KOMUNIKASI DALAM
AL-QUR’AN
Muhammad Hasan Suryawan (15770006)
A. Pendahuluan
Pada era ini seringkali kita menemukan siswa yang
harus keluar masuk ruang Bimbingan Konseling karena berbagai hal, salah satu
diantaranya adalah karena berkata tidak sopan kepada gurunya, seperti yang
terjadi di SMU Negeri 4 Tanjung Pinang Riau, dimana empat orang siswa menghina
gurunya di facebook dan pada akhirnya mereka ada yang dikeluarkan dari sekolah.[1]
begitu pula sebaliknya, ada guru yang dilaporkan ke kantor polisi karena perkataannya
yang tidak senonoh. Ada pepatah mengatakan “mulutmu harimaumu” nampaknya
pepatah ini sangat relevan dengan kasus tersebut.
Jika dicermati lebih lanjut, ada beberapa hal yang
salah dalam proses pembelajaran disini. Guru pada hakikatnya adalah contoh bagi
anak didiknya, baik dari segi perkataan maupun perbuatan. Untuk menanggapi
kasus diatas, siswa yang disini sebagai seorang yang bersalah tidak bisa
disalahkan begitu saja, hal-hal yang menyebabkan siswa tersebut berperilaku
demikian juga harus dicermati lebih lanjut.Al-Qur’an sebagai pedoman hidup
manusia telah banyak mengajarkan kita dalam berbagai hal, termasuk terkait cara
berkomunikasi yang baik antara siswa dan guru baik dalam proses pembelajaran
maupun di luar proses pembelajaran.
B.
Konsepsi Komunikasi
Al-quran mengajarkan
etika dalam berkomunikasi, dan model komunikasi terhadap manusia sesuai dengan
situasi dan kondisi lawan bicara.[2]
Ada beberapa istilah yang digunakan al-Quran dalam perbincangan tentang
komunikasi, antara lain al-qawl . istilah al-qawl berasal dari qaala.
Kata tersebut dalam berbagai shighat terulang 1818 kali. Komunikasi dalam
kajian ini terfokus pada istilah al-qawl, yang disifati dengan beberapa
kata sifat di mana konsep-konsep komunikasi yang dirumuskan berdasarkan istilah
ini yang dapat dijadikan standar melakukan komunikasi dalam pendidikan dan
pembelajaran.[3]
Pedoman komunikasi
semacam ini sangat dibutuhkan agar membentuk karakter peserta didik. Jika sejak
awal peserta didik telah di ajarkan dengan kata atau bahasa (qawl) yang
baik maka hal itu akan mempengaruhi sifat peserta didik. Sebaliknya jika sejak
awal peserta didik diajarkan dengan kata-kata yang kasar dan tidak baik maka
hal itu akan terpatri di dalam dirinya. Oleh karena itu, perlu seorang guru
melakukan komunikasi yang efektif terhadap anak. Seperti di dalam al Qur’an
telah dijelaskan hal ini sebagai berikut;
1.
Qawlun
Ma’rufun
وَإِذَا حَضَرَ
الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُم
مِّنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Terjemahnya: “Dan
apabila pembagian harta warisan dihadiri oleh karib kerabat dan anak-anak yatim
serta orang-orang miskin, maka berilah mereka daripadanya sekadarnya dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (an-Nisa’ (4)
ayat 8).
Al-Qawl
secara harfiah bermakna perkataan atau komunikasi sedangkan ma’ruf berarti baik, maka qawlun ma’ruf
berarti perkataan atau komunikasi yang baik. Lantas apa itu perkataan yang
baik? Dan bagaimana standart untuk menentukan baik (ma’ruf) atau tidak baik?
Ibnu Manzur mengemukakan, “Al-ma’ruf dalam hadits adalah suatu istilah
yang mencangkupi sesuatu yang telah dikenal, yaitu meliputi ketaatan dan
kedekatan kepada Allah, berbuat ihsan kepada manusia, serta segala yang
disunnahkan oleh syara’”.[4] Maka perkataan ma’ruf adalah perkataan yang biasa
dikenali oleh lawan bicara, yang biasa dikenali itu sesuai dengan akal dan
syara’. Al-Quran memerintahkan agar melakukan komunikasi ma’ruf, yaitu model
komunikasi yang biasa dikenali sehingga mudah dipahami oleh lawan bicara.
Model komunikasi ma’ruf ini perlu diaktualkan dalam melakukan komunikasi,
terutama dalam dunia pendidikan khususnya pembelajaran di kelas. Untuk itu,
guru perlu memilih kosakata yang sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa
peserta didik serta memulai materi dari sesuatu yang sudah mereka kenali.
Dengan demikian, ada ketersambungan apa yang disampaikan guru dengan apa
yang sedang peserta didik pikirkan. Pembelajaran akan
bermakna bagi para peserta didik, apabila dimulai dari materi yang telah mereka
kenal. Itulah sebabnya kenapa guru dalam menyampaikan materi pelajaran,
terlebih dahulu dituntut agar melakukan apersepsi dan menghubungkannya dengan
materi pelajaran lain serta kehidupan mareka. Dengan demikian, materi ajar akan
terasa bermakna bagi siswa.
2.
Qawlan
Layyinan
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا
لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Terjemahnya:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut
mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thaha (20) ayat 44).
Syekh Nawawi
mengatakan: “Perkataan yang lemah lembut itu memiliki dua kekuatan, diterima
dengan hati terbuka atau menyebabkan takut kepada Allah dari meninggalkan
kemungkaran menuju kebenaran.”[5]
Inilah yang menjadi kelebihan dari perkataan yang baik. Pertama memang akan
menjadikan seseorang terbuka hatinya untuk mengikuti hal-hal baik
dinasehatinya. Atau ia akan merasa sungkan dan takut jika tidak melaksanakan
perbuatan itu. Kedua hal ini memang sangat efektif dalam menumbuhkan karakter
yang baik di dalam diri peserta didik.
Perkataaan yang lunak
lembut, tidka kasar, merupakan model komunikasi yang diajarkan al-Quran kepada
mansuia, walaupun terhadap musuh. Sepantasnya seorang pendidik menggunakan
model ini dalam proses pembelajaran, sebab hal itu dapat menarik perhatia siswa
terhadap materi yang disampaikan guru.
3.
Qawlan
Tsaqila
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا
ثَقِيلًا
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.”
(al-Muzammil (73) ayat 5).
Dari Abdullah bin Amr
berkata: “aku bertanya kepada Rasulullah SAW: “wahai Rasullah apa yang engkau
rasakan ketika wahyu datang kepadamu?”, lantas berkata Rasullah SAW, aku
mendengar suara dentungan lonceng, kemudian aku diam ketika terjadi hal itu,
ketika wahyu itu turun tidaklah aku menyangka kecuali bahwa diriku seolah-olah
telah dicabut nyawaku.”[6]
Dalam proses pembelajaran, terkadang memang tidak dapat dielakkan, pendidik
atau guru terpaksa menggunakan ungkapan-ungkapan yang berat bagi peserta didik,
baik dalam memahaminya ataupun mengamalkan pesan-pesan yang termuat dalam
ungkapan tersebut. Hal terkait dengan pokok bahasan, atau
topik yang diperbincangkan. Jika ini terjadi dalam suatu pembelajaran, maka
guru perlu menggunakan strategi atau teknik komunikasi yang relevan sehingga
yang berat bisa menjadi ringan atau mudah bagi peserta didik.
C. Penutup
Komunikasi yang baik
adalah dua arah yang memahamkan kedua belah pihak, kata-kata yang baik yang
dibiasakan dapat membentuk kepribadian seseorang. Seyogyanya seorang guru
maupun siswa harus membiasakan hal ini agar lingkungan belajar yang kondusif
dapat tercipta. Begitu pula dengan kata-kata yang lembut, seseorang yang mampu
membiasakan berkata lembut, niscaya saat ia marah ia dapat mengontrol
kata-katanya, dan siapa pun yang berbicara dengan seseorang yang seperti ini
akan tercipta “meaningfull learning” dalam setiap kesempatan.
Dalam proses
pembelajaran terkadang tidak semua guru mampu menyampaikan sesuatu yang sulit
dengan bahasa yang mudah, dengan menerapkan Qawlan Tsaqila dalam pembelajaran
di kelas, niscaya miss understanding tidak akan terjadi, sehingga dapat
meminimalisir salah faham dan dapat menciptakan pembelajaran yang “meaningfull”
DAFTAR
PUSTAKA
Kadar M Yusuf.
2013. Tafsir Tarbawi. (Jakarta:Amzah Pustaka)
Muhammad
bin Mukrim Ibnu Mandhur al-Ifriqy al-Mishry, 2000, Lisan al-Arab.
(Beirut. Dar ash-Shodir, jilid 9.
Muhammad
bin Umar Nawawi al-Jawi,
2013, Marah Labid li Kasyfi Ma’na
al-Quran al-Majid. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah.
Aby
Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqy, 2012, Tafsir Ibnu
Katsir,
Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah,
jilid
4.
Internet
http://www.kompasiana.com/abdidharma/kasus-facebook-murid-keterlaluan-vs-guru-yang-tidak-pemaaf/
diakses tanggal 11 Desember 2015, pukul 12:52 WIB
[1] http://www.kompasiana.com/abdidharma/kasus-facebook-murid-keterlaluan-vs-guru-yang-tidak-pemaaf/
(diakses tanggal 11 Desember 2015, pukul 12:52 WIB)
[2] Kadar
M Yusuf, Tafsir Tarbawi, (Jakarta: Amzah Pustaka, 2013), hlm. 167
[3] Ibid.,
hlm. 168
[4]
Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandhur al-Ifriqy al-Mishry. Lisan al-Arab,
(Beirut. Dar ash-Shodir. 2000.)., jilid 9., hlm, 240.
[5]
Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi. Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Quran
al-Majid. (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah. 2013)., hlm. 26-27.
[6] Aby
Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqy. Tafsir Ibnu Katsir. (Beirut: Dar
Kutub al-Ilmiyyah. 2012)., jilid 4., hlm. 375.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar