TAFSIR MAUDU’I
MEMBUDAYAKAN DISKUSI PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAH AN-NAHL AYAT 125, SURAH
AL-LUQMAN AYAT 13 19, DAN SURAH
AL-ANKABUT AYAT 46
Eva Kholisina Ilmatun
Nafiah (13771027)
A. Pendahuluan
Seperti yang kita
ketahui bahwa mempelajari al-Qur’an bagi setiap muslim itu adalah hal yang
merupakan salah satu aktivitas terpenting. Al-Qur’an adalah kitab yang memancar
dirinya aneka ilmu, karena kitab suci itu mendorong untuk melakukan pengamatan
dan penelitian dan merupakan kalam Allah swt. yang tiada keraguan didalamnya. Hal
ini tentu saja sangat penting artinya bagi umat manusia karena tujuan utama
diturunkan kitab suci tersebut adalah untuk menuntun kehidupan manusia ke jalan
yang benar yang berujung pada tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mulai
dari tuntunan tauhid, syari’ah, kisah teladan, budaya, pengetahuan semesta alam,
pendidikan, hingga sosial. Dalam
hal ini
penulis tertarik untuk membahas tentang budaya yang ilmiah yakni budaya diskusi yang telah membudaya di
dunia sosial pelajar hingga mahasiswa maupun umum.
Kualitas masa depan pemimpin bangsa ditentukan oleh
generasi sekarang yang memiliki tekad yang kuat serta kemauan keras untuk
belajar dan berkembang dikampus maupun diluar kampus. Mahasiswa yang
pandai diskusi, pandai melihat peluang masa depan, dan berani menyampaikan
kebenaran dengan santun didepan pemimpin yang berperlilaku tidak adil, itu semua
hasil dari proses diskusi. Melalui hasil diskusi yang terarah dan ilmiah,
dengan sendirinya akan hadir tunas-tunas bangsa yang pandai mengkaji sebuah
masalah serta menyiapkan sosok pemimpin masa depan yang mampu
memberikan solusi kepada masyarakat yang sedang dilanda kebingungan. Untuk itu sebagai
pelajar dan mahasiswa dituntut untuk leibh aktif mendapatkan informasi maupun
pengetahuan baru tanpa harus bergantung kepada guru dan dosen, karena dengan
diskusilah kita dapat memperkaya pengetahuan yang berasal dari sudut pandang
yang berbeda. Berdiskusi merupakan cara yang efektif untuk memecahkan
suatu permasalahan.
Diskusi merupakan hal yang penting dilaksanakan karena
dengan diskusi membuat pikiran kita terus berjalan mencari sebuah kebenaran,
dengan ini maka akan terjadi sebuah lingkungan yang hidup dengan kajian-kajian
yang ilmiah dan dapat menjadikan mahasiswa peka terhadap kondisi masalah sosial,
ekonomi, politik, dan agama. Untuk itu masyarakat (dalam hal ini
pelajar, mahasiswa, dan umum) yang terbiasa berdiskusi akan memiliki daya
analisis yang tajam dan juga mudah memecahkan sebuah masalah. Seorang yang
terbiasa berdiskusi berbeda dengan yang tidak suka berdiskusi, karena seorang
yang pandai berdiskusi lebih mudah memberikan solusi terhadap sebuah isu.
Seorang yang pandai dan rajin berdiskusi harus menjadi terdepan dalam
memberikan solusi. Diskusi merupakan budaya bagi mahasiswa. Dan mahasiswalah
yang harus membudayakan diskusi.
Forum diskusi harus dikembangkan di setiap kalangan
karena banyak manfaat ketika kita
berdiskusi contohnya:[1]
1.
Belajar
menyampaikan pendapat peribadi
2.
Belajar
menganalisa sebuah kasus
3.
Belajar
berkomunikasi dengan baik
4.
Belajar
menghargai pendapat orang lain
5.
Membuat
kemajuan (atau membuat pelajar dan mahasiswa sadar akan kemajuan)
Budaya menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pikiran, akal budi, sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalam hal ini diskusi merupakan kagiatan
hasil pikiran yang sudah menjdi kebiasaan yang sukar diubah lebih-lebih
dikalangan pelajar dan mahasiswa serta tidak menutup kemungkinan hal ini
dilaksanakan dan menjadi budaya juga dikalangan umum. Membudayakan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia merupakan membiasakan perbuatan baik sehingga dianggap
berbudaya, mempunyai pikiran dan akal yang sudah maju, sedangkan diskusi adalah
pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah.[2] Sehingga dapat disimpulkan bahwa
membudayakan diskusi merupakan kegiatan membiasakan perbuatan baik yang berupa
pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Diskusi
berbeda dengan musyawarah karena musyawarah
mempunyai pengertian pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan yang
mufakat atas penyelesaian masalah. Diskusi
merupakan kegiatan yang wajar dilakukan seseorang dalam memecahkan suatu
masalah. Diskusi melibatakan keterampilan berbicara, dalam ragam
budaya masyarakat Indonesia bisa terwujud
dalam berbagai bentuk, di antara rutinitas kegiatan berbicara dalam kehidupan manusia sehari-hari.[3]
Di makalah ini penulis
mencoba mempermukakan ayat yang berkenaan dengan membudayakan diskusi yang
sering di laksanakan dikalangan pelajar dan mahasiswa yang sumbernya al-Qur’an
sebagai sumber utama bagi para muslim.
B. Pembahasan
1.
Q.S an-Nahl (16) ayat 125
Metode diskusi diperhatikan oleh al-Qur’an karena dapat lebih
memantapkan pengertian, dan sikap pangetahuan kalangan pelajar dan mahasiswa
maupun umum terhadap sesuatu masalah. Perintah Allah swt. dalam hal ini adalah agar kita mengajak kejalan yang
benar dengan hikmah dan mau’idah yang baik sebagaimana ayat dibawah ini:[4]
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
“Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”[5] (an-Nahl:125)
a. Penjelasan Kata
( y7În/uÈ@Î6yn<Î))
Ilaa Sabiili Rabbika: Serulah kepada jalan Tuhanmu
(pyJõ3Ïtø:$$Î/)
Bil
Hikmah: Dengan (hikmah) al-Qur’an dan perkataan yang bijak lagi benar serta memiliki
dalil untuk menjelaskan kebenaran.
(puZ|¡ptø:$#psàÏãöqyJø9$#ur)
Wal maui’zhatil Hasanah: Pelajaran-pelajaran
yang baik dari al-Qur’an dan perkataan yang lembut lagi benar.
(`|¡ômr&ÏdÓÉL©9$$Î/Oßgø9Ï»y_ur} ß)
Wa Jaadilhum Billati Hiya
Ahsan: Membantah dengan cara yang lebih baik dan itu lebih baik dari yang lain.[6]
b.
Makna ayat surat an-Nahl ayat 125 secara umum
Allah Ta’ala berfirman kepada
Rasul-Nya sebagai pemuliaan sekaligus tugas bagi beliau, “Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu...” Yakni kepada kepada agama-Nya yaitu Islam dan
hendaklah seruanmu itu “Dengan hikmah...” yaitu dengan al-Qur’an
al-Karim. “Dan pelajaran yang baik...” berupa nasehat-nasehat, cerita-cerita
perumpamaan-perumpamaan, motifasi. “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...”Yakni
bantahlah mereka dengan cara yang baik, tidak ada unsur celaan, ejekan dan
sindirian buruk, karena yang demikian itu lebih dapat diterima. Fairman-Nya, “Sesungguhnya
Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Allah akan membalas orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan petunjuk-Nya, orang yang sesat dengan menambahkan kesesatan kepada mereka. Sebagaimana Dia lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dan siapa yang mendapatkan petunjuk sejak zaman
azali. Maka permudahkan dirimu dan janganlah engkau menyimpangkan dari seruanmu
sehingga membahayakan dirimu. Sedangkan urusan adalah bukan di tanganmu tetapi
di tangan Allah. Dia memberi petujuk kepada siapa yang dikehendaki dan
menyesatkan siapa yang di kehendaki, kewajibanmu hanyalah menyampaikan dengan
kritaria yang telah diberikan kepadamu yaitu dengan cara yang penuh hikmah,
nasihat yang baik dan membantah dengan cara yang lebih baik.[7]
Nabi Muhammad saw. yang
diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim as. diperintahkan untuk mangajak
siapa pun agar mengikuti prinsip-prinsip ajaran Bapak para nabi dan
Pengumandang Tauhid itu. Ayat ini menyatakan: Wahai Nabi Muhammad, serulah
yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang eagkau sanggup seru kepada
jalan yang ditunjukkan Tuhanmu yakni ajaran Islam dengan hikmah dan
pengajaran yang baik dan bantahlah mereka yakni siapapun yang menolak
atau meragukan ajaran Islam dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah
yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam pringkat
dan kecenderungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-tuduhan tidak
berdasar kaum musyrikin dan serahlah urusanmu dan urusan mereka kepada Allah
swt., karena sesungguhnya tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat
baik kepadamu Dia-lah sendiri yang lebih mengetahui dari siapa
pun yang menduga tahu tentang siapa yang
bejat jiwanya sehingga tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah saja juga
yang lebih mangetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat
petunjuk.[8]
Allah swt. berfirman memerintahkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw. untuk menyeru
manusia kepada ke jalan Allah dengan hikmah. Ibnu Jarir berkata “Yaitu
al-Qur’an dan hadits yang Allah turunkan kepadanya. (والموعظة الحسنة) “Dan pelajaran yang baik,”
termasuk peringatan, teguran dan kejadian-kejadian yang telah dialami oleh
manusia. Rasulullah saw. diminta untuk mengingatkan mereka akan hal itu, supaya
mereka lebih hati-hati dan waspada dengan adzab Allah swt.[9]
Firman Allah swt. (وجادلهم بالتي هي أحسن) “Dan bantahlah mereka
dengan cara yang lebih baik.” Maksudnya adalah jika di antara mereka ada
yang mengajak diskusi, maka maka hendaklah membantah mereka dengan wajah yang
berseri, lemah lembut dan bahasa yang sopan. Oleh
karena itu, Allah swt. Memerintahkan Rasul-Nya agar lemah lembut, sebagaimana
perintah-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun tatkala Allah mengurus mereka
kepada raja Fir’aun.
Kata (الحكمة
) hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala
sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan
atau tindakan yang bebas dari kesalah atau
kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila diperhatikan
akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta
menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar. Makna ini di tarik
dari kata hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi
hewan/kenderaan mengarah ke arah yang tidak diinginkan, atau menjadi liar.
Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah.
Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan
pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam
pengetahuannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain
yang hakim. Thahir Ibn ‘Asyur menggaris bawahi bahwa adalah nama
himpunan segala ucapan atau pengetahun yang mengarah kepada perbaikan keadaan
dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Thabathaba’i mengutip ar-Raghib
al-Ashfahani yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah menyampaikan
kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut Thabathaba’i, hikmah
adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak
mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.
Kata
(الموعظة) al-mau
izhah terampil dari kata (وعظ)
wa’azha yang berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh
hati yang mengantar kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedangkan kata (
جادلهم) jadhilhum
terampil dari kata ( جدال) jidal yang
bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra
diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang
dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.
Ditemukan
di atas,bahwa mau’izhah hendaklah disampaikan dengan (حسنة) hasanah/baik, sedang perintah berjidal
disifati dengan kata (أحسن
) ahsan/yang terbaik, bukan sekadar yang baik. Keduanya berbeda
dengan hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mau’izah ada yang baik dan ada yang tidak baik, sedang
jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik, dan yang buruk.
Hikmah
tidak perlu disifati
dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu
yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal seperti tulisan ar-Raghib, atau seperti tulisan Ibn’Asyur, adalah segala dan
kepercayaan manusia secara bersinambung. Adapun mau’izah, maka ia baru
dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan
pengamalan dan keteladan dari yang menyampaikannya. Inilah yang bersifat hasanah.
Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain,
karena mau izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran yang kurang
baik,dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang
menerimanya maka mau’izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya
itu.
Sedang
jidal terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan
kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta
yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang
disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya
yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan
dengan baik, dan dengan argumen yang benar, lagi membungkam lawan.
Penyebutan
urutan ketiga macam metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikmah yang
dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau’izhah
dengan syarat hasanah, karena memang ia hanya terdiri dari macam buruk,
baik dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an, demikian juga cara berdakwah Nabi Muhammad
saw., mengandung ketiga metode di atas. Ia diterapkan kepada siapa pun sesuai dengan kondisi masing-masing sasaran.
Suatu
diskusi baru dapat berjalan dengan baik bila dilakukan
dengan persiapan beserta bahan-bahannya yang cukup jelas, dengan pembicaraan
yang berlangsung secara rasional,
tidak didasarkan atas luapan emosi, dan lebih mementingkan pada kesimpulan
rasional daripada kepentingan egoistis peribadi peserta.
c.
Pandangan Tentang Membudayakan Diskusi
Melalui penjabaran diatas kita
dapat mengambil pandangan tentang
bagaimana membudayakan pelaksanaan diskusi dengan baik sesuai aturan dalam
kalamullah al-Qur’an al-kariim:
1) Makna Hikmah
Dalam
Kamus Besar
Bahasa Indonesia hikmah diartikan sebagai
kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam. Secara bahasa al-hikmah berarti
ketepatan dalam ucapan dan amal.[10]
Abdul Aziz bin
Baz bin Abdullah bin Baz berdasarkan penelitiannya menyimpulkan
bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut: petunjuk yang
memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah
kebatilan.[11]
Jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah
atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah
yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah),
yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti
al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan
seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan
yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna. Argumentasi logis yang di maksud adalah
argumentasi yang masuk akal, dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab,
manusia tidak dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang
pasti serta pemikiran yang kuat. Hikmah, memang, kadangkala berarti menempatkan persoalan
pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi.
2)
Makna Mau’idzah Hasanah
Karakter
nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua:[12]
Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini
terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi,
al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah
(premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju
pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek
kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il
iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi
menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang
memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan
terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas
berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil.
2.
Q.S
al-Luqman (31) ayat 13-19
Pada ayat tersebut merupakan sebuah
diskusi antara Luqman al-Hakim dengan anaknya tentang pendidikan Tauhid. Sebagaimana
redaksi ayat sebagai berikut:
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ $uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ bÎ)ur #yyg»y_ #n?tã br& Íô±è@ Î1 $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ xsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur @Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ ¢Óo_ç6»t !$pk¨XÎ) bÎ) à7s? tA$s)÷WÏB 7p¬6ym ô`ÏiB 5Ayöyz `ä3tFsù Îû >ot÷|¹ ÷rr& Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÷rr& Îû ÇÚöF{$# ÏNù't $pkÍ5 ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ì#ÏÜs9 ×Î7yz ÇÊÏÈ ¢Óo_ç6»t ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷É9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºs ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ wur öÏiè|Áè? £s{ Ĩ$¨Z=Ï9 wur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøèC 9qãsù ÇÊÑÈ ôÅÁø%$#ur Îû Íô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎÏJptø:$# ÇÊÒÈ
13. dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14.
dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang ibu- bapanya: ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): "Hai anakku,
Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
17. Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).
18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.
19. dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
3. Q.S al-Ankabut (29) ayat 46
Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang cara
menghadapi diskusi dimana ada bantahan terhadap suatu ide dari yang
disampaikan. Seyogyanya kita menanggapi bantahan tersebut dengan cara yang
paling baik sebagaimana redaksi ayat berikut:
* wur (#þqä9Ï»pgéB @÷dr& É=»tGÅ6ø9$# wÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& wÎ) tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß óOßg÷YÏB ( (#þqä9qè%ur $¨ZtB#uä üÏ%©!$$Î/ tAÌRé& $uZøs9Î) tAÌRé&ur öNà6ös9Î) $oYßg»s9Î)ur öNä3ßg»s9Î)ur ÓÏnºur ß`øtwUur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÍÏÈ
“Dan janganlah membantah/berdebat
dengan para ahli kitab itu kecuali dengan cara yang paling baik,kecuali
dengan orang-orang zhalim di
antara mereka dan katakan lah “kami
telah beriman kepada (kitab-kitab)yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya
kepada-Nya berserah diri.” [13]
4.
Hadis
Tentang Dialog
Rasulullah saw. dengan Mu’adz bin Jabal
Hadis ini
menjelaskan ketika Muadz diutus Rasulullah saw. menjadi hakim di Yaman, yang
mana redaksi hadis tersebut sebagai berikut ini:
عَنْ
أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ
اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ
تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ
لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ
لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ:
اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ:
اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي
رَسُوْلُ اللهِ (رواه ابوداود).
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal,
bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an.
Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz
menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut
Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian
Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:,
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap
jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu
Dawud)[14]
C. Kesimpulan dan Analisis
1. Pokok Kandungan Ayat
Metode diskusi adalah hal yang diperhatikan oleh al-Qur’an dalam
mendidik dan mangajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan
pengertian, dan sikap pangetahuan mereka terhadap sesuatu masalah. Perintah
Allah swt. dalam hal ini adalah agar kita mengajak kejalan yang benar dengan
hikmah dan mau’idah yang baik.
Suatu diskusi baru
dapat berjalan dengan baik bila dilakukan dengan persiapan beserta bahan-bahannya yang cukup jelas, dengan pembicaraan yang
berlangsung secara rasional, tidak didasarkan atas luapan emosi, dan lebih mementingkan pada kesimpulan rasional daripada kepentingan egoistis
peribadi peserta supaya bisa dapat hasil yang baik.
Sebagaimana al-Qur’an telah mengajarkan kepada
umatnya untuk budaya diskusi guna keselarasan dan kerukunan dalam hidup dalam
menyampaikan gagasan baik untuk hablumminaalloh maupun hablumminannaas. Melalui diskusi suatu hukum yang mempunyai
dasar dan ataupun gagasan pemikiran seorang akan tersampaikan secara baik tanpa
adanya perdebatan yang itu hanya akan memicu terjadinya perpecahan.
2. Kiat-kiat dalam Membudayakan Diskusi
Kiat-kiat dalam
membudayakan diskusi antara lain:
a. Diskusi
itu dilaksanakan dengan hikmah, yang mana di sini hikmah mengandung tinjauan
sebagai berikut:
1) Memiliki
pengetahuan tentang rahasia dari faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu
sesuatu dapat diyakini keberadaannya.
2) Menggunakan
perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan
mana yang batal atau meragukan.
b. Diskusi
dilaksanakan dengan mau’idhah hasanah (pengajaran yang baik), yang diterima
dengan lembut oleh hati manusia tapi berkesan didalam hati mereka. Tidaklah
patut jika pendapat itu selalu menimbulkan rasa cemas, gelisah dan ketakutan
pada jiwa manusia. Orang yang jatuh karena dosa disebabkan kebodohan, maka
tidaklah wajar jika kesalahan-kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka
sehingga menyakitkan hatinya.
Pendapat yang disampaikan dengan
bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk menjinakkan hati yang liar dan
lebih banyak memberikan ketentraman daripada pendapat yang isinya ancaman yang
mengerikan. Jika sesuai tempat dan waktunya, tidak ada jeleknya memberikan
pendapat yang berisikan peringatan yang keras.
c. Ketika
dilaksanakannya diskusi bila terjadi pembantahan atau perdebatan maka hendaklah
dibantah dengan cara yang baik.
Pada
dasarnya dalam diskusi bisa hanya cukup dengan dua cara diatas, akan tetapi
ketika seseorang pendapat perlawanan yang berat terkadang perlu menggunakan
argument-argumen yang keras dan kokoh.
Satu contoh perdebatan yang baik
adalah perdebatan antara Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang kafir yang mana
perdebatan tersebut bisa membawa mereka berpikir untuk memperbaiki kesalahan
mereka sendiri sehingga mereka menemukan kebenaran. Tidaklah baik memancing
lawan dalam berdebat dengan kata-kata yang tajam, karena hal itu dapat
menimbulkan susana yang panas. Sebaliknya, hendaklah diciptakan suasana yang
nyaman dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu
dapat tercapai dengan hati yang puas. Suatu perdebatan yang baik adalah
perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat manusia yang negatif seperti
sombong, tinggi hati, tahan harga diri, karena sisfat-sifat terebut sangat peka.
Lawan debat supaya dihadapi sedemikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga
dirinya dihormati, karena tujuan utama adalah mencari kebenaran dari Allah SWT
dan menghilangkan semua kebatilan, tidak ada tujuan tertentu selain itu.
Daftar Rujukan
Al-Alusi,
Shihab al-Din. Rûh al-Ma’ani. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1993
Al Hifnawi, Muhammad
Ibrahim.
Tafsir Al Qurthubi (jilid 13). Jakarta: Pustaka Azzam. 2009
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir
Ibnu Katsir jilid5. Bogor:Pustaka
Ibnu Katsir. 2006
Al-Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. Tafsir Al-Qur’an
Al-Aisar jilid 4. Jakarta Timur:Darus Sunnah. 2007
Arifin,
M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi
Aksara, 1993
Aziz bin Baz, Abdul. Ad Da’wati Ilaa Allah Wa Akhlaqi
Ad Da’aati. Arab Saudi: Mawaqi’u Al-Islam
Paranto,
Sugeng. Teknik Diskusi dan Aspek-aspek yang Pelu
Diperhatiakan dalam Pelaksanaanya. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan
Keserasaian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002
https://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/
[3] Sugeng Paranto, Teknik Diskusi
dan Aspek-aspek yang Pelu Diperhatiakan dalam Pelaksanaanya, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hlm. 33
[5] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar jilid 4,
(Jakarta Timur:Darus Sunnah,2007) h.285
[6] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar jilid 4,
(Jakarta Timur:Darus Sunnah,2007),
hlm.285
[7] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar jilid 4,
(Jakarta Timur:Darus Sunnah,2007), hlm.286
[8] M.Quraish Shihab,
Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasaian Al-Qur’an,(Jakarta:Lentera
Hati, 2002) hlm.385
[9] Syaikh
Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir,(jilid5),(Bogor:Pustaka
Ibnu Katsir :2006), hlm.280
[11] Abdul Aziz bin Baz, Ad Da’wati Ilaa Allah Wa Akhlaqi
Ad Da’aati, (Mawaqi’u Al-Islam: Arab Saudi), hlm.25/I
[13] Muhammad
Ibrahim Al Hifnawi, Tafsir Al Qurthubi(jilid 13), (Jakarta:
Pustaka Azzam,2009), hlm.891
Tidak ada komentar:
Posting Komentar