009, Tafsir Al-Mishbah; Kesan Pesan dan
Keserasian Al-Qur’an, volume II, Jakarta: Lentera Hati
Shohib Muhammad, 2011, (ed.), Keutamaan Al-Qur’an dalam
Kesaksian Hadits, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1989 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
UU Sisdiknas No 20 Th 2003
[5] Hafizh Anshari, Ensiklopedi
Islam, volume I, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005), hlm. 102
[6]Muhamad Kamil Hasan
al-Mahami, Al-Mausu’ah Al-Quraniyya, (Ensiklopedi Al-Qur’an), volume
III, terj. Ahmad Fawaid Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, tt), hlm 8
[7]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi
Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta:
Paramadina, 2002), hlm 8
[8]Muhammad Shohib, (ed.),Keutamaan
Al-Qur’an dalam Kesaksian Hadits,(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, 2011), hlm.11
[9]Juwariyah, Dasar-Dasar
Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 13-14.
[10]Ara Hidayat dan Imam
Machali, Pengolahan Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Educa, 2010), hlm.
30.
[11]Hasan Hafidz, Dasar-dasar
Pendidikan dan Ilmu Jiwa, (Solo : Ramadhani, 1989). Hlm.12
[12]UU Sisdiknas No 20 Th
2003
[13]Tim Penyusun Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1989) hlm. 389
[14]Mansur Muslich, Pendidikan
Karakter Menjawab Tantangan kritis Multidimensional, (Jakarta : Bumi
Aksaara,2011) hlm. 67.
[17]Fihris, Pedidikan
Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang : IAIN Walisongo, 2010),hlm.24
[18]565
[19]Donie Koesuma, Pendidikan
Karakter, strategi Mendidik anak di zaman global, (Jakarta :grafindo,
2010), hlm.134
[20]Fihris, Pendidikan
karakter di Madrasah Salafiyah, hlm. 29
[21]E. Mulyasa, Manajemen
Pendidikan Karakter, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hlm. 3
[22]Abdul Majid da Dian
Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2012), hlm. 112
[23]Kementrian Pendidikan
Nasional Dirjen Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Sekolah Menenah Pertama, Panduan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, (Jakarta : Diknas, 2011),
hlm.6
[24] Azhar Arsyad, Strategi dan Implementasi Pendidikan
Karakter Bangsa di Peguruan Tinggi, (Makalah Disampaikan Atas Permintaan
Kasubdit Akademi, Direktorat Perguruan Tinggi Islam, Kemnetrian Agama RI
Jakarta, 2011), hlm. 11
[25]Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan
Sufistik; Membuka Tirai Kegaiban, cet XII, (Bandung: Mizan, 2001), hal.
269.
[27]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah; Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume II, (Jakarta:
Lentera Hati, 2009), hlm.310-311
[28]Sayid Quthub, Fi
Zhilalil Qur’an,,,,, 192-193
[30]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah..., hlm. 309
[35]Kementrian Agama RI,
Qur’an dan Tafsirnya, jilid IX, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 409
[36]Sayid Qutb, Tafsir Fi
Zhilal Al-Qur’an, cet XVII (Kairo: Dar al-Syuruq, 1990), hlm. 3335
[37]M. Quraish Shihab,Kesan
Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume XII, (Jakarta: Lentera Hati, 2009),
hlm. 568
Tidak ada komentar:
Posting Komentar