Rabu, 09 Maret 2016

Tasyakuran atau Walimah menurut Al Qur’an Surat Al Ahzab Ayat 53-54

Tasyakuran atau Walimah menurut Al Qur’an Surat Al Ahzab Ayat 53-54
Nur Hidayah (15770018)

A.  Pendahuluan
Menurut Quraish Shihab seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam Tafsir An Nur karya Prof Hasby As Shiddiqie, atau Al Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang di bacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud diatas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir, maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan. Adapun faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:
1.    Subjektifitas mufasir;
2.    Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;
3.    Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
4.    Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
5.    Tidak memperhatikan konteks, baik asbabun al nuzul, hubungan antaraayat, amaupun kondisi sosial masyarakat;
6.    Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Karena semakin meluasnya ilmu pengetahuan dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Hal tersebut mengakibatkan adanya batasan-batasan dalam penafsiran Al Qur’an, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa.

Bidang Perubahan sosial, sudah banyak ditemukan banyak ayat Al Qur’an yang berbicara tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang kearah yang positif (Q.S. 48: 29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (Q.S. 10-49; 15:5 dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pula yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (Q.S. 35:43; 48:23, dan lain-lain).
Perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat  Al Qur’an. walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah  (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu’amalah), perintah agama terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya dan maksudnya.
Dalam pembahasan kali ini penulis menggunakan metode mawdhu’iy yaitu membahas bagian-bagian tertentu dalam suatu surat atau yang lebih dikenal dengan metode tafsir tematik.  Adapun yang melatarbelakangi penulisan tafsir ini yaitu  karena walimah merupakan salah satumomen yang sangat membahagiakan dalam kehidupan seseorang, walimah sendiri diadakan setelah  ijab kabul terjadi. Maka dari itu, walimah dianjurkan untuk diadakan sebuah pesta perayaan pernikahan dan membagi kebahagiaan itu. Pesta perayaan pernikahan tersebutmerupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah Dia berikan kepada kita. Disamping itu walimah juga memiliki fungsi lainnya yaitu mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri.  Budaya walimah ini sudah sangat kental sekali dengan kehidupan di Indonesia dari sabang sampai merauke semuanya melakukan tradisi walimah ini walaupun namanya berbeda-beda. Budaya walimah ini bukan hanya ada di Indonesia saja akan tetapi ke seluruh penjuru dunia ini. Di Indonesia budaya Walimah ini tidak lepas dari budaya Amplop, di jawa biasa dikenal dengan salam tempel, ngamplop atau sejenisnya. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia telah banyak mengajarkan kita dalam berbagai hal, termasuk terkait bagaimana walimah yang baik.
Penulis disini menggunakan beberapa tafsir sebagai rujukan, yang mana tafsir tersebut yang sudah diakui kebenarannya oleh banyak orang seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Yusuf Ali.
Kembali lagi ke pernyataan dari Prof. M. Quraish Shihab yang diungkapkan diatas penulis sebagai mahasiswa yang masih banyak kekurangannya, Semoga dengan menafsirkan ayat dibawah ini penulis di jauhkan dari kesalahan ataupun kekeliruan. 
Menurut Ibnu Abbas, salah seorang Sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, meyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali Allah.[1]

B.  Pembahasan
Sudah menjadi tradisi di seluruh penjuru Nusantara, ketika menyelenggarakan acara sunatan, maka mengadakan (walimatul khitan) tasyakuran khitanan, acara kemantin dimeriahkan dengan walimatul ‘arus, ketika selesai mendirikan sebuah bangunan juga menggadakan tasyakuran atau walimah, serta ulang tahun juga diadakan tasyakuran baik dilakukan dengan sederhana ataupun istimewa. Adapun ayat yang berkaitan dengan walimah yaitu:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ إِلَّآ أَن يُؤۡذَنَ لَكُمۡ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيۡرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِنۡ إِذَا دُعِيتُمۡ فَٱدۡخُلُواْ فَإِذَا طَعِمۡتُمۡ فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُسۡتَ‍ٔۡنِسِينَ لِحَدِيثٍۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ يُؤۡذِي ٱلنَّبِيَّ فَيَسۡتَحۡيِۦ مِنكُمۡۖ وَٱللَّهُ لَا يَسۡتَحۡيِۦ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسۡ‍َٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ وَمَا كَانَ لَكُمۡ أَن تُؤۡذُواْ رَسُولَٱللَّهِ وَلَآ أَن تَنكِحُوٓاْ أَزۡوَٰجَهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦٓ أَبَدًاۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمًا ٥٣ إِن تُبۡدُواْ شَيۡ‍ًٔا أَوۡ تُخۡفُوهُ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ٥٤
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah
Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dalam Tafsir Ibnu KatsirPenurunan ayat ini bertepatan dengan perkataan sahabat Umar Bin Khattab r.a., sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab sahihain yang bersumber darinya. Disebutkan bahwa Umar pernah berkata, "Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat," lalu Allah menurunkan firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.[2] “(Q.S. Al-Baqarah: 125)
وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ مُصَلّٗىۖ

Peristiwa ini terjadi pada bulan Zul Qa'dah tahun lima hijriah, menurut pendapat Qatadah, Al-Waqidi, dan selain keduanya. Tetapi Abu Ubaidah alias Ma'mar ibnul Musanna dan Khalifah ibnu Khayyat mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun tiga hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mijlaz, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan, "Ketika Rasulullah Saw. menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang sejumlah orang, lalu menjamu mereka, kemudian mereka bercakap-cakap di majelis itu. Kemudian kelihatan beliau Saw. hendak bangkit, dan kaum masih duduk-duduk saja. Melihat keadaan itu beliau terus bangkit. Ketika beliau bangkit, sebagian orang bangkit pula, tetapi masih ada tiga orang yang tetap duduk. Nabi Saw. datang lagi dan hendak masuk (ke kamar pengantin), tetapi ternyata masih ada sejumlah orang yang masih duduk dan belum pergi. Tidak lama kemudian mereka bangkit dan pergi. Lalu Aku (Anas ibnu Malik) menghadap dan menceritakan kepada Nabi Saw. bahwa kaum telah pergi. Lalu Nabi Saw. bangkit hendak masuk, dan aku pergi mengikutinya. Tetapi tiba-tiba beliau menurunkan hijab antara beliau dan aku, lalu turunlah firman Allah Swt.: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu' ( Q.S. Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat."
Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula di tempat yang lain, juga Imam Muslim dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya secara tunggal dengan sanad yang sama melalui hadis Abu Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas r.a., lalu disebutkan hal yang semisal.
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍقَالَ: بُني عَلَىالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ بِخُبْزٍ وَلَحْمٍ، فأرسلْتُ عَلَى الطَّعَامِ دَاعِيًا، فَيَجِيءُ قَوْمٌ فَيَأْكُلُونَ وَيَخْرُجُونَ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ فَيَأْكُلُونَ وَيَخْرُجُونَ. فدعوتُ حَتَّى مَا أَجِدُ أَحَدًا أَدْعُوهُ، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، مَا أَجِدُ أَحَدًا أَدْعُوهُ. قَالَ: "ارْفَعُوا طَعَامَكُمْ"، وَبَقِيَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ يَتَحَدَّثُونَ فِي الْبَيْتِ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ، فَقَالَ: "السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ". قَالَتْ: وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، كَيْفَ وَجَدْتَ أَهْلَكَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ؟ فَتَقَرّى حُجَرَ نِسَائِهِ كُلّهن، يَقُولُ لَهُنَّ كَمَا يَقُولُ لِعَائِشَةَ، وَيَقُلْنَ لَهُ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ. ثُمَّ رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا رَهْطٌ ثَلَاثَةٌ [فِي الْبَيْتِ] يَتَحَدَّثُونَ. وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيدَ الْحَيَاءِ، فَخَرَجَ مُنْطَلِقًا نَحْوَ حُجْرة عَائِشَةَ، فَمَا أَدْرِي أخبرتُه أَمْ أُخْبِرَ أَنَّ الْقَوْمَ خَرَجُوا؟ فَرَجَعَ حَتَّى إِذَا وَضَعَ رِجْلَهُ فِي أُسْكُفة الْبَابِ دَاخِلَهُ، وَأُخْرَى خَارِجَهُ، أرْخَى السِّتْرَ بيني وبينه، وأنزلت آية الحجاب.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan, bahwa Nabi Saw. ketika kawin dengan Zainab binti Jahsy mengadakan jamuan walimah dari makanan roti dan daging. Lalu aku disuruh untuk mengundang kaum kepada jamuan walimah itu. Maka datanglah suatu kaum, lalu mereka makan, setelah itu pergi. Kemudian datang pula kaum yang lain, mereka langsung makan, dan sesudahnya mereka keluar. Aku terus mengundang orang-orang hingga tidak kutemukan lagi seseorang yang kuundang, lalu aku berkata kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, semua orang telah kuundang dan tiada lagi yang tertinggal." Maka beliau Saw. bersabda: Bereskanlah jamuan kalian. Tetapi masih ada tiga orang yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah. Maka Nabi Saw. keluar dan menuju ke kamar Siti Aisyah r.a., lalu mengucapkan salam: Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepada kalian, hai Ahlul Bait. Siti Aisyah menjawab, "Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu. Bagaimanakah engkau jumpai istri barumu, ya Rasulullah? Semoga Allah memberkatimu." Lalu beliau Saw. mendatangi tiap-tiap kamar istrinya, semuanya menjawab jawaban yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah, dan mengucapkan kata selamat seperti yang diucapkan oleh Aisyah. Setelah itu Nabi Saw. kembali, dan ternyata masih ada tiga orang di dalam rumahnya sedang asyik bercakap-cakap. Nabi Saw. adalah seorang yang pemalu, maka beliau berangkat menuju kamar Siti Aisyah. Aku (Anas) tidak ingat lagi apakah aku memberitahukan kepadanya ataukah beliau telah diberi tahu bahwa semua tamu telah pergi, jelasnya beliau kembali; dan pada saat beliau melangkahkan kakinya di balik pintu bagian dalamnya, sedangkan kaki yang lainnya masih di luar pintu, tiba-tiba beliau menurunkan kain penutup yang menghalang-halangi antara aku dan beliau.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ishaq ibnu Mansur, dari Abdullah ibnu Bukair As-Sahmi, dari Humaid, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa ada dua orang perawi yang meriwayatkannya melalui jalur ini secara tunggal. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara tunggal melalui hadis Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabit, dari Anas.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو الْمُظَفَّرِ، حَدَّثَنَا جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنِ الْجَعْدِ -أَبِي عُثْمَانَ اليَشْكُرِي -عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: أَعْرَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ نِسَائِهِ، فَصَنَعَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ حَيْسًا ثُمَّ وَضَعَتْهُ فِي تَوْر، فَقَالَتْ: اذْهَبْ بِهَذَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَقْرِئْهُ مِنِّي السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُ أَنَّ هَذَا مِنَّا لَهُ قَلِيلٌ -قَالَ أَنَسٌ: وَالنَّاسُ يَوْمَئِذٍ فِي جَهد -فَجِئْتُ بِهِ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَعَثَتْ بِهَذَا أُمُّ سُلَيم إِلَيْكَ، وَهِيَ تُقْرِئُكَ السَّلَامَ، وَتَقُولُ: أَخْبِرْهُ أَنَّ هَذَا مِنَّا لَهُ قَلِيلٌ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: "ضَعْهُ"فوَضَعته فِي نَاحِيَةِ الْبَيْتِ، ثُمَّ قَالَ: "اذْهَبْ فَادْعُ لِي فُلَانًا وَفُلَانًا". وَسَمَّى رِجَالًا كَثِيرًا، وَقَالَ: "ومَنْ لقيتَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ". فدعوتُ مَنْ قَالَ لِي، ومَنْ لَقِيتُ مِنَالْمُسْلِمِينَ، فَجِئْتُ وَالْبَيْتُ والصُّفَّة وَالْحُجْرَةُ مَلأى مِنَ النَّاسِ -فَقُلْتُ: يَا أَبَا عُثْمَانَ، كَمْ كَانُوا؟ فَقَالَ: كَانُوا زُهَاءَ ثَلَاثِمِائَةٍ -قَالَ أَنَسٌ: فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "جِئْ بِهِ". فجئتُ بِهِ إِلَيْهِ، فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ، وَدَعَا وَقَالَ: "مَا شَاءَ اللَّهُ". ثُمَّ قَالَ: "ليتَحَلَّق عَشَرة عَشَرة، وَلْيُسَمُّوا ، وَلْيَأْكُلْ كُلُّ إِنْسَانٍ مِمَّا يَلِيهِ". فَجَعَلُوا يُسَمُّونَ وَيَأْكُلُونَ، حَتَّى أَكَلُوا كُلُّهُمْ. فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ارْفَعْهُ". قَالَ: فجئتُ فَأَخَذْتُ التَّورَ فَمَا أَدْرِي أَهْوَ حِينَ وَضَعْتُ أَكْثَرُ أَمْ حِينَ أَخَذْتُ؟ قَالَ: وَتَخَلَّفَ رِجَالٌ يَتَحَدَّثُونَ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ، وزَوجُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي دَخَلَ بِهَا مَعَهُمْ مُولّية وَجْهِهَا إِلَى الْحَائِطِ، فَأَطَالُوا الْحَدِيثَ، فَشَقُّوا على رسول الله صلى الله عليه وسلم، وَكَانَ أَشَدَّ النَّاسِ حَيَاءً -وَلَوْ أُعْلِمُوا كَانَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ عَزِيزًا -فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ فَسَلَّمَ عَلَى حُجَره وَعَلَى نِسَائِهِ، فَلَمَّا رَأَوْهُ قَدْ جَاءَ ظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ ثَقَّلوا عَلَيْهِ، ابْتَدَرُوا الْبَابَ فَخَرَجُوا، وَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَرْخَى السِّتْرَ، وَدَخَلَ الْبَيْتَ وَأَنَا فِي الْحُجْرَةِ، فَمَكَثَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ يَسِيرًا، وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ، فَخَرَجَ وَهُوَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا} إِلَى قَوْلِهِ: {بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا} . قَالَ أَنَسٌ: فَقَرَأَهُنَّ عَليّ قَبْلَ النَّاسِ، فَأَنَا أحْدثُ الناس بهن عهدا.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Muzaffar, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Al-Ja'id Abu Usman Al-Yasykuri, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan malam pertamanya dengan salah seorang istri barunya. Maka Ummu Sulaim membuat hais (makanan), kemudian meletakkannya di sebuah baki, lalu berkata, "Bawalah makanan ini kepada Rasulullah Saw. dan sampaikanlah salamku kepadanya, serta katakanlah kepadanya bahwa kiriman ini dari kami untuk beliau dengan apa adanya." Anas mengatakan bahwa saat itu orang-orang sedang dalam keadaan paceklik, lalu aku sampaikan kiriman tersebut dan kukatakan kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim mengirimkan hidangan ini kepadamu, dan dia menyampaikan salamnya untukmu seraya mengatakan bahwa makanan yang apa adanya ini darinya buat engkau." Rasulullah Saw. melihat kiriman itu, lalu bersabda, "Letakkanlah." Maka makanan itu kuletakkan di salah satu sudut rumah Nabi Saw. Kemudian beliau Saw. bersabda, "Undanglah si Fulan dan si Anu," beliau menyebutkan nama beberapa orang lelaki yang jumlahnya cukup banyak, lalu beliau menambahkan, "Dan undang pulalah orang muslim yang kamu jumpai." Maka aku sampaikan undangan beliau kepada orang-orang yang telah beliau sebutkan namanya, juga setiap orang muslim yang kujumpai. Ketika aku datang, rumah, halaman dan ruangan tamu penuh dengan orang-orang. Maka aku bertanya, "Hai Abu Usman, berapa orangkah mereka semuanya?" Abu Usman menjawab, "Kurang lebih ada tiga ratus orang." Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Kemarikanlah makanan itu!" Maka aku datangkan makanan itu kepadanya, dan beliau meletakkan tangannya di atas makanan tersebut, lalu berdoa dan bersabda, "Ini adalah kehendak Allah." Kemudian bersabda: Hendaklah tiap sepuluh orang membuat suatu lingkaran dan hendaklah mereka membaca bismillah, dan hendaklah setiap orang memakan makanan yang ada didekatnya. Lalu mereka membaca basmalah dan makan hingga semuanya merasa kenyang. Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda kepadaku, "Angkatlah hidangan itu!" Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengambil baki yang berisikan makanan itu, dan ia melihat isinya, tetapi ia tidak ingat lagi apakah saat ia meletakkan hidangan itu lebih banyak ataukah saat mengambilnya lebih banyak (maksudnya makanan tersebut kelihatannya masih utuh seperti semula). Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ada beberapa orang lelaki yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah Rasulullah Saw., sedangkan istri Rasulullah Saw. yang baru dinikahi itu ada bersama mereka, memalingkan wajahnya ke arah tembok. Ternyata mereka memperpanjang percakapannya. Hal itu membuat Rasulullah Saw. keberatan, tetapi beliau tidak mau menegur mereka karena beliau adalah orang yang sangat pemalu. Seandainya diberi tahu, pastilah mereka merasa tidak enak karena sedang asyik dalam obrolannya. Maka Rasulullah Saw. pergi dan menemui tiap-tiap istrinya di kamar­nya masing-masing, kepada tiap orang dari mereka beliau mengucapkan salam. Ketika para hadirin yang masih ada melihat Rasulullah Saw. tiba, mereka baru sadar bahwa diri mereka merepotkan Rasulullah Saw. Karena itu, mereka segera bangkit menuju pintu, lalu keluar. Rasulullah Saw. datang, lalu menutupkan kain pintu dan masuk ke dalam kamar, sedangkan aku (Anas) berada di ruang tamunya. Rasulullah Saw. tinggal di dalam kamarnya sesaat yang tidak lama, dan Allah menurunkan wahyu Al-Qur'an kepadanya. Setelah itu beliau keluar dari kamar dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat. Sahabat Anas mengatakan bahwa Nabi Saw. terlebih dahulu membacakan ayat-ayat tersebut kepadaku sebelum orang lain, lalu aku menceritakannya kepada orang-orang selama suatu masa.
Firman Allah; (لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ) “Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi”,n Allah melarang atas orang-orang mukmin untuk memasuki rumah-rumah Rasulullah tanpa seizing beliau, sebgaimana yang mereka lakukan pada zaman Jahiliyah dan awal kemunculan Islam. Saat itu mereka memasuki rumah orang lain tanpa seijin pemilik rumah. Allah ingin memeprbaiki etika dan adab umat Islam ini. Maka Dia memerintahkan kepada kaum Mukminin untuk meminta izin dari yang punya rumah sebelum memasuki rumahnya. Ini semata merupakan bentuk pemuliaan Allah atas umat ini[3]. Oleh karena itu,  Nabi  SAW bersabda:
إِيَّا كُمْ وَالدُّ خُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ
Jangan sekali-kali/ jauhkan kalian dari memasuki wanita (yang bukan muhrim)”
Kemudian Allah SWT mengecualikan diri hukum tersebut. Allah SWT  berfirman; yang artinya “kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya) ”. Mujtahid dan Qatadah berkata, “yang dimaksud dengan firman Allah  (غَيْرَ نَا ظَرِيْنَأِنَاهُ) adalah “tanpa menanti matangnya makanan”. Dengan demikian, maksud ayat ini adalah janganlah kalian selalu menyelidiki makanan ketika masih dimasak.bilamana makanan itu sudah hampir matang, barulah kalian bersiap-siap masuk. Karena menyelidiki matang dan belumnya makanan tergolong sesuatu yang dimakruhkan dan discela oleh Allah. Ini yang menjadi haramnya Tathfiil (mrnghadiri undangan tanpa diundang sebelumnya). Dikalangan bangsa Arab, hal ini dikenal sebutan Adh Dhaifan. Imam al Khatib al Baghdadi telah menulis sebuah kitab khusus tentang celaan terhadap orang-orang seperti ini, dimana dalam kitab tersebut beliau mneyebutkan tentang kisah mereka yang jika disebutkan disini akan memperpanjang bahasan.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
(وَلَكِنْ إ ذَا دُعِيْتٌمْ فَادْ خُلُوا فَإذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِيرُوا) “tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan keluarlah kamu.” Termaktub di dalam kitab Shahih Muslim sebuah hadits yang bersumber dari Ibnu Umar r.a., Ia berkata Rasulullah SAW besabda “Apabila salah seorang diantara kalian mengundang saudaranya, baik untuk acara pernikahan ataupun acara lainny maka hendaknya ia memenuhi undangannya.”
Oleh sebab itu, Allah berfirman yang artinya “tanpa asyik memperpanjang percakapan,” sebagaimana yang dilakukan oleh tiga orang telah dijelaskan dalam Hadits  diatas, mereka lupa diri hingga memberatkan dan membuat resah Rasulullah .Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu malu kepadamu  (untuk menyuruh kamu keluar).”
Menurut Abdullah Yusuf Ali dalam Tafsir Yusuf Ali, Tata tertib etika sosial yang bersih dewasa ini perlu diajarkan, seperti yang dilakukan oleh Nabi terhadap oang-orang Arab yang kasar itu pada masanya. Semua yang disebutkan itu barangkali dapat diringkaskan sebaga berikut: 1. Jangan memasuki bukan rumah teman tanpa izin; 2. Jika diundang makan, jangan datang terlalu dini; kita diundang makan, bukan diminta menunggu selama mempersiapkan makanan; 3. Hendaknya datang tepat waktu yang sudah ditentukan, sehingga waktu masuk memang sudah ditunggu dan dipersilahkan; 4. Selesai makan, jangan terlalu mengakrabkan diri dengan tuan rumah, apalagi jarak antara kita dengan dia terlalu jauh;5. Jangan membuang-buang waktu dengan cakap kosong, mengganggu tuan rumah, dan mungkin malah menyiksanya; 6. Kita harus mengerti, apa yang wajar dan pantas harus kita lakukan; mungkin dia terlalu sopan untuk meminta kita pergi, semua ini mengandung arti rohani dan sosial; menghormati dan menghargai orang lain termasuk tata nilai sangat tinggi.[4]
Tasyakuran merupakan salah satu jenis walimah yang dianjurkan oleh ajaran Islam sebagaimana Hadits Nabi:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه الشيخان)
"Adakanlah walimah (dalam pernikahan) sekalipun dengan seekor kambing”.(Shahih al Bukhari, Shahih Muslim, Musnad al Thayalisi dan banyak terdapat pada kitab-kitab hadits yang lain).

C.  Analisis Ayat
Dari pembahasan  kedua tafsir tersebut  diatas maka dapat diambil analisis bahwasanya hukum mengadakan walimah yaitu:berdasarkan kesepepakatan ulamatentang pentingnya pesta perayaan nikah, meskipun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya: beberapa ulama berpendapat hukum untuk mengadakan walimah pernikahan adalah wajib sementara itu umumnya para ulama berpendapat hukumnya adalah Sunah yang sangat dianjurkan. Bahwa hukum sedekah walimah atas pengantin adalah sunnah, dan hukum menepati undangan walimah itu wajib ain, kecuali ada udzur, dan tidak wajib datang untuk makan dari makanan walimah.
Tidak wajib mendatangi walimah sebab diketahui terdapat udzur, malah kadang terjadi haram, karena di tempat tersebut terdapat salah satu munkar. Sedangkan hukum menghadiri walimahDari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda,
إذا دعي أحدكم إلى الوليمة فليأتها .(متفق عليه)
“Jika salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka hendaklah ia menghadirinya.”
Imam al-Baghawi menyebutkan, para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadiri undangan walimahtul ursy (resepsi pernikahan). Sebagian mereka berpendapat bahwa menghadirinya merupakan suatu hal yang sunnah. Sedangkan ulama lainnya mewajibkannya sampai pada batas jika seseorang tidak menghadirinya tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia telah berdosa. Hal itu berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
شر الطعام طعام الوليمة يمنعها من يأتيها ويدعى إليها من يأباها ومن لم يجب الدعوة فقدعصى الله ورسوله.
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, di mana orang yang mau mendatanginya dilarang mengambilnya, sedang orang yang diundang menolaknya. Dan barang siapa yang tidak memenuhi undangan, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya
Apabila hukum menyelenggarakan walimah adalah sunnah muakkad, maka hukum menghadiri walimah adalah wajib. Hadis Nabi  riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibn `Umar mengajarkan : “Apabila seorang kamu diundang menghadiri walimah hendaklah ia mengabulkan, baik walimah perkawinan maupun lainnya.”
Imam Bukhari meriwayatkan hadits Nabi dari Abu Hurairah yang mengajarkan: “ orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti berbuat durhaka kepada Allah dan Rasulnya.
Iman Bukhari meriwayatkan hadits Nabi dari Abu Hurairah yang mengajarkan: Apabila salah seorang diantara kamu diundang menghadiri walimah, hendaklah mengabulkan: apabila sedang berpuasa hendaklah mendoakan dan apabila sedang tidak berpuasa makanlah hidangan yang disajikan.” Hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah mengajarkan : Apabila aku diundang menghadiri jamuan makan yang meskipun hanya menyajikan makanan berupa kaki binatang ternak bagian depan, niscaya aku terima.

D.  Penutup
Dari penjelasan diatas maka dapat di simpulkan bahwasanyaTasyakuran atau walimah yang baik adalah pertama, Jangan memasuki bukan rumah teman tanpa izin; kedua,  Jika diundang makan, jangan datang terlalu dini; kita diundang makan, bukan diminta menunggu selama mempersiapkan makanan; ketiga, Hendaknya datang tepat waktu yang sudah ditentukan, sehingga waktu masuk memang sudah ditunggu dan dipersilahkan; keempat, Selesai makan, jangan terlalu mengakrabkan diri dengan tuan rumah, apalagi jarak antara kita dengan dia terlalu jauh; kelima,  Jangan membuang-buang waktu dengan cakap kosong, mengganggu tuan rumah, dan mungkin malah menyiksanya; keenam,  Kita harus mengerti, apa yang wajar dan pantas harus kita lakukan; mungkin dia terlalu sopan untuk meminta kita pergi, semua ini mengandung arti rohani dan sosial; menghormati dan menghargai orang lain termasuk tata nilai sangat tinggi.
Adapun hukum terhadap walimah yaitu mengadakan walimah pernikahan adalah wajib, sedekah walimah atas pengantin adalah sunnah, dan hukum menepati undangan walimah itu wajib ain, kecuali ada udzur, dan tidak wajib datang untuk makan dari makanan walimah. Jika diundang menghadiri walimah kita sedang berpuasa hendaklah mendoakannya dan apabila sedang tidak berpuasa makanlah hidangan yang disajikan. 

Daftar Rujukan
Shihab, Quraish . Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. VII.  Bandung: Mizan. 1994.

Ali, Abdullah Yusuf . The Holy Qur’an, Text, Translation dan Commentary. Terj. Ali Audah. Cet. III.  Brentwood: Amana Corp. 2009.

Santri Pondok Pesantren Ngalah.  Ensiklopedi Fiqih Jawabul Masail Bermadzab Empat, Menjawab Masalah Lokal, Nasional dan Internasional. Pasuruan: Pondok Pesantren Ngalah. 2011.

Furi,Syaikh Shafiyyur al Mubarak.Tafsir Ibnu Katsir.  Terj. Abu Ihsan al Atsari. Cet. IV, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. 2006.






[1] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (cet. VII, Bandung: Mizan, 1994), hlm 77
[2]Syaikh Shafiyyur al Mubarak Furi, Tafsir Ibnu Katsir,  Terj. Abu Ihsan al Atsari (Cet. IV, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), hlm. 344
[3] Ibnu katsir, Tafsir, hlm 348
[4] Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation dan Commentary, terj. Ali Audah, (Cet. III, Brentwood: Amana Corp, 2009), hlm. 1087-1088

Tidak ada komentar:

Posting Komentar