Rabu, 09 Maret 2016

TAFSIR MAUDU’I MEMBUDAYAKAN DISKUSI PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAH AN-NAHL AYAT 125, SURAH AL-LUQMAN AYAT 13 19, DAN SURAH AL-ANKABUT AYAT 46

TAFSIR MAUDU’I MEMBUDAYAKAN DISKUSI PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAH AN-NAHL AYAT 125, SURAH AL-LUQMAN AYAT 13  19, DAN SURAH AL-ANKABUT AYAT 46
Eva Kholisina Ilmatun Nafiah (13771027)

A.  Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui bahwa mempelajari al-Qur’an bagi setiap muslim itu adalah hal yang merupakan salah satu aktivitas terpenting. Al-Qur’an adalah kitab yang memancar dirinya aneka ilmu, karena kitab suci itu mendorong untuk melakukan pengamatan dan penelitian dan merupakan kalam Allah swt. yang tiada keraguan didalamnya. Hal ini tentu saja sangat penting artinya bagi umat manusia karena tujuan utama diturunkan kitab suci tersebut adalah untuk menuntun kehidupan manusia ke jalan yang benar yang berujung pada tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mulai dari tuntunan tauhid, syari’ah, kisah teladan, budaya, pengetahuan semesta alam, pendidikan, hingga sosial. Dalam hal ini penulis tertarik untuk membahas tentang budaya yang ilmiah yakni budaya diskusi yang telah membudaya di dunia sosial pelajar hingga mahasiswa maupun umum.

Kualitas masa depan pemimpin bangsa ditentukan oleh generasi sekarang yang memiliki tekad yang kuat serta kemauan keras untuk belajar dan berkembang dikampus maupun diluar kampusMahasiswa yang pandai diskusi, pandai melihat peluang masa depan, dan berani menyampaikan kebenaran dengan santun didepan pemimpin yang berperlilaku tidak adil, itu semua hasil dari proses diskusi. Melalui hasil diskusi yang terarah dan ilmiah, dengan sendirinya akan hadir tunas-tunas bangsa yang pandai mengkaji sebuah masalah serta menyiapkan sosok pemimpin masa depan yang mampu memberikan solusi kepada masyarakat yang sedang dilanda kebingungan. Untuk itu sebagai pelajar dan mahasiswa dituntut untuk leibh aktif mendapatkan informasi maupun pengetahuan baru tanpa harus bergantung kepada guru dan dosen, karena dengan diskusilah kita dapat memperkaya pengetahuan yang berasal dari sudut pandang yang berbeda. Berdiskusi merupakan cara yang efektif untuk memecahkan suatu permasalahan.
Diskusi merupakan hal yang penting dilaksanakan karena dengan diskusi membuat pikiran kita terus berjalan mencari sebuah kebenaran, dengan ini maka akan terjadi sebuah lingkungan yang hidup dengan kajian-kajian yang ilmiah dan dapat menjadikan mahasiswa peka terhadap kondisi masalah sosial, ekonomi, politik, dan agama. Untuk itu masyarakat (dalam hal ini pelajar, mahasiswa, dan umum) yang terbiasa berdiskusi akan memiliki daya analisis yang tajam dan juga mudah memecahkan sebuah masalah. Seorang yang terbiasa berdiskusi berbeda dengan yang tidak suka berdiskusi, karena seorang yang pandai berdiskusi lebih mudah memberikan solusi terhadap sebuah isu. Seorang yang pandai dan rajin berdiskusi harus menjadi terdepan dalam memberikan solusi. Diskusi merupakan budaya bagi mahasiswa. Dan mahasiswalah yang harus membudayakan diskusi.
Forum diskusi harus dikembangkan di setiap kalangan karena banyak manfaat ketika kita berdiskusi contohnya:[1]
1.    Belajar menyampaikan pendapat peribadi
2.    Belajar menganalisa sebuah kasus
3.    Belajar berkomunikasi dengan baik
4.     Belajar menghargai pendapat orang lain
5.    Membuat kemajuan (atau membuat pelajar dan mahasiswa sadar akan kemajuan)
Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pikiran, akal budi, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalam hal ini diskusi merupakan kagiatan hasil pikiran yang sudah menjdi kebiasaan yang sukar diubah lebih-lebih dikalangan pelajar dan mahasiswa serta tidak menutup kemungkinan hal ini dilaksanakan dan menjadi budaya juga dikalangan umum. Membudayakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan membiasakan perbuatan baik sehingga dianggap berbudaya, mempunyai pikiran dan akal yang sudah maju, sedangkan diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah.[2] Sehingga dapat disimpulkan bahwa membudayakan diskusi merupakan kegiatan membiasakan perbuatan baik yang berupa pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Diskusi berbeda dengan musyawarah karena musyawarah mempunyai pengertian pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan yang mufakat atas penyelesaian masalah. Diskusi merupakan kegiatan yang wajar dilakukan seseorang dalam memecahkan suatu masalah. Diskusi melibatakan keterampilan berbicara, dalam ragam budaya masyarakat Indonesia bisa terwujud dalam berbagai bentuk, di antara rutinitas kegiatan berbicara dalam kehidupan manusia sehari-hari.[3]
Di makalah ini penulis mencoba mempermukakan ayat yang berkenaan dengan membudayakan diskusi yang sering di laksanakan dikalangan pelajar dan mahasiswa yang sumbernya al-Qur’an sebagai sumber utama bagi para muslim.

B.  Pembahasan
1.    Q.S an-Nahl (16) ayat 125
Metode diskusi diperhatikan oleh al-Qur’an karena dapat lebih memantapkan pengertian, dan sikap pangetahuan kalangan pelajar dan mahasiswa maupun umum terhadap sesuatu masalah. Perintah Allah swt. dalam hal ini adalah agar kita mengajak kejalan yang benar dengan hikmah dan mau’idah yang baik sebagaimana ayat dibawah ini:[4]
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ

“Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[5] (an-Nahl:125)




a.    Penjelasan Kata
 ( y7În/uÈ@Î6yn<Î))  
Ilaa Sabiili Rabbika: Serulah kepada jalan Tuhanmu
(pyJõ3Ïtø:$$Î/)
Bil Hikmah: Dengan (hikmah) al-Qur’an dan perkataan yang bijak lagi benar serta memiliki dalil untuk menjelaskan kebenaran.
(puZ|¡ptø:$#psàÏãöqyJø9$#ur)
Wal maui’zhatil Hasanah: Pelajaran-pelajaran yang baik dari al-Qur’an dan perkataan yang lembut lagi benar.
(`|¡ômr&ÏdÓÉL©9$$Î/Oßgø9Ï»y_ur} ß) 
Wa Jaadilhum Billati Hiya Ahsan: Membantah dengan cara yang lebih baik dan itu lebih baik dari yang lain.[6]
b.   Makna ayat surat an-Nahl ayat 125 secara umum
Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya sebagai pemuliaan sekaligus tugas bagi beliau, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu...” Yakni kepada kepada agama-Nya yaitu Islam dan hendaklah seruanmu itu “Dengan hikmah...” yaitu dengan al-Qur’an al-Karim. “Dan pelajaran yang baik...” berupa nasehat-nasehat, cerita-cerita perumpamaan-perumpamaan, motifasi. Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...”Yakni bantahlah mereka dengan cara yang baik, tidak ada unsur celaan, ejekan dan sindirian buruk, karena yang demikian itu lebih dapat diterima. Fairman-Nya, “Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Allah akan membalas orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan petunjuk-Nya, orang yang sesat dengan menambahkan kesesatan kepada mereka. Sebagaimana Dia lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dan siapa yang mendapatkan petunjuk sejak zaman azali. Maka permudahkan dirimu dan janganlah engkau menyimpangkan dari seruanmu sehingga membahayakan dirimu. Sedangkan urusan adalah bukan di tanganmu tetapi di tangan Allah. Dia memberi petujuk kepada siapa yang dikehendaki dan menyesatkan siapa yang di kehendaki, kewajibanmu hanyalah menyampaikan dengan kritaria yang telah diberikan kepadamu yaitu dengan cara yang penuh hikmah, nasihat yang baik dan membantah dengan cara yang lebih baik.[7]
Nabi Muhammad saw. yang diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim as. diperintahkan untuk mangajak siapa pun agar mengikuti prinsip-prinsip ajaran Bapak para nabi dan Pengumandang Tauhid itu. Ayat ini menyatakan: Wahai Nabi Muhammad, serulah yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang eagkau sanggup seru kepada jalan yang ditunjukkan Tuhanmu yakni ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka yakni siapapun yang menolak atau meragukan ajaran Islam dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam pringkat dan kecenderungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin dan serahlah urusanmu dan urusan mereka kepada Allah swt., karena sesungguhnya tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu Dia-lah sendiri yang lebih mengetahui dari siapa pun  yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya sehingga tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah saja juga yang lebih mangetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.[8]
Allah swt. berfirman memerintahkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw. untuk menyeru manusia kepada ke jalan Allah dengan hikmah. Ibnu Jarir berkata “Yaitu al-Qur’an dan hadits yang Allah turunkan kepadanya. (والموعظة الحسنة) Dan pelajaran yang baik,” termasuk peringatan, teguran dan kejadian-kejadian yang telah dialami oleh manusia. Rasulullah saw. diminta untuk mengingatkan mereka akan hal itu, supaya mereka lebih hati-hati dan waspada dengan adzab Allah swt.[9]
Firman Allah swt.  (وجادلهم بالتي هي أحسن) Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” Maksudnya adalah jika di antara mereka ada yang mengajak diskusi, maka maka hendaklah membantah mereka dengan wajah yang berseri, lemah lembut dan bahasa yang sopan. Oleh karena itu, Allah swt. Memerintahkan Rasul-Nya agar lemah lembut, sebagaimana perintah-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun tatkala Allah mengurus mereka kepada raja Fir’aun.
Kata (الحكمة ) hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalah atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar. Makna ini di tarik dari kata hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi hewan/kenderaan mengarah ke arah yang tidak diinginkan, atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengetahuannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain yang hakim. Thahir Ibn ‘Asyur menggaris bawahi bahwa adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahun yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Thabathaba’i mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah menyampaikan kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut Thabathaba’i, hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.
Kata (الموعظة) al-mau izhah terampil dari kata (وعظ) wa’azha yang berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedangkan kata ( جادلهم) jadhilhum terampil dari kata ( جدال) jidal  yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.
Ditemukan di atas,bahwa mau’izhah hendaklah disampaikan dengan (حسنة) hasanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan kata (أحسن ) ahsan/yang terbaik, bukan sekadar yang baik. Keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mau’izah  ada yang baik dan ada yang tidak baik, sedang jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik, dan yang buruk.
Hikmah tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal seperti tulisan ar-Raghib, atau seperti tulisan Ibn’Asyur, adalah segala dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Adapun mau’izah, maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladan dari yang menyampaikannya. Inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena mau izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran yang kurang baik,dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya maka mau’izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.
Sedang jidal terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar, lagi membungkam lawan.
Penyebutan urutan ketiga macam metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikmah yang dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau’izhah dengan syarat hasanah, karena memang ia hanya terdiri dari macam buruk, baik dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an, demikian juga cara berdakwah Nabi Muhammad saw., mengandung ketiga metode di atas. Ia diterapkan kepada siapa pun sesuai dengan kondisi masing-masing sasaran.
Suatu diskusi baru dapat berjalan dengan baik bila dilakukan dengan persiapan beserta bahan-bahannya yang cukup jelas, dengan pembicaraan yang berlangsung secara rasional, tidak didasarkan atas luapan emosi, dan lebih mementingkan pada kesimpulan rasional daripada kepentingan egoistis peribadi peserta.
c.    Pandangan Tentang Membudayakan Diskusi
Melalui penjabaran diatas kita dapat mengambil pandangan tentang bagaimana membudayakan pelaksanaan diskusi dengan baik sesuai aturan dalam kalamullah al-Qur’an al-kariim:
1)   Makna Hikmah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia   hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam. Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.[10] Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz  berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut: petunjuk yang memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah kebatilan.[11]
Jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna. Argumentasi logis yang di maksud adalah  argumentasi yang masuk akal, dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti serta pemikiran yang kuat. Hikmah, memang, kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi.
2)   Makna Mau’idzah Hasanah
Karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua:[12]
Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil.
2.    Q.S al-Luqman (31) ayat 13-19
Pada ayat tersebut merupakan sebuah diskusi antara Luqman al-Hakim dengan anaknya tentang pendidikan Tauhid. Sebagaimana redaksi ayat sebagai berikut:
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ   $uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ   bÎ)ur š#yyg»y_ #n?tã br& šÍô±è@ Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ   ¢Óo_ç6»tƒ !$pk¨XÎ) bÎ) à7s? tA$s)÷WÏB 7p¬6ym ô`ÏiB 5AyŠöyz `ä3tFsù Îû >ot÷|¹ ÷rr& Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÷rr& Îû ÇÚöF{$# ÏNù'tƒ $pkÍ5 ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ì#ÏÜs9 ׎Î7yz ÇÊÏÈ   ¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ   Ÿwur öÏiè|Áè? š£s{ Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC 9qãsù ÇÊÑÈ   ôÅÁø%$#ur Îû šÍô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ  
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14.  dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya: ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16.  (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
3.    Q.S al-Ankabut (29) ayat 46
Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang cara menghadapi diskusi dimana ada bantahan terhadap suatu ide dari yang disampaikan. Seyogyanya kita menanggapi bantahan tersebut dengan cara yang paling baik sebagaimana redaksi ayat berikut:
* Ÿwur (#þqä9Ï»pgéB Ÿ@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß óOßg÷YÏB ( (#þqä9qè%ur $¨ZtB#uä üÏ%©!$$Î/ tAÌRé& $uZøŠs9Î) tAÌRé&ur öNà6ös9Î) $oYßg»s9Î)ur öNä3ßg»s9Î)ur ÓÏnºur ß`øtwUur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÍÏÈ
Dan janganlah membantah/berdebat dengan para ahli kitab itu kecuali dengan cara yang paling baik,kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka  dan katakan lah “kami telah beriman kepada (kitab-kitab)yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri. [13]

4.    Hadis Tentang Dialog Rasulullah saw. dengan Mu’adz bin Jabal
Hadis ini menjelaskan ketika Muadz diutus Rasulullah saw. menjadi hakim di Yaman, yang mana redaksi hadis tersebut sebagai berikut ini:
عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ  (رواه ابوداود).
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)[14]

C.  Kesimpulan dan Analisis
1.    Pokok Kandungan Ayat
Metode diskusi adalah hal yang diperhatikan oleh al-Qur’an dalam mendidik dan mangajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian, dan sikap pangetahuan mereka terhadap sesuatu masalah. Perintah Allah swt. dalam hal ini adalah agar kita mengajak kejalan yang benar dengan hikmah dan mau’idah yang baik.
Suatu diskusi baru dapat berjalan dengan baik bila dilakukan dengan persiapan beserta bahan-bahannya yang cukup jelas, dengan pembicaraan yang berlangsung secara rasional, tidak didasarkan atas luapan emosi, dan lebih mementingkan pada kesimpulan rasional daripada kepentingan egoistis peribadi peserta supaya bisa dapat hasil yang baik.
Sebagaimana al-Qur’an telah mengajarkan kepada umatnya untuk budaya diskusi guna keselarasan dan kerukunan dalam hidup dalam menyampaikan gagasan baik untuk hablumminaalloh maupun hablumminannaas.  Melalui diskusi suatu hukum yang mempunyai dasar dan ataupun gagasan pemikiran seorang akan tersampaikan secara baik tanpa adanya perdebatan yang itu hanya akan memicu terjadinya perpecahan.
2.    Kiat-kiat dalam Membudayakan Diskusi
Kiat-kiat dalam membudayakan diskusi antara lain:
a.    Diskusi itu dilaksanakan dengan hikmah, yang mana di sini hikmah mengandung tinjauan sebagai berikut:
1)   Memiliki pengetahuan tentang rahasia dari faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keberadaannya.
2)   Menggunakan perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang batal atau meragukan.
b.    Diskusi dilaksanakan dengan mau’idhah hasanah (pengajaran yang baik), yang diterima dengan lembut oleh hati manusia tapi berkesan didalam hati mereka. Tidaklah patut jika pendapat itu selalu menimbulkan rasa cemas, gelisah dan ketakutan pada jiwa manusia. Orang yang jatuh karena dosa disebabkan kebodohan, maka tidaklah wajar jika kesalahan-kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka sehingga menyakitkan hatinya.
Pendapat yang disampaikan dengan bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk menjinakkan hati yang liar dan lebih banyak memberikan ketentraman daripada pendapat yang isinya ancaman yang mengerikan. Jika sesuai tempat dan waktunya, tidak ada jeleknya memberikan pendapat yang berisikan peringatan yang keras.
c.    Ketika dilaksanakannya diskusi bila terjadi pembantahan atau perdebatan maka hendaklah dibantah dengan cara yang baik.
Pada dasarnya dalam diskusi bisa hanya cukup dengan dua cara diatas, akan tetapi ketika seseorang pendapat perlawanan yang berat terkadang perlu menggunakan argument-argumen yang keras dan kokoh.
Satu contoh perdebatan yang baik adalah perdebatan antara Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang kafir yang mana perdebatan tersebut bisa membawa mereka berpikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri sehingga mereka menemukan kebenaran. Tidaklah baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata-kata yang tajam, karena hal itu dapat menimbulkan susana yang panas. Sebaliknya, hendaklah diciptakan suasana yang nyaman dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat tercapai dengan hati yang puas. Suatu perdebatan yang baik adalah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat manusia yang negatif seperti sombong, tinggi hati, tahan harga diri, karena sisfat-sifat terebut sangat peka. Lawan debat supaya dihadapi sedemikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati, karena tujuan utama adalah mencari kebenaran dari Allah SWT dan menghilangkan semua kebatilan, tidak ada tujuan tertentu selain itu.

Daftar Rujukan

Al-Alusi, Shihab al-Din. Rûh al-Ma’ani. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1993

Al Hifnawi, Muhammad Ibrahim. Tafsir Al Qurthubi (jilid 13). Jakarta: Pustaka Azzam. 2009
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid5.  Bogor:Pustaka Ibnu Katsir. 2006

Al-Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar jilid 4. Jakarta Timur:Darus Sunnah. 2007

Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1993

Aziz bin Baz, Abdul. Ad Da’wati Ilaa Allah Wa Akhlaqi Ad Da’aati. Arab Saudi: Mawaqi’u Al-Islam

Paranto, Sugeng. Teknik Diskusi dan Aspek-aspek yang Pelu Diperhatiakan dalam Pelaksanaanya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981

Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasaian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002



https://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/






[1] http://lenterapmii.blogspot.co.id diakses 15 Desember 2015 pukul 17.57 WIB
[2] http://kbbi.web.id/  diakses pada 13 Desember 2015 pukul 15:57 WIB
[3] Sugeng Paranto, Teknik Diskusi dan Aspek-aspek yang Pelu Diperhatiakan dalam Pelaksanaanya, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hlm. 33
[4] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara 1993) hlm.75
[5] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar jilid 4, (Jakarta Timur:Darus Sunnah,2007) h.285
[6] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar jilid 4, (Jakarta Timur:Darus  Sunnah,2007), hlm.285
[7] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar jilid 4, (Jakarta Timur:Darus Sunnah,2007), hlm.286
[8] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasaian Al-Qur’an,(Jakarta:Lentera Hati, 2002) hlm.385
[9] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir,(jilid5),(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir :2006), hlm.280
[10] Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), hlm.  82/XI.
[11] Abdul Aziz bin Baz, Ad Da’wati Ilaa Allah Wa Akhlaqi Ad Da’aati, (Mawaqi’u Al-Islam: Arab Saudi), hlm.25/I
[12] Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), hlm. 487/V
[13] Muhammad Ibrahim Al Hifnawi, Tafsir Al Qurthubi(jilid 13), (Jakarta: Pustaka Azzam,2009), hlm.891
[14] https://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/ akses pada 21 Desember 2015 pukul 20:07 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar