Tasyakuran atau Walimah
menurut Al Qur’an Surat Al Ahzab Ayat 53-54
Nur
Hidayah (15770018)
A. Pendahuluan
Menurut Quraish Shihab seorang mahasiswa yang
membaca kitab tafsir semacam Tafsir An Nur karya Prof Hasby As
Shiddiqie, atau Al Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan
kesimpulan tentang apa yang di bacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat.
Dengan demikian, syarat yang dimaksud diatas tidak harus dipenuhinya. Tetapi,
apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,
maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia
akan terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan. Adapun
faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain
adalah:
1. Subjektifitas
mufasir;
2. Kekeliruan
dalam menerapkan metode atau kaidah;
3. Kedangkalan
dalam ilmu-ilmu alat;
4. Kedangkalan
pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
5. Tidak
memperhatikan konteks, baik asbabun al nuzul, hubungan antaraayat, amaupun
kondisi sosial masyarakat;
6. Tidak
memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Karena semakin meluasnya ilmu pengetahuan dibutuhkan
kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama
menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Hal tersebut mengakibatkan adanya
batasan-batasan dalam penafsiran Al Qur’an, masih ditemukan pula beberapa
pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu
perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa.
Bidang
Perubahan sosial, sudah banyak ditemukan banyak ayat Al Qur’an yang berbicara
tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah
masyarakat yang terus berkembang kearah yang positif (Q.S. 48: 29), juga bahwa
setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (Q.S. 10-49; 15:5 dan lain-lain),
dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pula yang tetap
(hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (Q.S. 35:43; 48:23, dan lain-lain).
Perubahan-perubahan
atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh
potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua
kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al Qur’an. walaupun telah disepakati bahwa
pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah
(yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus
diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah
tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu’amalah), perintah agama
terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya dan maksudnya.
Dalam
pembahasan kali ini penulis menggunakan metode mawdhu’iy yaitu membahas
bagian-bagian tertentu dalam suatu surat atau yang lebih dikenal dengan metode
tafsir tematik. Adapun yang
melatarbelakangi penulisan tafsir ini yaitu
karena walimah merupakan salah satumomen yang sangat membahagiakan dalam
kehidupan seseorang, walimah sendiri diadakan setelah ijab kabul terjadi. Maka dari itu, walimah
dianjurkan untuk diadakan sebuah pesta perayaan pernikahan dan membagi
kebahagiaan itu. Pesta perayaan pernikahan tersebutmerupakan bentuk rasa syukur
kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah Dia berikan kepada kita.
Disamping itu walimah juga memiliki fungsi lainnya yaitu mengumumkan kepada
khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri.
Budaya walimah ini sudah sangat kental sekali dengan kehidupan di
Indonesia dari sabang sampai merauke semuanya melakukan tradisi walimah ini
walaupun namanya berbeda-beda. Budaya walimah ini bukan hanya ada di Indonesia
saja akan tetapi ke seluruh penjuru dunia ini. Di Indonesia budaya Walimah ini
tidak lepas dari budaya Amplop, di jawa biasa dikenal dengan salam tempel, ngamplop
atau sejenisnya. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia telah banyak
mengajarkan kita dalam berbagai hal, termasuk terkait bagaimana walimah yang
baik.
Penulis
disini menggunakan beberapa tafsir sebagai rujukan, yang mana tafsir tersebut
yang sudah diakui kebenarannya oleh banyak orang seperti Tafsir Ibnu Katsir
dan Tafsir Yusuf Ali.
Kembali
lagi ke pernyataan dari Prof. M. Quraish Shihab yang diungkapkan diatas penulis
sebagai mahasiswa yang masih banyak kekurangannya, Semoga dengan menafsirkan
ayat dibawah ini penulis di jauhkan dari kesalahan ataupun kekeliruan.
Menurut
Ibnu Abbas, salah seorang Sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud
firman-firman Allah, meyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama,
yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan
bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak
mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat,
yang tidak diketahui kecuali Allah.[1]
B. Pembahasan
Sudah menjadi tradisi di seluruh penjuru Nusantara,
ketika menyelenggarakan acara sunatan, maka mengadakan (walimatul khitan)
tasyakuran khitanan, acara kemantin dimeriahkan dengan walimatul ‘arus,
ketika selesai mendirikan sebuah bangunan juga menggadakan tasyakuran atau
walimah, serta ulang tahun juga diadakan tasyakuran baik dilakukan dengan
sederhana ataupun istimewa. Adapun ayat yang berkaitan dengan walimah yaitu:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ إِلَّآ أَن يُؤۡذَنَ لَكُمۡ
إِلَىٰ طَعَامٍ غَيۡرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِنۡ إِذَا دُعِيتُمۡ
فَٱدۡخُلُواْ فَإِذَا طَعِمۡتُمۡ فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُسۡتَٔۡنِسِينَ لِحَدِيثٍۚ
إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ يُؤۡذِي ٱلنَّبِيَّ فَيَسۡتَحۡيِۦ مِنكُمۡۖ وَٱللَّهُ لَا
يَسۡتَحۡيِۦ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسَۡٔلُوهُنَّ
مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ وَمَا
كَانَ لَكُمۡ أَن تُؤۡذُواْ رَسُولَٱللَّهِ وَلَآ أَن تَنكِحُوٓاْ أَزۡوَٰجَهُۥ
مِنۢ بَعۡدِهِۦٓ أَبَدًاۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمًا ٥٣ إِن
تُبۡدُواْ شَيًۡٔا أَوۡ تُخۡفُوهُ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا
٥٤
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan
tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka
masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang
percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu
kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang
benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci
bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah
dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah
Jika kamu melahirkan
sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala sesuatu”.
Dalam
Tafsir Ibnu KatsirPenurunan ayat ini bertepatan dengan perkataan sahabat
Umar Bin Khattab r.a., sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab
sahihain yang bersumber darinya. Disebutkan bahwa Umar pernah berkata, "Aku
bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu aku pernah berkata,
"Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai
tempat salat," lalu Allah menurunkan firman-Nya: “Dan jadikanlah
sebagian maqam Ibrahim tempat salat.[2]
“(Q.S. Al-Baqarah: 125)
وَأَمۡنٗا
وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِۧمَ مُصَلّٗىۖ
Peristiwa
ini terjadi pada bulan Zul Qa'dah tahun lima hijriah, menurut pendapat Qatadah,
Al-Waqidi, dan selain keduanya. Tetapi Abu Ubaidah alias Ma'mar ibnul Musanna
dan Khalifah ibnu Khayyat mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun
tiga hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam
Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah
Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Abu Mijlaz, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan,
"Ketika Rasulullah Saw. menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang
sejumlah orang, lalu menjamu mereka, kemudian mereka bercakap-cakap di majelis
itu. Kemudian kelihatan beliau Saw. hendak bangkit, dan kaum masih duduk-duduk
saja. Melihat keadaan itu beliau terus bangkit. Ketika beliau bangkit, sebagian
orang bangkit pula, tetapi masih ada tiga orang yang tetap duduk. Nabi Saw.
datang lagi dan hendak masuk (ke kamar pengantin), tetapi ternyata masih ada
sejumlah orang yang masih duduk dan belum pergi. Tidak lama kemudian mereka
bangkit dan pergi. Lalu Aku (Anas ibnu Malik) menghadap dan menceritakan kepada
Nabi Saw. bahwa kaum telah pergi. Lalu Nabi Saw. bangkit hendak masuk, dan aku
pergi mengikutinya. Tetapi tiba-tiba beliau menurunkan hijab antara beliau dan
aku, lalu turunlah firman Allah Swt.: 'Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk
makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu
diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu' (
Q.S. Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat."
Imam
Bukhari telah meriwayatkannya pula di tempat yang lain, juga Imam Muslim dan Imam
Nasai melalui berbagai jalur dari Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan sanad
yang sama.Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya secara tunggal dengan sanad
yang sama melalui hadis Abu Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas r.a., lalu
disebutkan hal yang semisal.
حَدَّثَنَا
أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍقَالَ:
بُني عَلَىالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ بِخُبْزٍ وَلَحْمٍ، فأرسلْتُ عَلَى الطَّعَامِ
دَاعِيًا، فَيَجِيءُ قَوْمٌ فَيَأْكُلُونَ وَيَخْرُجُونَ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ
فَيَأْكُلُونَ وَيَخْرُجُونَ. فدعوتُ حَتَّى
مَا أَجِدُ أَحَدًا أَدْعُوهُ، فَقُلْتُ:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، مَا أَجِدُ أَحَدًا أَدْعُوهُ. قَالَ:
"ارْفَعُوا طَعَامَكُمْ"، وَبَقِيَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ يَتَحَدَّثُونَ
فِي الْبَيْتِ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَانْطَلَقَ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ، فَقَالَ:
"السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ". قَالَتْ: وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ، كَيْفَ وَجَدْتَ أَهْلَكَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ؟ فَتَقَرّى حُجَرَ
نِسَائِهِ كُلّهن، يَقُولُ لَهُنَّ كَمَا يَقُولُ لِعَائِشَةَ، وَيَقُلْنَ لَهُ
كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ. ثُمَّ رَجَعَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا رَهْطٌ ثَلَاثَةٌ [فِي الْبَيْتِ]
يَتَحَدَّثُونَ.
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
شَدِيدَ الْحَيَاءِ، فَخَرَجَ مُنْطَلِقًا نَحْوَ حُجْرة عَائِشَةَ، فَمَا أَدْرِي
أخبرتُه أَمْ أُخْبِرَ أَنَّ الْقَوْمَ خَرَجُوا؟ فَرَجَعَ حَتَّى إِذَا وَضَعَ رِجْلَهُ
فِي أُسْكُفة الْبَابِ دَاخِلَهُ، وَأُخْرَى خَارِجَهُ، أرْخَى السِّتْرَ بيني
وبينه، وأنزلت آية الحجاب.
Kemudian
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah
menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz
ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan, bahwa Nabi Saw. ketika kawin
dengan Zainab binti Jahsy mengadakan jamuan walimah dari makanan roti dan
daging. Lalu aku disuruh untuk mengundang kaum kepada jamuan walimah itu. Maka
datanglah suatu kaum, lalu mereka makan, setelah itu pergi. Kemudian datang
pula kaum yang lain, mereka langsung makan, dan sesudahnya mereka keluar. Aku
terus mengundang orang-orang hingga tidak kutemukan lagi seseorang yang
kuundang, lalu aku berkata kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah,
semua orang telah kuundang dan tiada lagi yang tertinggal." Maka beliau
Saw. bersabda: Bereskanlah jamuan kalian. Tetapi masih ada tiga orang yang
masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah. Maka Nabi Saw. keluar dan menuju
ke kamar Siti Aisyah r.a., lalu mengucapkan salam: Semoga keselamatan, rahmat
Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepada kalian, hai Ahlul Bait. Siti Aisyah
menjawab, "Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu.
Bagaimanakah engkau jumpai istri barumu, ya Rasulullah? Semoga Allah
memberkatimu." Lalu beliau Saw. mendatangi tiap-tiap kamar istrinya,
semuanya menjawab jawaban yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah, dan
mengucapkan kata selamat seperti yang diucapkan oleh Aisyah. Setelah itu Nabi
Saw. kembali, dan ternyata masih ada tiga orang di dalam rumahnya sedang asyik
bercakap-cakap. Nabi Saw. adalah seorang yang pemalu, maka beliau berangkat
menuju kamar Siti Aisyah. Aku (Anas) tidak ingat lagi apakah aku memberitahukan
kepadanya ataukah beliau telah diberi tahu bahwa semua tamu telah pergi,
jelasnya beliau kembali; dan pada saat beliau melangkahkan kakinya di balik
pintu bagian dalamnya, sedangkan kaki yang lainnya masih di luar pintu,
tiba-tiba beliau menurunkan kain penutup yang menghalang-halangi antara aku dan
beliau.
Kemudian
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ishaq ibnu Mansur, dari Abdullah ibnu Bukair
As-Sahmi, dari Humaid, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam
Bukhari mengatakan bahwa ada dua orang perawi yang meriwayatkannya melalui
jalur ini secara tunggal. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan salah
satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara tunggal melalui hadis
Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabit, dari Anas.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو الْمُظَفَّرِ، حَدَّثَنَا جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ،
عَنِ الْجَعْدِ -أَبِي عُثْمَانَ
اليَشْكُرِي -عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ قَالَ: أَعْرَسَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ نِسَائِهِ، فَصَنَعَتْ أُمُّ
سُلَيْمٍ حَيْسًا ثُمَّ وَضَعَتْهُ فِي تَوْر، فَقَالَتْ:
اذْهَبْ بِهَذَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَقْرِئْهُ مِنِّي السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُ أَنَّ هَذَا
مِنَّا لَهُ قَلِيلٌ -قَالَ أَنَسٌ: وَالنَّاسُ يَوْمَئِذٍ فِي جَهد -فَجِئْتُ بِهِ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَعَثَتْ
بِهَذَا أُمُّ سُلَيم إِلَيْكَ، وَهِيَ تُقْرِئُكَ السَّلَامَ، وَتَقُولُ: أَخْبِرْهُ أَنَّ هَذَا مِنَّا لَهُ
قَلِيلٌ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ:
"ضَعْهُ"فوَضَعته
فِي نَاحِيَةِ الْبَيْتِ، ثُمَّ قَالَ: "اذْهَبْ
فَادْعُ لِي فُلَانًا وَفُلَانًا". وَسَمَّى
رِجَالًا كَثِيرًا، وَقَالَ: "ومَنْ
لقيتَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ". فدعوتُ
مَنْ قَالَ لِي، ومَنْ لَقِيتُ مِنَالْمُسْلِمِينَ، فَجِئْتُ وَالْبَيْتُ
والصُّفَّة وَالْحُجْرَةُ مَلأى مِنَ النَّاسِ -فَقُلْتُ: يَا أَبَا عُثْمَانَ، كَمْ كَانُوا؟
فَقَالَ: كَانُوا زُهَاءَ
ثَلَاثِمِائَةٍ -قَالَ أَنَسٌ: فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "جِئْ
بِهِ". فجئتُ
بِهِ إِلَيْهِ، فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ، وَدَعَا وَقَالَ:
"مَا شَاءَ اللَّهُ".
ثُمَّ قَالَ:
"ليتَحَلَّق عَشَرة عَشَرة، وَلْيُسَمُّوا
، وَلْيَأْكُلْ كُلُّ إِنْسَانٍ مِمَّا يَلِيهِ".
فَجَعَلُوا يُسَمُّونَ وَيَأْكُلُونَ، حَتَّى أَكَلُوا
كُلُّهُمْ. فَقَالَ لِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"ارْفَعْهُ".
قَالَ: فجئتُ فَأَخَذْتُ
التَّورَ فَمَا أَدْرِي أَهْوَ حِينَ وَضَعْتُ أَكْثَرُ أَمْ حِينَ أَخَذْتُ؟
قَالَ: وَتَخَلَّفَ
رِجَالٌ يَتَحَدَّثُونَ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ، وزَوجُ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي دَخَلَ بِهَا مَعَهُمْ مُولّية
وَجْهِهَا إِلَى الْحَائِطِ، فَأَطَالُوا الْحَدِيثَ، فَشَقُّوا على رسول الله صلى
الله عليه وسلم، وَكَانَ أَشَدَّ النَّاسِ حَيَاءً -وَلَوْ
أُعْلِمُوا كَانَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ عَزِيزًا -فَقَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ فَسَلَّمَ عَلَى
حُجَره وَعَلَى نِسَائِهِ، فَلَمَّا رَأَوْهُ قَدْ جَاءَ ظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ
ثَقَّلوا عَلَيْهِ، ابْتَدَرُوا الْبَابَ فَخَرَجُوا، وَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَرْخَى السِّتْرَ، وَدَخَلَ الْبَيْتَ
وَأَنَا فِي الْحُجْرَةِ، فَمَكَثَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ يَسِيرًا، وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ،
فَخَرَجَ وَهُوَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا
بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ
إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا} إِلَى قَوْلِهِ:
{بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
. قَالَ أَنَسٌ:
فَقَرَأَهُنَّ عَليّ قَبْلَ النَّاسِ، فَأَنَا أحْدثُ
الناس بهن عهدا.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Abul Muzaffar, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman,
dari Al-Ja'id Abu Usman Al-Yasykuri, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. melakukan malam pertamanya dengan salah seorang istri
barunya. Maka Ummu Sulaim membuat hais (makanan), kemudian meletakkannya di
sebuah baki, lalu berkata, "Bawalah makanan ini kepada Rasulullah Saw.
dan sampaikanlah salamku kepadanya, serta katakanlah kepadanya bahwa kiriman
ini dari kami untuk beliau dengan apa adanya." Anas mengatakan bahwa saat
itu orang-orang sedang dalam keadaan paceklik, lalu aku sampaikan kiriman
tersebut dan kukatakan kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim
mengirimkan hidangan ini kepadamu, dan dia menyampaikan salamnya untukmu seraya
mengatakan bahwa makanan yang apa adanya ini darinya buat engkau."
Rasulullah Saw. melihat kiriman itu, lalu bersabda, "Letakkanlah."
Maka makanan itu kuletakkan di salah satu sudut rumah Nabi Saw. Kemudian beliau
Saw. bersabda, "Undanglah si Fulan dan si Anu," beliau
menyebutkan nama beberapa orang lelaki yang jumlahnya cukup banyak, lalu beliau
menambahkan, "Dan undang pulalah orang muslim yang kamu jumpai."
Maka aku sampaikan undangan beliau kepada orang-orang yang telah beliau
sebutkan namanya, juga setiap orang muslim yang kujumpai. Ketika aku datang,
rumah, halaman dan ruangan tamu penuh dengan orang-orang. Maka aku bertanya,
"Hai Abu Usman, berapa orangkah mereka semuanya?" Abu Usman
menjawab, "Kurang lebih ada tiga ratus orang." Sahabat Anas
melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Kemarikanlah
makanan itu!" Maka aku datangkan makanan itu kepadanya, dan beliau
meletakkan tangannya di atas makanan tersebut, lalu berdoa dan bersabda, "Ini
adalah kehendak Allah." Kemudian bersabda: Hendaklah tiap sepuluh
orang membuat suatu lingkaran dan hendaklah mereka membaca bismillah, dan
hendaklah setiap orang memakan makanan yang ada didekatnya. Lalu mereka membaca
basmalah dan makan hingga semuanya merasa kenyang. Setelah itu Rasulullah
Saw. bersabda kepadaku, "Angkatlah hidangan itu!" Anas r.a.
melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengambil baki yang berisikan makanan itu,
dan ia melihat isinya, tetapi ia tidak ingat lagi apakah saat ia meletakkan
hidangan itu lebih banyak ataukah saat mengambilnya lebih banyak (maksudnya
makanan tersebut kelihatannya masih utuh seperti semula). Anas r.a. melanjutkan
kisahnya, bahwa ada beberapa orang lelaki yang masih asyik dalam percakapannya
di dalam rumah Rasulullah Saw., sedangkan istri Rasulullah Saw. yang baru
dinikahi itu ada bersama mereka, memalingkan wajahnya ke arah tembok. Ternyata
mereka memperpanjang percakapannya. Hal itu membuat Rasulullah Saw. keberatan,
tetapi beliau tidak mau menegur mereka karena beliau adalah orang yang sangat
pemalu. Seandainya diberi tahu, pastilah mereka merasa tidak enak karena sedang
asyik dalam obrolannya. Maka Rasulullah Saw. pergi dan menemui tiap-tiap
istrinya di kamarnya masing-masing, kepada tiap orang dari mereka beliau
mengucapkan salam. Ketika para hadirin yang masih ada melihat Rasulullah Saw.
tiba, mereka baru sadar bahwa diri mereka merepotkan Rasulullah Saw. Karena
itu, mereka segera bangkit menuju pintu, lalu keluar. Rasulullah Saw. datang,
lalu menutupkan kain pintu dan masuk ke dalam kamar, sedangkan aku (Anas)
berada di ruang tamunya. Rasulullah Saw. tinggal di dalam kamarnya sesaat yang
tidak lama, dan Allah menurunkan wahyu Al-Qur'an kepadanya. Setelah itu beliau
keluar dari kamar dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al-Ahzab: 53), hingga
akhir ayat. Sahabat Anas mengatakan bahwa Nabi Saw. terlebih dahulu membacakan
ayat-ayat tersebut kepadaku sebelum orang lain, lalu aku menceritakannya kepada
orang-orang selama suatu masa.
Firman
Allah; (لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ)
“Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi”,n Allah melarang atas
orang-orang mukmin untuk memasuki rumah-rumah Rasulullah tanpa seizing beliau,
sebgaimana yang mereka lakukan pada zaman Jahiliyah dan awal kemunculan
Islam. Saat itu mereka memasuki rumah orang lain tanpa seijin pemilik rumah.
Allah ingin memeprbaiki etika dan adab umat Islam ini. Maka Dia memerintahkan
kepada kaum Mukminin untuk meminta izin dari yang punya rumah sebelum memasuki
rumahnya. Ini semata merupakan bentuk pemuliaan Allah atas umat ini[3].
Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda:
إِيَّا
كُمْ وَالدُّ خُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ
“Jangan sekali-kali/ jauhkan kalian
dari memasuki wanita (yang bukan muhrim)”
Kemudian
Allah SWT mengecualikan diri hukum tersebut. Allah SWT berfirman; yang artinya “kecuali bila kamu
diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)
”. Mujtahid dan Qatadah berkata, “yang dimaksud dengan firman Allah (غَيْرَ نَا
ظَرِيْنَأِنَاهُ) adalah “tanpa menanti matangnya makanan”. Dengan
demikian, maksud ayat ini adalah janganlah kalian selalu menyelidiki makanan
ketika masih dimasak.bilamana makanan itu sudah hampir matang, barulah kalian
bersiap-siap masuk. Karena menyelidiki matang dan belumnya makanan tergolong
sesuatu yang dimakruhkan dan discela oleh Allah. Ini yang menjadi haramnya Tathfiil
(mrnghadiri undangan tanpa diundang sebelumnya). Dikalangan bangsa Arab, hal
ini dikenal sebutan Adh Dhaifan. Imam al Khatib al Baghdadi telah menulis
sebuah kitab khusus tentang celaan terhadap orang-orang seperti ini, dimana
dalam kitab tersebut beliau mneyebutkan tentang kisah mereka yang jika
disebutkan disini akan memperpanjang bahasan.
Selanjutnya
Allah SWT berfirman:
(وَلَكِنْ إ ذَا دُعِيْتٌمْ فَادْ خُلُوا فَإذَا طَعِمْتُمْ
فَانْتَشِيرُوا) “tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu
selesai makan keluarlah kamu.” Termaktub di dalam kitab Shahih Muslim
sebuah hadits yang bersumber dari Ibnu Umar r.a., Ia berkata Rasulullah SAW
besabda “Apabila salah seorang diantara kalian mengundang saudaranya, baik
untuk acara pernikahan ataupun acara lainny maka hendaknya ia memenuhi
undangannya.”
Oleh
sebab itu, Allah berfirman yang artinya “tanpa asyik memperpanjang percakapan,”
sebagaimana yang dilakukan oleh tiga orang telah dijelaskan dalam Hadits diatas, mereka lupa diri hingga memberatkan
dan membuat resah Rasulullah .Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya
yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar).”
Menurut
Abdullah Yusuf Ali dalam Tafsir Yusuf Ali, Tata tertib etika sosial yang
bersih dewasa ini perlu diajarkan, seperti yang dilakukan oleh Nabi terhadap
oang-orang Arab yang kasar itu pada masanya. Semua yang disebutkan itu
barangkali dapat diringkaskan sebaga berikut: 1. Jangan memasuki bukan rumah
teman tanpa izin; 2. Jika diundang makan, jangan datang terlalu dini; kita
diundang makan, bukan diminta menunggu selama mempersiapkan makanan; 3.
Hendaknya datang tepat waktu yang sudah ditentukan, sehingga waktu masuk memang
sudah ditunggu dan dipersilahkan; 4. Selesai makan, jangan terlalu mengakrabkan
diri dengan tuan rumah, apalagi jarak antara kita dengan dia terlalu jauh;5.
Jangan membuang-buang waktu dengan cakap kosong, mengganggu tuan rumah, dan
mungkin malah menyiksanya; 6. Kita harus mengerti, apa yang wajar dan pantas
harus kita lakukan; mungkin dia terlalu sopan untuk meminta kita pergi, semua
ini mengandung arti rohani dan sosial; menghormati dan menghargai orang lain
termasuk tata nilai sangat tinggi.[4]
Tasyakuran
merupakan salah satu jenis walimah yang dianjurkan oleh ajaran Islam
sebagaimana Hadits Nabi:
أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه الشيخان)
"Adakanlah
walimah (dalam pernikahan) sekalipun dengan seekor kambing”.(Shahih
al Bukhari, Shahih Muslim, Musnad al Thayalisi dan banyak terdapat pada
kitab-kitab hadits yang lain).
C. Analisis Ayat
Dari
pembahasan kedua tafsir tersebut diatas maka dapat diambil analisis bahwasanya
hukum mengadakan walimah yaitu:berdasarkan kesepepakatan ulamatentang
pentingnya pesta perayaan nikah, meskipun mereka berbeda pendapat tentang
hukumnya: beberapa ulama berpendapat hukum untuk mengadakan walimah pernikahan
adalah wajib sementara itu umumnya para ulama berpendapat hukumnya adalah Sunah
yang sangat dianjurkan. Bahwa hukum sedekah walimah atas pengantin adalah
sunnah, dan hukum menepati undangan walimah itu wajib ain, kecuali ada
udzur, dan tidak wajib datang untuk makan dari makanan walimah.
Tidak
wajib mendatangi walimah sebab diketahui terdapat udzur, malah kadang terjadi
haram, karena di tempat tersebut terdapat salah satu munkar. Sedangkan hukum
menghadiri walimahDari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda,
إذا دعي أحدكم إلى الوليمة فليأتها .(متفق عليه)
“Jika
salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka hendaklah ia
menghadirinya.”
Imam
al-Baghawi menyebutkan, para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban
menghadiri undangan walimahtul ursy (resepsi pernikahan). Sebagian mereka
berpendapat bahwa menghadirinya merupakan suatu hal yang sunnah. Sedangkan
ulama lainnya mewajibkannya sampai pada batas jika seseorang tidak
menghadirinya tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia telah berdosa. Hal itu
berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
شر
الطعام طعام الوليمة يمنعها من يأتيها ويدعى إليها من يأباها ومن لم يجب الدعوة
فقدعصى الله ورسوله.
“Seburuk-buruk makanan adalah
makanan walimah, di mana orang yang mau mendatanginya dilarang mengambilnya,
sedang orang yang diundang menolaknya. Dan barang siapa yang tidak memenuhi
undangan, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya
Apabila
hukum menyelenggarakan walimah adalah sunnah muakkad, maka hukum menghadiri
walimah adalah wajib. Hadis Nabi riwayat
Bukhari dan Muslim dari Ibn `Umar mengajarkan : “Apabila seorang kamu diundang
menghadiri walimah hendaklah ia mengabulkan, baik walimah perkawinan maupun
lainnya.”
Imam
Bukhari meriwayatkan hadits Nabi dari Abu Hurairah yang mengajarkan: “ orang
yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti berbuat durhaka kepada
Allah dan Rasulnya.
Iman
Bukhari meriwayatkan hadits Nabi dari Abu Hurairah yang mengajarkan: Apabila
salah seorang diantara kamu diundang menghadiri walimah, hendaklah mengabulkan:
apabila sedang berpuasa hendaklah mendoakan dan apabila sedang tidak berpuasa
makanlah hidangan yang disajikan.” Hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu
Hurairah mengajarkan : Apabila aku diundang menghadiri jamuan makan yang
meskipun hanya menyajikan makanan berupa kaki binatang ternak bagian depan,
niscaya aku terima.
D. Penutup
Dari penjelasan diatas maka dapat di simpulkan
bahwasanyaTasyakuran atau walimah yang baik adalah pertama, Jangan
memasuki bukan rumah teman tanpa izin; kedua, Jika diundang makan, jangan datang terlalu
dini; kita diundang makan, bukan diminta menunggu selama mempersiapkan makanan;
ketiga, Hendaknya datang tepat waktu yang sudah ditentukan, sehingga
waktu masuk memang sudah ditunggu dan dipersilahkan; keempat, Selesai
makan, jangan terlalu mengakrabkan diri dengan tuan rumah, apalagi jarak antara
kita dengan dia terlalu jauh; kelima,
Jangan membuang-buang waktu dengan cakap kosong, mengganggu tuan rumah,
dan mungkin malah menyiksanya; keenam,
Kita harus mengerti, apa yang wajar dan pantas harus kita lakukan;
mungkin dia terlalu sopan untuk meminta kita pergi, semua ini mengandung arti
rohani dan sosial; menghormati dan menghargai orang lain termasuk tata nilai
sangat tinggi.
Adapun hukum terhadap walimah yaitu mengadakan
walimah pernikahan adalah wajib, sedekah walimah atas pengantin adalah sunnah,
dan hukum menepati undangan walimah itu wajib ain, kecuali ada udzur, dan tidak
wajib datang untuk makan dari makanan walimah. Jika diundang menghadiri walimah
kita sedang berpuasa hendaklah mendoakannya dan apabila sedang tidak berpuasa
makanlah hidangan yang disajikan.
Daftar Rujukan
Shihab, Quraish
. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.
Cet. VII. Bandung: Mizan. 1994.
Ali, Abdullah
Yusuf . The Holy Qur’an, Text, Translation dan Commentary. Terj. Ali
Audah. Cet. III. Brentwood: Amana Corp.
2009.
Santri Pondok
Pesantren Ngalah. Ensiklopedi Fiqih
Jawabul Masail Bermadzab Empat, Menjawab Masalah Lokal, Nasional dan
Internasional. Pasuruan: Pondok Pesantren Ngalah. 2011.
Furi,Syaikh
Shafiyyur al Mubarak.Tafsir Ibnu Katsir.
Terj. Abu Ihsan al Atsari. Cet. IV, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. 2006.
[1]
Quraish Shihab, Membumikan
Al Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (cet. VII,
Bandung: Mizan, 1994), hlm 77
[2]Syaikh
Shafiyyur al Mubarak Furi, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Abu Ihsan al Atsari (Cet. IV, Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2006), hlm. 344
[4]
Abdullah Yusuf Ali, The
Holy Qur’an, Text, Translation dan Commentary, terj. Ali Audah, (Cet. III,
Brentwood: Amana Corp, 2009), hlm. 1087-1088
Tidak ada komentar:
Posting Komentar