Rabu, 09 Maret 2016

KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN

KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN
Muhammad Hasan Suryawan (15770006)

A.    Pendahuluan
Pada era ini seringkali kita menemukan siswa yang harus keluar masuk ruang Bimbingan Konseling karena berbagai hal, salah satu diantaranya adalah karena berkata tidak sopan kepada gurunya, seperti yang terjadi di SMU Negeri 4 Tanjung Pinang Riau, dimana empat orang siswa menghina gurunya di facebook dan pada akhirnya mereka ada yang dikeluarkan dari sekolah.[1] begitu pula sebaliknya, ada guru yang dilaporkan ke kantor polisi karena perkataannya yang tidak senonoh. Ada pepatah mengatakan “mulutmu harimaumu” nampaknya pepatah ini sangat relevan dengan kasus tersebut.
Jika dicermati lebih lanjut, ada beberapa hal yang salah dalam proses pembelajaran disini. Guru pada hakikatnya adalah contoh bagi anak didiknya, baik dari segi perkataan maupun perbuatan. Untuk menanggapi kasus diatas, siswa yang disini sebagai seorang yang bersalah tidak bisa disalahkan begitu saja, hal-hal yang menyebabkan siswa tersebut berperilaku demikian juga harus dicermati lebih lanjut.Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia telah banyak mengajarkan kita dalam berbagai hal, termasuk terkait cara berkomunikasi yang baik antara siswa dan guru baik dalam proses pembelajaran maupun di luar proses pembelajaran.



B.     Konsepsi Komunikasi
Al-quran mengajarkan etika dalam berkomunikasi, dan model komunikasi terhadap manusia sesuai dengan situasi dan kondisi lawan bicara.[2] Ada beberapa istilah yang digunakan al-Quran dalam perbincangan tentang komunikasi, antara lain al-qawl . istilah al-qawl berasal dari qaala. Kata tersebut dalam berbagai shighat terulang 1818 kali. Komunikasi dalam kajian ini terfokus pada istilah al-qawl, yang disifati dengan beberapa kata sifat di mana konsep-konsep komunikasi yang dirumuskan berdasarkan istilah ini yang dapat dijadikan standar melakukan komunikasi dalam pendidikan dan pembelajaran.[3]
Pedoman komunikasi semacam ini sangat dibutuhkan agar membentuk karakter peserta didik. Jika sejak awal peserta didik telah di ajarkan dengan kata atau bahasa (qawl) yang baik maka hal itu akan mempengaruhi sifat peserta didik. Sebaliknya jika sejak awal peserta didik diajarkan dengan kata-kata yang kasar dan tidak baik maka hal itu akan terpatri di dalam dirinya. Oleh karena itu, perlu seorang guru melakukan komunikasi yang efektif terhadap anak. Seperti di dalam al Qur’an telah dijelaskan hal ini sebagai berikut;
1.    Qawlun Ma’rufun
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Terjemahnya: “Dan apabila pembagian harta warisan dihadiri oleh karib kerabat dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin, maka berilah mereka daripadanya sekadarnya dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (an-Nisa’ (4) ayat 8).
Al-Qawl secara harfiah bermakna perkataan atau komunikasi sedangkan ma’ruf  berarti baik, maka qawlun ma’ruf berarti perkataan atau komunikasi yang baik. Lantas apa itu perkataan yang baik? Dan bagaimana standart untuk menentukan baik (ma’ruf) atau tidak baik?
Ibnu Manzur mengemukakan, “Al-ma’ruf dalam hadits adalah suatu istilah yang mencangkupi sesuatu yang telah dikenal, yaitu meliputi ketaatan dan kedekatan kepada Allah, berbuat ihsan kepada manusia, serta segala yang disunnahkan oleh syara’”.[4] Maka perkataan ma’ruf adalah perkataan yang biasa dikenali oleh lawan bicara, yang biasa dikenali itu sesuai dengan akal dan syara’. Al-Quran memerintahkan agar melakukan komunikasi ma’ruf, yaitu model komunikasi yang biasa dikenali sehingga mudah dipahami oleh lawan bicara.
Model komunikasi ma’ruf ini perlu diaktualkan dalam melakukan komunikasi, terutama dalam dunia pendidikan khususnya pembelajaran di kelas. Untuk itu, guru perlu memilih kosakata yang sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa peserta didik serta memulai materi dari sesuatu yang sudah mereka kenali.
Dengan demikian, ada ketersambungan apa yang disampaikan guru dengan apa yang sedang peserta didik pikirkan. Pembelajaran akan bermakna bagi para peserta didik, apabila dimulai dari materi yang telah mereka kenal. Itulah sebabnya kenapa guru dalam menyampaikan materi pelajaran, terlebih dahulu dituntut agar melakukan apersepsi dan menghubungkannya dengan materi pelajaran lain serta kehidupan mareka. Dengan demikian, materi ajar akan terasa bermakna bagi siswa.
2.        Qawlan Layyinan
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Terjemahnya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thaha (20) ayat 44).
Syekh Nawawi mengatakan: “Perkataan yang lemah lembut itu memiliki dua kekuatan, diterima dengan hati terbuka atau menyebabkan takut kepada Allah dari meninggalkan kemungkaran menuju kebenaran.”[5] Inilah yang menjadi kelebihan dari perkataan yang baik. Pertama memang akan menjadikan seseorang terbuka hatinya untuk mengikuti hal-hal baik dinasehatinya. Atau ia akan merasa sungkan dan takut jika tidak melaksanakan perbuatan itu. Kedua hal ini memang sangat efektif dalam menumbuhkan karakter yang baik di dalam diri peserta didik.
Perkataaan yang lunak lembut, tidka kasar, merupakan model komunikasi yang diajarkan al-Quran kepada mansuia, walaupun terhadap musuh. Sepantasnya seorang pendidik menggunakan model ini dalam proses pembelajaran, sebab hal itu dapat menarik perhatia siswa terhadap materi yang disampaikan guru.
3.        Qawlan Tsaqila
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
Terjemahnya: “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (al-Muzammil (73) ayat 5).
Dari Abdullah bin Amr berkata: “aku bertanya kepada Rasulullah SAW: “wahai Rasullah apa yang engkau rasakan ketika wahyu datang kepadamu?”, lantas berkata Rasullah SAW, aku mendengar suara dentungan lonceng, kemudian aku diam ketika terjadi hal itu, ketika wahyu itu turun tidaklah aku menyangka kecuali bahwa diriku seolah-olah telah dicabut nyawaku.”[6]
Dalam proses pembelajaran, terkadang memang tidak dapat dielakkan, pendidik atau guru terpaksa menggunakan ungkapan-ungkapan yang berat bagi peserta didik, baik dalam memahaminya ataupun mengamalkan pesan-pesan yang termuat dalam ungkapan tersebut. Hal terkait dengan pokok bahasan, atau topik yang diperbincangkan. Jika ini terjadi dalam suatu pembelajaran, maka guru perlu menggunakan strategi atau teknik komunikasi yang relevan sehingga yang berat bisa menjadi ringan atau mudah bagi peserta didik.

C.    Penutup
Komunikasi yang baik adalah dua arah yang memahamkan kedua belah pihak, kata-kata yang baik yang dibiasakan dapat membentuk kepribadian seseorang. Seyogyanya seorang guru maupun siswa harus membiasakan hal ini agar lingkungan belajar yang kondusif dapat tercipta. Begitu pula dengan kata-kata yang lembut, seseorang yang mampu membiasakan berkata lembut, niscaya saat ia marah ia dapat mengontrol kata-katanya, dan siapa pun yang berbicara dengan seseorang yang seperti ini akan tercipta “meaningfull learning” dalam setiap kesempatan.
Dalam proses pembelajaran terkadang tidak semua guru mampu menyampaikan sesuatu yang sulit dengan bahasa yang mudah, dengan menerapkan Qawlan Tsaqila dalam pembelajaran di kelas, niscaya miss understanding tidak akan terjadi, sehingga dapat meminimalisir salah faham dan dapat menciptakan pembelajaran yang “meaningfull


DAFTAR PUSTAKA
Kadar M Yusuf. 2013. Tafsir Tarbawi. (Jakarta:Amzah Pustaka)
Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandhur al-Ifriqy al-Mishry, 2000, Lisan al-Arab. (Beirut. Dar ash-Shodir,  jilid 9.
Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, 2013, Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Quran al-Majid. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah.
Aby Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqy, 2012, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, jilid 4.

Internet



[2] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi,  (Jakarta: Amzah Pustaka, 2013), hlm. 167
[3] Ibid., hlm. 168
[4] Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandhur al-Ifriqy al-Mishry. Lisan al-Arab, (Beirut. Dar ash-Shodir. 2000.)., jilid 9., hlm, 240.
[5] Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi. Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Quran al-Majid. (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah. 2013)., hlm. 26-27.
[6] Aby Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqy. Tafsir Ibnu Katsir. (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah. 2012)., jilid 4., hlm. 375. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar