Sabtu, 12 Maret 2016

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN



PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Nurul Azizah (1577009)

A.   Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber dari seluruh ajaran Islam sebagai wahyu Allah yang terakhir dan menjadi rahmat, hidayah dan syifa bagi seluruh manusia. Ia diturunkan Allah kepada nabi Muhammad Saw. untuk mengeluarkan  manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.Dan tidak bisa disangkal bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang di dalamnya banyak mengajarkan tentang nilai-nilai pendidikan karakter.
Bahkan Islam merupakan sumber karakter yang universal. Salah satu konsep dasar bahwa Islam adalah sumber akhlak telah dikemukakan sendiri oleh Nabi, berkaitan dengan tugas beliau sebagai seorang utusan Allah “sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”.  Hadits tersebut menunjukan betapa Islam sangat memperhatikan nilai-nilai akhlak. Akhlak memang menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut al-akhlaq al-karimah[5].

Penanaman Karakter menjadi salah satu tema yang selalu dibicarakan dan dikaji, dari dulu hingga saat ini. Bahkan jauh sebelum nabi Muhamad diutus sebagai pembawa risalah tentang karakter. para filusuf Yunani kuno berupaya membedah masalah akhlak, sejak Socrates hingga Aristoteles. Bahkan Plato banyak menekuni bidang ini dan menghasilkan karya khususnya yang terkenal seputar masalah etika berjudul Republica. Namun pengaruh filsafat terhadap masyarakat barat nampaknya sangat terbatas dan bersifat sesaat. Demikian juga dengan generasi-generasi selanjutnya. Jika saja tidak disebutkan dalam buku-buku pelajaran, niscaya filsafat tidak lama lagi hanya akan menjadi peninggalan belaka.[6]
Hal ini tentu berbeda dengan ajaran Al-Qur’an yang bersifat kekal dan berlaku untuk seluruh masa. Wahyu Allah tersebut, akan berlaku sepanjang zaman, karena seluruh isinya bersipat potensial.[7] Sehingga tidak diragukan lagi bahwa  keberadaannya menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa dan beriman, sehingga mereka mendapatkan keberuntungan dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam hidupnya. Demikianlah kemukjizatan Al-Qur’an dengan segala kesempurnaannya.
Nilai keagungan Al-Qur’an bukan sebatas pada kandungannya semata, melainkan huruf demi hurufnya pun bernilai satu kebaikan, bahkan satu kebaikan bisa berlipat sampai sepuluh kalinya.[8] Tapi jika Al-Qur’an hanya dijadikan bacaan keagamaan semata, tanpa diikuti dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai Al-Qur’an serta tanpa diiringi pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sudah barang tentu akan kehilangan relevansinya dengan realitas-realitas alam. Apalagi jika manusia sampai menjauh dari Al-Qur’an.
Jika melihat realitas kehidupan kekinian, nampaknya manusia pada zaman sekarang memang mulai jauh dari nilai-nilai Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari, lemahnya pemahaman terhadap Al-Qur’an nyatanya telah membuat berbagai penyimpangan dalam kehidupan marak terjadi. fenomena kemerosotan moral di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini masih cukup jelas terlihat, indikator-indikator itu dapat diamati di dalam kehidupan sehari-hari seperti pergaulan bebas, tindak kriminal, kekerasan, korupsi, penipuan, serta prilaku-prilaku tidak terpuji lainnya, sehingga sifat-sifat terpuji seperti rendah hati, toleransi, kejujuran, kesetiaan, kepedulian, saling bantu, kepekaan sosial, tenggang rasa, yang merupakan jati diri bangsa sejak berabad-abad lamanya seolah menjadi barang mahal.[9]
Itulah mengapa pendidikan karakter menjadi sangat penting, karena sepintar apapun seseorang, setinggi apapun jabatannya, jika tidak diimbangi dengan  keimanan dan ketaqwaan hanya akan menggiring  manusia  kepada  sesuatu yang bertolak belakang dengan ajaran Al-Qur’an dan hadits. Allah  SWT hanya menilai hamba-Nya berdasarkan ketaqwaan dan amal shaleh (akhlak  baik) yang  dilakukannya. Seseorang  yang  memiliki  akhlak  mulia akan dihormati masyarakat, sehingga setiap orang di sekitarnya merasa  tentram dengan keberadaannya dan orang tersebut menjadi mulia di lingkungannya.
Melihat persoalan serius tersebut, maka upaya menanamkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan menjadi sangat urgen. Dan salah satu cara untuk memiliki akhlak mulia, tentu kita harus mencontoh pribadi Rasulullah, karena beliau memiliki sifat-sifat yang terpuji dan menjadi pedoman bagi umatnya. Tak terbantahkan lagi bahwa dengan akhlak mulia, keteguhan iman, dan juga budi pekertinya yang luhur, beliau dapat merubah peradaban bangsa Arab jahiliyah pada saat itu.
Berangkat dari hal tersebut, maka pemakalah akan mengkaji mendalami ayat-ayat dari Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

B.  Pembahasan
1.    Pengertian Pendidikan Karakter
a.    Pendidikan Karakter
Menurut pendapat Qodri Azizy pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian peserta didik.[10]Pendidikan merupakan proses perubahan atau pengembangan diri anak didik dalam segala aspek kehidupan sehingga terbentuklah suatu kepribadian yang utuh (insan kamil) baik sebagai makhluk sosial, maupun makhluk individu, sehingga dapat beradaptasi dan hidup dalam masyarakat luas dengan baik. Termasuk bertanggung jawab kepada diri sendiri, orang lain, dan Tuhannya.[11]
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia telah dipilih Allah sebagai khalifah di bumi, maka pendidikan harus mampu mewujudkan manusia yang memiliki karakter yang baik sehingga mampu mengemban tugas mereka sebagai khalifah di bumi.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, [12] pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendaliaan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Adapun makna karakter dalam kamus besar bahasa indonesia, berarti watak, sifat-sifar kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.[13]
Sedangkan menurut Suyanto, karakter merupakan cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan berkerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.[14]
Donie Koesoema, memahami bahwa kharakter sama dengan  kepribadian. Sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan – bentukan yang diterima oleh lingkungan.[15] Adapun karakter menurut Simon Philips kumpulan dari hasil pikiran, perilaku dan perkataan.[16]
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan bangsa dan negara dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran emosi dan motivasi (perasaannya).[17]
Dari berbagai pendapat diatas jika dihubungkan dengan Al-Qur’an tampak memiliki kesamaan, dalam al-qur,an dalam arti sifat, tabi’at, tabi’at dan sikap mirip dengan pengertian  akhlaq. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang mnyebutkan tentang akhlak, pada QS Al-qolam : 4:
Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad)  benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Al-khuluq dalam perspektif al’Qur’an adalah sesuai dengan perilaku Nabi Muhammad. Dalam at-tafsir al-wajiz ‘ala hamiz al-qur’an menyebutkan ketika Aisyah R.A ditanya tentang budi pekerti Rasul Ia menjwab “ Kaana Khuluquhu al-Qu’an”.[18]Maka budi perkerti/karakter unggul itu sesuai yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an.
b.   Tujuan Pendidikan karakter
Tujuan pendidikan harus dirumuskan atas dasar nilai-nilai dasar yang diyakini dapat mengangkat harka dan martabat manusia, yaitu nilai-nilai ideal yang menjadi kerangka berfikir dan bertindak bagi setiap individu dan sekaligus menjadi pandangan hidup serta arah bagi proses pendidikan.[19]Pendidikan karakter pada hakikatnya ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya, dengan demikian, pendidikan karakter senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam membangun kehidupan dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain.                                 Dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membentuk pribadi manusia untuk lebih memahami nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia dan lingkungan, nilai tersebut terwujud dalam pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. [20]                   Adapun Al-qur’an QS Ali Imran 103, menjelaskan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk, Mendamaikan manusia yang bermusuhan menjadi saudara. Dan menyelamatkan manusia dari kehancuran, menjadi manusia yang selamat dunia akhirat( Q.S Ali Imran, 103).
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.


c.    Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang berwujud dalam tindakan nyata melalui perilaku jujur, baik, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan erat dengan iman dan ihsan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Aristoteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan “ habit” atau kebiasaan yang terus –menerus dipraktikkan dan diamalkan.[21]                             Untuk mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu ditekannkan tiga komponen penting yakni, moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (tindakan moral). Moral knowing adalah adanya kemampuan seseorang membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak terela secara universal. Termasuk memahami secara logis dan rasional (bukan secara dogmatis dan doktrinis) pentingnya aklak  mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan. Hal itu dilakukan lewat pengenalan sosok Nabi Muhamad SAW, sebagai figur teladan akhlak mulia melalui hadist-hadist dan sunahnya. Sedangkan moral feeling dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia, sehingga tumbuh kesadaran dan keinginan serta butuh untuk menilai dirinya sendiri. Adapun  moral doing adalah kemampuan untuk membiasakan perilaku-perilaku yang baik dan terpuji pada diri seseorang dalam kehidupan sehari-hari.[22]                   
       Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan kemampuan melakukan perbuatan baik. Dengan kata lain, indikator manusia yang memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik dan nyata berperilaku aik, yang secara oheren memancar sebagai hasil dari lima olah yaitu : olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa dan olah karsa. Dan hal ini sesuai dengan grand design yang dikembangkan oleh kemendiknas tahun 2010  dalam upaya pembentukan karakter dalam tiap diri individu.[23]                                                   Poin selanjutnya adalah bagaimana kriteria dan tolak ukur dari sikap yang dikategorikan berkarakter. Azhar Arsyad menjelaskan bahwa para ulama memberikan rumusan ukuran baik dan buruk dalam perilaku manusia mestilah merujuk kepada ketentuan Tuhan. Apa yang dinilai baik oleh Tuhan menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk. Itulah sebabnya mengapa manusia dianjurkan untuk meneladani dan berakhlak dengan akhlak Allah dan apa yang tertuang dalam kitab suci, dengan sifat-sifat Allah yang disebtu dengan al-asmaa ul-Husna, seperti pemaaf, aktif hidup, bijaksana, pengasih, penyayang, dan seterusnya.[24]                                                                         Dengan demikian, di sanalah perlunya langkah penelusuran nilai-nilai dan konsep Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an yang dinilai sebagai sumber kebenaran hakiki dalam kehidupan.
2.    Ayat–ayat tentang nilai-nilai Pendidikan Karakter dan Konsep Pembentukan Karakter.
Adapu nilai-nilai pendidikan karakter dan konsep Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an setidaknya terdapat pada ayat Ali-Imran 59, Al-Hujurat 11 dan Luqman 17-18.
1.      Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159.
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
      Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S Ali Imran:159).     
          Asbabun Nuzul surat Ali Imran Ayat 159. Turunnya ayat ini berkenaan dengan terjadinya perang Uhud. Pada perang Uhud kaum Muslim menderita kekalahan yang besar. Hamzah misalnya, harus gugur (syahid) dalam perang tersebut. Dan yang paling menyedihkan adalah sikap kaum Muslim pada saat itu banyak yang melarikan diri dari pertempuran. Sehingga Rasulullah saat itu hanya dikawal oleh delapan orang sahabat saja, riwayat yang lain menyatakan dikawal oleh empat belas orang.[25]
Setelah Rasul kembali ke Madinah, para sahabat yang sebelumnya melarikan diri kembali menemui Rasulullah. ketika Rasulullah melihat mereka, beliau tidak marah ataupun bertindak kasar. Beliau tetap memperlakukan mereka dengan bersikap ramah dan lemah lembut.[26]
    Pada surat Ali-Imran 159,  Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan Kepribadian Nabi dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan melalui wahyu Al-Qur’an tapi kalbu Nabi juga disinari, bahkan totalitas wujud beliau juga merupakan rahmat bagi seluruh alam. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar mengandung makna bahwa Muhammad bukanlah orang yang berhati keras, ini dapat dilihat dari kata (لو)lauw yang diterjemahkan sekiranya. Kata (lauw) digunakan untuk untuk menggambarkan sesuatu yang bersyarat, tapi syarat tersebut tidak terwujud. Jika demikian, ketika ayat ini meyatakan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu itu berarti sikap keras dan berhati kasar tidak ada wujudnya, sehingga tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu tidak akan pernah terjadi.[27]
Pada tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an, menafsirkan hal yang sama bahwa Nabi memiliki sifat penyanyang dan lemah lembut kepada orang yang telah menghianatinya. Seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya hati orang-orang disekitar beliau tidak akan tertambat pada beliau.
karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan urusan itu,”
Dalam permasalahan yang terjadi hendaknya kaum muslimin mengadakan musyawarah demi melahirkan prinsip yang benar.[28]“kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadanya”
Dalam urgensi Syura ialah membolak-balikkan pemikiran dan memilih pandangan yang diajukan. Dan pemilihan hasil dari syura dengan penuh tekad dan semangat, maka haruslah bertawakal kepada Allah, menghubungkan urusan tersebut kepada Allah, bagaimanapun hasilnya nanti. Karena tabi’at yang harus dimiliki seorang mukmin tawakal kepada Allah dan mengembalikan  segala urusan kepada-nya [29]
2.      Tafsir Surat Luqman Ayat 17-18

يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ١٧ وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨
     Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(Q.S Luqman: 17-18)

                    Pada ayat Luqman 17-18, meyuruh mengerjakan ma’ruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri melakukannya. Demikian juga melarang kemunkaran menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Ma’ruf adalah “yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka kenal luas”, selama sejalan dengan al-Khair (kebajikan), yaitu nilai-nilai ilahi. Mungkar adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.[30]
     Kata shabr (صبر) terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, shad, ba, dan ra. Maknanya berkisar pada tiga hal, 1) menahan, 2) ketinggian sesuatu, 3) sejenis batu. Dari kata menahan lahir makna konsisten/bertahan, karena yang bersabar menahan dari pada suatu sikap. Dari makna kedua lahir makna shubr, yang berarti puncak sesuatu. Dari kata ketiga lahir makna ash-shubrah yakni batu yang kukuh lagi kasar atau potongan besi.[31]
Ketiga makna tersebut dapat kait-berkait, seorang yang sabar akan menahan diri dan tentu memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya.Kata ‘azm (عزم) secara bahasa berarti keteguhan hati dan tekad untuk melakukan sesuatu. Kata adalah objek sehingga makna penggalan ayat itu adalah shalat, amar ma’ruf nahi munkar –serta kesabaran- adalah hal yang telah diwajibkan Allah untuk dibulatkan tekadnya atas manusia.[32]
Kata (تصعر) tusha’ir terambil dari kata (الصعر) ash-sha’ar yaitu penyakit yang menimpa unta dan menjadikan lehernya keseleo hingga akhirnya ia berupaya keras agar berpaling sehingga tekanan tidak tertuju pada syaraf lehernya yang mengakibatkan rasa sakit. Dari kata inilah menggambarkan upaya seseorang untuk bersingkap angkuh dan menghina orang lain. Kata fil-ardi (فى الارض)disebut ayat diatas untuk mengisyaratkan bahwa asal kejadian manusia adalah dari tanah, maka janganlah menyombongkan diri dan melangkah angkuh di tempat itu. Sedangkan Ibn Asyur meperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang, yang kuat yang lemah, kaya miskin, penguasa rakya. Sehingga tidaklah wajar bagi seseorang menyombongkan diri.[33]Kata Mukhtalin مختال)) terambil dari kata yang sama dengan خىل)) khayala, karena pada mulanya berarti tingkah orang yang lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya, biasanya orang semacam ini angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan dibanding yang lainnya.
 Sementara fakhur yakni sering kali membanggakan diri, ini mengandung makna yang sama dengan Mukhtalin, namun mukhtalin bermakna kesombongan yang yang terlihat dari tingkah laku, yang kedua kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan.[34]
     Keterangantersebut, sesuaidenganHadistNabiyaitu :
وعن أبي هريرة رضيه الله عنه قال : سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أكثر
 ما يدخل الناس حسن االجنة ؟ قال : تقوي الله و الحسن الخلق  وسئل عن أكثر
 ما يدخل النلر ؟ فقال الفم والفرج (روه الترميذ )
Dari hadisttersebut di jelaskanbahwa , ketikaRasulditanyaoleh Abu Hurairahsiapa yang paling banyakmasuksurgayaitu orang-orang yang bertaqwakepada Allah, Karenabertakwakepada Allah maka akan mendekatkan makhluk terhadap Tuhannya, Berakhlak Mulia itu mendekatkan sesame Manusia. Lalu Ia bertanya kembali barang siapa yang paling banyak masuk neraka Rasul pun menjawab mulut dan kemaluan, maksudnya disini adalah karena tidak dapat menjaga lidahlah orang akan berbohong, ghibah dan mengadu domba. Dan orang yang tidak dapat menjaga Far jmaka akan menyebab kan zina bahwa hubungan yang dilaknat Allah sepertikaumNabiLuth.
Pesanpertama yang, disampaikan pada surat Al-Luqman dipertegas dengan Hadisr yang telah diriwayatkan oleh Tirmidzi, keduanya samamenyuruhuntukbertakwakepada Allah padasurat Al-luqman diperintahkan untuk  Sholat shoal titu merupakan bukti dari ketakwaan kepada Allah. Dan selanjut, memerintahkan untuk berbuat baik kepada sesam adan mencegah  kemunkaran ,hal tersebut  diperjelas dalam Hadist berakhlak mulia menjagali sanda nfarj.
3.    Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11.

يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Hujurat: 11)
Diriwayatkan asbabun nuzul dari ayat ini  berkenaan dengan tingkah laku kabilah bani Tamim yang pernah berkunjung pada Rasulullah, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, dan lain-lain, karena pakaian merekan yang sangat sederhana.       
Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Safiyyah binti Huyay bin Ahkab yang pernah datang menghadap Rasulullah, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah menegur dia dengan kata-kata yang menyakitkan hati, seperti “Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya. Sehingga Nabi bersabda kepadanya “mengapa tak engkau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Musa, dan suamiku adalah Muhammad.[35]         
PerintahmenjagalisanjugatertulisdalamHadist , yang berbunyi :
وعنه قال رسول الله صلىّ الله عليه وسلمّ : أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخياركم خيار لسانهم( روه الترميذى)
Hadisttersebutmenjelaskanbahwa  orang yang sempurnaimannya, adalah yang berbudipekertimuliadan orang yang baiktuturkatanya. Hadistersebutbiladikaitkandengan, Ayat Al-hujurat 11 dalam Al-Qur’an dilarangmengolok-olok, memanggildengankasarkarenahaltersebutjauhdaritutur kata lembut, yang manadalamHadistdijelaskanbahwa orang yang baikbudipekertiituadalahbaiklisannya
        ada ayat  Al-Hujurat 11, Mengenai surat al-Hujurat, Sayid Quthb  mengawali uraian tafsirnya dengan menulis:
“ Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini termasuk surat madaniah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat aqidah dan syariah yang penting; mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai cara penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari seratus”.[36]
Dalam surat al-Hujurat, khususnya pada ayat 11 dijelaskan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang mukmin kepada mukmin lainnya, dan terhadap manusia secara keseluruhan, demi terciptanya  sebuah kedamaian dan menjauhi pertikaian, yaitu dengan cara menghindari perbuatan mengolok-olok, mencaci diri, memanggil dengan panggilan yang buruk, sombong, buruk sangka dan sifat-sifat lainnya.
 Dalam bukunya Quraisy Shihab menulis, tentang tema utama surat ini mengatakan bahwa surah ini mengandung tuntunan agama serta prinsip-prinsip moral yang jika memperhatikannya akan tercipta bahagia bagi setiap individu sekaligus terwujudnya suatu sistem kemasyarakatan yang mantap saleh dan sejahtera.[37]
        
C.  KesimpulandanAnalisis  Kandungan Ayat
1.  Nilai –nilai pendidikan karakter yang terkandung di ayat Ali-Imran 159, Luqman 17-18 dan Al-Hujurat 11, dari ketiga ayat tersebut sebagai berikut :
a.    Analisis  kandungan Ayat Ali Imran 159 adalah sebagai berikut :
1)   Rasulullah mengajarkan Sikap lemah lembut Ada sifat belas kasih, cinta, serta sayang kepada diri rasul. Sifat sifat tersebut sangat memengaruhi beliau dalam memimpin. Dengan sifat sifat tersebut, beliau memimpin umatnya dengan bijaksana dan penuh cinta serta kasih sayang. Sifat lemah lembut semacam ini harus kita teladani.
2)   Rasul adalah seorang pemimpin. Seorang pemimpin hendaknya tidak berbuat kasar serta tidak berkeras hati. Apabila seorang pemimpin bersikap keras dan berhati kasar, orang orang yang dipimpinnya menjadi enggan dan akan menjauh. Hendaknya seorang pemimpin dapat menjadi pelindung, orang tua, teman, dan sahabat bagi orang orang yang dipimpinnya.
3)   adakalanya seorang pemimpin harus memiliki sifat pemaaf bahkan pada saat saat tertentu seorang pemimpin perlu memohonkan ampun (kepada Allah) atas orang orang yang pernah melakukan kesalahan.
4)   Seorang pemimpin juga perlu mengajak orang orang anggota masyarakat untuk bermusyawarah, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk mengajak umatnya bermusyawarah dalam memutuskan suatu permasalahan, dan dalam mengambil keputusan selalu menyerahkan segala urusan kepada Allah.

b.    Analisis  kandungan Ayat Luqman 17-18  adalah sebagai berikut :
1)   Mengajarkan  tauhid, mengerjakan ibadah kepada Allah
2)   Keberanian  menyampaikan kebenaran dan mencengah kemaksiatan
3)   Agar tidak sombong dan angkuh terhadap orang lain                       
c.    Analis kandungan Ayat Al-Hujurat 11 :
1)   Larangan mencaci, mengumpat dan menghina sesama manusia
2)   Larangan merendahkan orang lain. Karena setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan
3)   Adab berbicara dengan sopan santun

2.    Konsep Pembentukan karakter dalam QS Al-Hujurat 11 dan QS Luqman 17-18, QS Ali Imran, 159  sebagai berikut :
a.         Apabila ada yang berbuat kasar terhadap-mu, tidak boleh membalasnya dengan kekerasan
b.        Pembiasaan pengambilan keputusan dengan cara musyawarah/ mufakad. Akan mewujudkan pribadi yang mampu memaparkan keinginannya, namun tetap menghargai pendapat orang lain.
c.         Demi terciptanya  sebuah kedamaian dan menjauhi pertikaian, yaitu dengan cara menghindari perbuatan mengolok-olok, mencaci diri, memanggil dengan panggilan yang buruk, sombong, buruk sangka dan sifat-sifat lainnya.
d.        Kata perintah mengerjakan ma’ruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri melakukannya. Demikian juga melarang kemunkaran menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Dalam hal ini bahwa keteladanan dibutuhkan dalam proses pembentukan karakter.



Daftar Rujukan

  Aly,Hery Noer dan Munzier, 2003, Watak Pendidikan Islam Jakarta :Friska Agung Insani
 Anshari, Hafizh, 2005,  Ensiklopedi Islam, volume I, Jakarta: Ichtiar Baru van  Hoeve
Arifin, Muzayyin,2003, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara
Arsyad, Azhar, 2011, Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa di Peguruan Tinggi, (Makalah Disampaikan Atas Permintaan Kasubdit Akademi, Direktorat Perguruan Tinggi Islam, Kemnetrian Agama RI Jakarta
E. Mulyasa, 2011 Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta : Bumi Aksara
Fihris, 2010, Pedidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, Semarang : IAIN Walisongo
Gunawan,Heri, 2012 Pendidikan karakter konsep dan  Implementasi, Bandung :Alfabetha
Hafidz, Hasan,1989, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, Solo : Ramadhani
Hasan al-Mahami, Muhamad Kamil , tt,  Al-Mausu’ah Al-Quraniyya, Ensiklopedi Al-Qur’an, volume III, terj. Ahmad Fawaid Syadzili, Jakarta: PT Kharisma Ilmu
Hidayat,Ara dan Machali,Imam, 2010 Pengolahan Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Education.
Juwariyah, , 2010,  Dasar-Dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Teras
Kementrian Agama RI, Qur’an dan Tafsirnya, jilid IX, Jakarta: Widya Cahaya, 2011
Kementrian Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Sekolah Menenah Pertama, 2011Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta : Diknas
Koesuma Donie, 2010 Pendidikan Karakter, strategi Mendidik anak di zaman global, Jakarta :grafindo
Majid, Abdul dan Andayani, Dian, 2012 Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya
Mu;in, Fatchul, 2011 Pendidikan Karakter Kontruksi teoritik & praktik Jakarta : Ar-ruz Media
Muslich,Mansur, 2011 Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan kritis Multidimensional, Jakarta : Bumi Aksaara
Qutb Sayid, 1990, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an, cet XVII Kairo: Dar al-Syuruq
Rahardjo M. Dawam, 2002, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina
Rakhmat, Jalaluddin, 2001, .Renungan-Renungan Sufistik; Membuka Tirai Kegaiban, cet XII, Bandung: Mizan
Shihab, Quraish, 2009,  Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume XII, Jakarta: Lentera Hati
Shihab, Quraish, 2009,  Tafsir Al-Mishbah; Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume II, Jakarta: Lentera Hati
Shohib Muhammad,  2011, (ed.), Keutamaan Al-Qur’an dalam Kesaksian Hadits, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
UU Sisdiknas No 20 Th 2003



[5] Hafizh Anshari, Ensiklopedi Islam, volume I, (Jakarta: Ichtiar Baru van  Hoeve, 2005), hlm. 102
[6]Muhamad Kamil Hasan al-Mahami, Al-Mausu’ah Al-Quraniyya, (Ensiklopedi Al-Qur’an), volume III, terj. Ahmad Fawaid Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, tt),  hlm 8
[7]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm 8
[8]Muhammad Shohib, (ed.),Keutamaan Al-Qur’an dalam Kesaksian Hadits,(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011), hlm.11
[9]Juwariyah, Dasar-Dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 13-14.
[10]Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengolahan Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Educa, 2010), hlm. 30.
[11]Hasan Hafidz, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, (Solo : Ramadhani, 1989). Hlm.12
[12]UU Sisdiknas No 20 Th 2003
[13]Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989) hlm. 389
[14]Mansur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan kritis Multidimensional, (Jakarta : Bumi Aksaara,2011) hlm. 67.
   [15]Heri Gunawan, S.Pd.I, Pendidikan karakter konsep Implementasi, (Bandung :Alfabetha 2012) hlm. 2
      [16] Fatchul Mu;in, Pendidikan Karakter Kontruksi teoritik & praktik (Jakarta : Ar-ruz Media 2011)  hlm.160
[17]Fihris, Pedidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang : IAIN Walisongo, 2010),hlm.24
[18]565
[19]Donie Koesuma, Pendidikan Karakter, strategi Mendidik anak di zaman global, (Jakarta :grafindo, 2010), hlm.134
[20]Fihris, Pendidikan karakter di Madrasah Salafiyah, hlm. 29
[21]E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hlm. 3
[22]Abdul Majid da Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 112
[23]Kementrian Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Sekolah Menenah Pertama, Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, (Jakarta : Diknas, 2011), hlm.6
[24]             Azhar Arsyad, Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa di Peguruan Tinggi, (Makalah Disampaikan Atas Permintaan Kasubdit Akademi, Direktorat Perguruan Tinggi Islam, Kemnetrian Agama RI Jakarta, 2011), hlm. 11
[25]Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik; Membuka Tirai Kegaiban, cet XII, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 269.
[26]Ibid., hal. 270
[27]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume II, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm.310-311
[28]Sayid Quthub, Fi Zhilalil Qur’an,,,,, 192-193
[29]Ibid, hlm. 195
[30]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., hlm. 309
[31]Ibid., hlm, 310
[32]Ibid.
[33]Ibid., hlm. 311
[34]Ibid., hlm , 311-312
[35]Kementrian Agama RI, Qur’an dan Tafsirnya, jilid IX, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 409
[36]Sayid Qutb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an, cet XVII (Kairo: Dar al-Syuruq, 1990), hlm. 3335
[37]M. Quraish Shihab,Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume XII, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 568

Tidak ada komentar:

Posting Komentar