Sabtu, 12 Maret 2016

LINGKUNGAN HIDUP PERSEPEKTIF ISLAM



LINGKUNGAN HIDUP PERSEPEKTIF ISLAM
Bambang Baiturrahman (15770072)

A.    Pendahuluan
Krisis lingkungan yang terjadi saat ini telah sampai pada tahap serius yang mengancam eksistensi planet bumi dan kehidupan para penghuninya. Perlahan tetapi pasti system lingkungan yang menopang kehidupan manusia mengalami kerusakan yang semakin parah. Indikator kerusakan lingkungan yang nampak terutama yang diakibatkan oleh degradasi lahan seperti banjir, erosi dan sedimentasi sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitas) yang berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa wilayah negara. Polusi air dan udara, pemanasan global, kerusakan biodiversitas, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah seriusnya. Mewabahnya penyakit hewan dan manusia yang mematikan akhir-akhir ini mulai dari demam berdarah, flu burung hingga HIV, juga sebenarnya merupakan akibat dan dampak tidak langsung karena telah terjadinya gangguan keseimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun non-fisik di permukaan bumi.

Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional, sebenarnya berakar dari perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, mengakibatkan terjadinya eksploitasi intensif (berlebihan) terhadap sumber daya alam, yang akibatnya ikut memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan. Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan hewan dan tumbuhan termasuk manusia.
Upaya untuk penyelamatan lingkungan sebenarnya telah banyak dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah melalui penyadaran kepada masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders), melalui pendidikan dan pelatihan, pembuatan peraturan pemerintah, undang-undang, maupun melalui penegakan hukum. Penyelamatan melalui pemanfaatan sain dan teknologi serta program-program lain juga telah banyak dilakukan. Akan tetapi hasilnya masih belum nyata sebagaimana yang diharapkan serta belum bisa mengimbangi laju kerusakan lingkungan yang terjadi. Perusakan lingkungan dibeberapa tempat dimuka bumi ini termasuk di negara kita masih tetap saja berlangsung, bahkan lebih cepat lajunya serta lebih intensif seolah upaya-upaya pengendalian dan perbaikan yang telah dilakukan tak ada pengaruhnya sama sekali.
Konsep Islam terkait lingkungan ini sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip etika lingkungan yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Prinsip-prinsip pengelolaan dan etika lingkungan yang terdapat dalam ajaran Islam telah banyak pula yang dituangkan dalam beberapa pasal dalam Kesepakatan atau perjanjian dunia yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Akan tetapi konsep (ajaran) Islam ini tampaknya masih belum banyak dipahami apalagi dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya oleh sebagian besar umat Islam. Hal ini ditandai dari fakta empirik yang menunjukkan bahwa berbagai kerusakan lingkungan baik dalam lingkup nasional maupun global, ternyata sebagian besar terjadi di lingkungan yang mayoritas penduduknya muslim. Atau barangkali dalam hal ini, disebabkan oleh adanya kesalahan dalam pemahaman ajaran agama serta pendekatan yang dipilih oleh umat Islam di berbagai belahan bumi.
Upaya-upaya praktis penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan sain dan teknologi rupanya tidak cukup untuk mengendalikan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Permasalahan lingkungan ternyata bukan hanya masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi. Permasalahan yang menyangkut lingkungan sangat komplek serta multi dimensi. Oleh karena itu nilai-nilai agama (ad-diin) yang universal dan juga multi-dimensi bisa digunakan sebagai landasan berpijak dalam upaya penyelamatan lingkungan baik dalam skala nasional maupun global.

B.     Pembahasan
1.      Makna Lingkungan
Lingkungan alamiah (natural environment) yang sering dipendekkan menjadi “lingkungan” dan yang dalam istilah bahasa kita sering disebut “lingkungan hidup”, diberi ta’rif (pengertian) sebagai suatu keadaan atau kondisi alam yang terdiri atas benda-benda ( makhluk) hidup dan benda-benda tak hidup yang berada di bumi atau bagian dari bumi secara alami dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Lingkungan (alam) ini terdiri atas beberapa komponen kunci yakni:
a.       Satuan landscape lengkap yang berfungsi sebagai system alami yang belum mengalami intervensi manusia, termasuk didalamnya terdapat tanah, air, bebatuan, hewan dan tumbuhan, serta segala fenomena alam yang terjadi dalam batas alami tersebut.
b.      Sumber daya alam umum dan fenomena yang tidak selalu berada di dalam batas-batas alami tersebut seperti udara, iklim dan atmosfer, akan tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh landscape yang bersangkutan.
c.       Tampilan atau keadaan alam yang terjadi di dalam batasbatas alami, akan tetapi keberadaannya dan kondisinya sangat dipengaruhi oleh atau direkayasa oleh manusia, seperti misalnya hewan liar di sebuah taman margasatwa atau kebun binatang. Dengan demikian terdapat dua macam lingkungan yakni lingkungan alamiah (natural environment) dan lingkungan buatan (built environment), yang antara keduanya berbeda sifat dan kondisinya. Lingkungan buatan merupakan areal atau komponen alam yang telah dipengaruhi atau direkayasa oleh manusia. Suatu wilayah geografis tertentu misalnya hutan konservasi, pada umumnya masih dipandang sebagai lingkungan alamiah, walaupun campur tangan manusia telah ada dalam wilayah tersebut, akan tetapi masih sangat terbatas. Sedangkan areal cagar alam misalnya, merupakan areal yang sama sekali belum ada campur tangan manusia didalamnya.[1]
Lingkungan meliputi yang dinamis (hidup) dan yang statis (mati). Lingkungan dinamis meliputi wilayah manusia, hewan dan tumbuhtumbuhan. Lingkungan statis meliputi alam yang diciptakan Allah swt, dan industri yang diciptakan manusia. Alam yang diciptakan Allah, meliputi lingkungan bumi, luar angkasa dan langit, matahari, bulan dan tumbuhtumbuhan. Industri ciptaan manusia, meliputi segala apa yang digali manusia dari sungai-sungai, pohon-pohon yang ditanam, rumah yang dibangun, peralatan yang dibuat, yang dapat menyusut atau membesar, untuk tujuan damai atau perang[2]. Selanjutnya, beberapa ayat yang dapat didiskripsikan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, yaitu ayat yang berkaitkan dengan fauna, flora, tanah, air dan udara (Angin).

2.      Upaya-Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup terdiri dari, pertama; Lingkungan hidup alami. Lingkungan hidup alami adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup, dan komponen biotik dan abiotik lainnya tanpa dominasi manusia. Contoh lingkungan alami ialah hutan primer yang belum tersentuh manusia. Terjadi suksesi alamiah tapi tetap terjadi keseimbangan. Kedua; Lingkungan hidup binaan. Pada jenis lingkungan ini, terjadi suksesi dalam hutan primer karena kegiatan manusia seperti penebangan hutan, perladangan berpindah, penambangan, pembukaan lahan baru untuk pertanian. Dengan begitu terjadinya perubahan karena kebutuhan manusia, akhirnya melahirkan dampak (fisik, hayati, sosial, langsung bagi manusia.[3]
Keberadaan alam dan seluruh benda-benda yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Secara keseluruhan saling membutuhkan dan melengkapi kekurangannya. Kelangsungan hidup dari setiap unsur kekuatan alam terkait dengan keberadaan hidup kekuatan lain. Kejadian alam dan apa yang di dalamnya saling mendukung sehingga ia disebut alam secara keseluruhan. Alam dan segala yang ada di dalamnya seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang termasuk manusia dan benda mati yang ada di sekitarnya, serta kekuatan alam lainnya seperti angin, udara dan iklim hakikatnya bagian dari keberadaan alam.[4]
Lingkungan berfungsi sebagai sumber daya karena menyediakan unsur-unsur untuk produksi dan konsumsi. Produksi dan konsumsi tidak akan lepas dari air, udara, darat/hutan dan lain lain. Faktor penting terjaganya suplai air dan udara yang sehat ialah terpeliharanya hutan. Masalah lingkungan dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup, baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya dan pencemaran maupun kerusakan lingkungan lainnya. Salah satu diantaranya ialah kerusakan hutan. Untuk itu diperlukan penghijauan [5] untuk mengembalikan kembali fungsi hutan sebagai “paru-paru” bumi. Seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَالَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ
Artinya : ” Telah tampak kerusakan didarat dan dilaut akibat perbuatan tangan manusia, Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah, ” Lakukanlah perjalanan dimuka bumi dan perhatikannlah bagaimana kesudahan orang-orang terdahulu, kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” ( QS. Ar-Ruum: 41-42 )
Tafsir Surah Ar-Rum 41-42
Pada ayat 41 surah ar-rum, terdapat penegasan Allah bahwa berbagai kerusakan yang terjadi di daratan dan di lautan adalah akibat perbuatan manusia. Hal tersebut hendaknya disadari oleh umat manusia dan karenanya manusia harus segera menghentikan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan timbulnya kerusakan di daratan dan di lautan dan menggantinya dengan perbuatan baik dan bermanfaat untuk kelestarian alam. (syamsuri, 2004: 116)
Kata zhahara pada mulanya berarti terjadinya sesuatu dipermukaan bumi. Sehingga, karena dia dipermukaan, maka menjadi nampak dan terang serta diketahui dengan jelas. Sedangkan kata al-fasad menurut al-ashfahani adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan,baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja, baik jasmani, jiwa, maupun hal-hal lain.(Quraish Shihab, 2005: 76)
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini dapat berarti daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, yang hasilnya keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Inilah yang mengantar sementara ulama kontemporer memahami ayat ini sebagai isyarat tentang kerusakan lingkungan.( quraish shihab, 2005: 77)
Sedangkan pada ayat 42 surah ar-rum pula, menerangkan tentang perintah untuk mempelajari sejarah umat-umat terdahulu. Berbagai bencana yang menimpa umat-umat terdahulu adalah disebabkan perbuatan dan kemusyrikan mereka, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Allah, justru kepada selain Allah dan hawa nafsu mereka.( Syamsuri, 2004: 116).
Selain itu pula, ayat ini mengingatkan mereka pada akhir perjalanan ini bahwa mereka dapat mengalami apa yang dialami oleh orang-orang musyrik sebelum mereka. Mereka pun mengetahui akibat yang diterima oleh banyak orang dari mereka. Mereka juga melihat bekas-bekas para pendahulunya itu, ketika mereka berjalan dimuka bumi, dan melewati bekas-bekas tersebut.(sayyid quthb, 2003: 226) dan dengan melakukan perjalanan dimuka bumi juga dapat membuktikan bahwa kerusakan-kerusakan di muka bumi ini adalah betul-betul akibat perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab serta mengingkari nikmat Allah, dan dengan melihat dan meneliti bukti-bukti sejarah, maka mereka dapat mengambil pelajaran atas peristiwa-peristiwa yang telah lalu, yang pernah menimpa umat manusia.(Moh.Matsna, 2004:84).
Allah SWT menciptakan alam semesta dan segala isinya, daratan, lautan, angkasa raya, flora, fauna, adalah untuk kepentingan umat manusia.
Manusia sebagai khalifah Allah, diamanati oleh Allah untuk melakukan usaha-usaha agar alam semesta dan segala isinya tetap lestari, sehingga umat manusia dapat mengambil manfaat, menggali dan mengelolanya untuk kesejahteraan umat manusia dan sekaligus sebagai bekal dalam beribadah dan beramal shaleh.
Ketamakan manusia terhadap alam seperti tersebut,telah berakibat buruk terhadap diri mereka sendiri, seperti longsor, banjir, dll.
Diperlukan upaya yang keras dan konsisten dari kita semua sebagai khalifah Allah agar kewajiban untuk memelihara dan melestarikan alam demi kesejahteraan bersama tetap terjaga. Dalam melaksanakan kewajibannya, sebagai khalifah juga umat manusia, kita disuruh untuk mempelajari sejarah umat-umat terdahulu dan mengambil pelajaran darinya.(Syamsuri, 2006:97).
Dalam satu ayat di dalam Zabur yang diturunkan kepada Nabi yang dahulu, kemudian di ulangi lagi oleh Tuhan dalam wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Yang berarti : “Sesungguhnya telah Kami tuliskan di dalam Zabur dari sesudah peringatan, sesungguhnya bumi ini akan diwarisi dianya oleh hambaKu yang shalih”.[6]
Pelestarian lingkungan dari perspektif yuridis fiqhiyah hukumnya adalah wajib mendorong manusia untuk menghijaukan lingkungan. Dorongan tersebut dipertegas dengan sabda Rasul saw “iming-iming” sedeqah bagi pelaku kebaikan tersebut. Dengan kata lain, menanam pohon, menabur benih akan dipandang sebagai amal jariyah, sebagai sunnah al-hasanah dengan ganjaran, baik di dunia berupa terjaganya keseimbangan alam, sumber pangan dan papan (untuk kasus lingkungan) serta balasan akhirat. Bahkan di hadis riwayat Ahmad dari Anas bin Malik, Rasul bersabda:
حدثنا عن عبدالله حدثني إبنى بهزثناحمادثناهشم بن زيد قال سمعت أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ان قمت السعاعة وبيد أحدكم فسيلة فإن الستطاع ان لا يقوم حتى يغرسها فليفعل [7]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda, sekiranya kiamat datang, sedang di tanganmu ada anak pohon kurma, maka jika dapat (terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu)”. (HR.Ahmad).
Hadis di atas semakin memperkuat bahwa menanam pepohonan dianjurkan dalam Islam. Redaksi hadis tersebut bergaya bahasa hiperbola atau mungkin juga majazi. Mana mungkin ada orang yang masih sempat berpikir untuk menanam, ketika kiamat sudah menjelang? Lalu mengapa Nabi yang mengetahui secara pasti kondisi manusia saat menjelang kiamat, mendorong manusia menanam pepohonan saat genting begitu? Dengan demikian, pesan hadis tersebut jelas. Menanam pepohonan penting, untuk tidak mengatakan maha penting. Hadis ini jelas merupakan elaborasi dari sekian banyak ayat AlQur’an. Tetumbuhan dan berbagai istilah ikutannya disebutkan cukup banyak oleh Al-Qur’an. Sayyid Abdul Sattar al-Maliji misalnya melihat sekitar 115 ayat yang berbicara tentang tetumbuhan dalam berbagai aspeknya. Bahkan Tim Lajnah Pentaṣhih Muṣhaf Al-Qur’an menyebut 62 entri kosa kata terkait tetumbuhan dan pepohonan dalam Al-Qur’an[8]. Salah satu ayat yang mengindikasikan fungsi tetumbuhan untuk menjaga keseimbangan ekosistem yaitu Q.S. Al Mu’minūn/23:19.
فَأَنْشَأْنَا لَكُمْ بِهِ جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ لَكُمْ فِيهَا فَوَاكِهُ كَثِيرَةٌ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
Artinya: "Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak, dan sebagian dari buah-buahan itu kamu makan,"  (QS. Al Mu’minūn: 19).
Kebun atau hutan selain sebagai penyedia sumber makanan, juga sekaligus sumber papan, ekonomi dan lain-lain. Yang terpenting diantara sekian banyak fungsinya ialah menjaga ketersediaan air, menjaga labilitas tanah serta menjadi tempat bagi tumbuh berkembangnya kekayaan hayati. Namun karena manusia cenderung melampaui batas, rakus dan tamak sehingga menggunakan/memanfaatkan hutan secara berlebihan, akibatnya sangat fatal bagi lingkungan secara keseluruhan. Atas dasar ini, boleh jadi, menjadi inspirasi masyarakat dunia sekarang mengkampanyekan Go Green atas kekhawatiran meluasnya kerusakan akibat global warming. Go Green dimaksud ialah proses penghijauan dengan menanam. Nabi dalam sabdanya tidak menjelaskan apa yang ditanam, jumlahnya berapa, dimana ditanam. Esensi sabda tersebut ialah semangat menanam dan bersifat umum lagi universal. Mengenai jenis, jumlah, teknis penanaman sangat variatif dan bersifat local. Artinya tergantung kebutuhan dan kondisi lingkungan masing- masing di mana manusia itu berada.
Kematian sebuah tanah akan terjadi kalau tanah itu ditinggalkan dan tidak ditanami, tidak ada bangunan serta peradaban, kecuali kalau kemudian tumbuh didalamnya pepohonan. Tanah dikategorikan hidup apabila di dalamnya terdapat air dan pemukiman sebagai tempat tinggal. Artinya Menghidupkan lahan mati adalah ungkapan dalam khazanah keilmuan yang diambil dari pernyataan Nabi saw, dalam bagian matan hadis, yakni من أحيا أرضاً ميتةً فهي له  [9](Barang siapa yang menghidupkan tanah (lahan) mati maka ia menjadi miliknya). Dalam hadis ini Nabi saw, menegaskan bahwa status kepemilikan bagi tanah yang kosong adalah bagi mereka yang menghidupkannya, sebagai motivasi dan anjuran bagi mereka yang menghidupkannya.

3.      Adab Terhadap Lingkungan
Islam mengajarkan hidup selaras dengan alam. Banyak ayat Al-quran maupun hadis yang bercerita tentang lingkungan hidup. Dan kitab fikih yang menjadi penjabaran keduanya, masalah lingkungan ini masuk dalam bidang jinayat (hukum). Realita yang terjadi saat ini ilegaloging, penebangan pasir, pengerukan bukit, dan lain-lain, ini menunjukkan bahwa manusia dengan keegoisan dan ketamaan-nya tidak menyadari atas pebuatan dan perilakunya bahwa sudah merusak dan  kurang menjaga terhadap kelestarian lingkungan sebagai fasilitas dari Allah yang di anugrahkan kepada manusia sebagai mahluk hidup.
Ada dua ajaran dasar yang harus diperhatikan umat Islam. Dua ajaran dasar itu merupakan dua kutub di mana manusia hidup. Yang pertama, rabbul’alamin. Islam mengajar bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam. Jadi bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia, bukan itu. Dari awal manusia yang bersedia mendengarkan ajaran Islam sudah dibuka wawasannya begitu luas bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Orang Islam tidak boleh berpikiran picik, Allah SWT bukan saja Tuhan kelompok mereka, Tuhan manusia, melainkan Tuhan seluruh alam. Jadi Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua alam. Dan alam di hadapan Tuhan, sama. Semuanya dilayani oleh Allah, dilayani oleh Allah sama dengan manusia.
Kutub yang kedua adalah rahmatan lil’alamin. Artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh alam. Kalau manusia bertindak dalam semua tindakannya berdasarkan kasih sayangnya kepada seluruh alam, tidak saja sesama manusia, namun juga kepada seluruh alam. seorang Muslim yang benar-benar meyakini Alquran dan hadis, dia tidak akan sewenang-wenang terhadap alam.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.(QS. Al-A’raf: 56).
-Tafsir surat Al-A’raf: 56 menurut Ibnu Katsir
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا
Artinya “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.
Allah Swt. melarang perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan hal­hal yang membahayakan kelestariannya sesudah diper­ baiki. Karena sesungguhnya apabila segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kelestariannya, kemudian terjadilah pengrusakan padanya, hal tersebut akan membahayakan semua hamba Allah. Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, dan memerintahkan kepada mereka untuk menyembah­Nya dan berdoa kepada­Nya serta berendah diri dan memohon belas kasihan­Nya. Untuk itulah Allah Swt. Berfirman
وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا
“dan berdoalah kepada­Nya dengan rasa taha (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)”
Yakni dengan perasaan takut terhadap siksaan yang ada di sisi­Nya dan penuh harap kepada pahala berlimpah yang ada di sisi­Nya. Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:.
إنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang­orang yang berbuat baik”.
Maksudnya, sesungguhnya rahmat Allah selalu mengincar orang­orang yang berbuat kebaikan, yaitu mereka yang mengikuti perintah­perintah­Nya dan menjauhi larangan­larangan­Nya.[10]
Penulis menyimpulkan bahwasanya ayat di atas adalah larangan terhdap manusia berbuat kerusakan di muka bumi apa yang telah di ciptakan Allah dan di tata sebaik mungkin, agar manusia senantiasa menjaga dan memelihara terhadap kelestarian lingkungan dan mengagungkan terhadap ciptaan Allah sebagai bentuk rasa syukur manusia kepada sang Pencipta, dan penulis setuju  atau sependapat dengan penjelasan tafsir Ibnu katsir yang telah di uraikan di atas.

  1. Lingkungan Sebagai Suatu Sistem
Suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Atau seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Lingkungan terdiri atas unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (udara, air, tanah, iklim dan lainnya). Allah SWT berfirman :
وَالأرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ  (١٩) وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ (٢٠) وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ (٢١)
Artinya: " Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami menjadikan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan  untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. Dan tidak ada suatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. (QS. Al-hijr : 19-21)
-Tafsir surat Al-hijr : 19-21
Seorang ahli fiqih, dhamighi menjelaskan bahwa yang di maksud menbentangkan dalam surah Ar-rad 3 adalahmenghamparkan.
Sedangkan yang di aksud dalam firman-nya, “dan dialah Tuhan yang membentangkan bumi” Al-Faraa mengemukakan bahwa yang di maksud dengan membentangkan adalah menghamparkan-nya, baik panjang maupun lebarnya. Sedangkan al-Ashim mengungkapkan bahwa yang di maksud membentang adalah menghamparkan tiada batas. Batasan yang tampak oleh mata initidak menghalangi batasan yang lainkarna jauhnya batasan yang ada.
Dalam tafsirnya akan ayat ini, Maraghi mengungkapkan bahwa Allah menjadikan bumi ini keluasan bentangannya, baik panjang maupun lebarnya, dengan bentangannya itulah tapak kaki mahluk hidupmampu berdiri tegak. Hal ini pun membawa mamfaat bagi binatang maupun manusia, khususnya di bidang pertanian, dengan bentuknya itu, perut bumi pun akhirnya bias memproduksi barang tambang, di antaranya adalah minyak bumi. Dengan bentangan bumi pulalah manusia pun akhirnya bias mencari nafkah kehidupan.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya akan firmannya, “yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan”  yakni kokoh hingga manusia bias menempatinya, berdiri di atasnya, tidur dan juga bepergian di atasnya, sedangkan ar-Razi dalam tafsiran firman-Nya, “dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”, mengmukakan bahwa yang di maksud dengan menghamparkan adalah membentangkan, sedangkan yang di maksud menjadikan daripadanya gunung-gunung adalah mengukuhkan pengunungan di bumi hingga kondisi manusia tidak mudah guncang, sedangkan kata kembali dalam firman-Nya, “dan kami telah menjadikan untukmu di dalamnya” yakni bumi dan juga bias berarti pegunungan. Bila kata kembalinya adalah bumi, maka dapat di pahami bahwa yang di tumbuhkan sesuai ukuran adalah tumbuh-tumbuhan. Sedangkan bila kata kembalinya adalah pegunungan, maka yang sesuai ukuran adalah kekokohannya karena itulah yang bias menyeimbangkan bumi ini.[11]
Penulis menyimpulkan terkait dengan lingkungan hidup bahwa, bagaimana Allah mempersiapkan bumi ini hingga bisa di tempati oleh mahluknya, Allah membentangkan bumi demi kepentingan hamba-hamba-Nya, di jadikanlah pegunungan sebagai pasak yang kokoh hingga menjaga bumi dari goncangan, inilah bumi yang di lihat saat ini, bumi yang sangat indah di pemandangan, dan begitu pula pegunungannya yang banyak tersebar di muka bumi, serta beragam tumbuhan yang menjaga keseimbangannya ekosistem di muka bumi ini, dari kesemuanya inilah, Allah menjadikan kehidupan bagi manusia di muka bumi ini dan memberikan rezeqi, hingga manusia mampu bertahan hidup.

C.    Kesimpulan
Menjaga kelestarian alam dan lingkungan sekitar, Tumbuhan dan binatang merupakan bagian dari alam, diciptakan oleh Allah Swt demi kelangsungan hidup manusia  yang terus menerus, alam dan isinya, untuk dimanfaatkan manusia. dan sumber kehidupan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain pada hakikat-nya adalah bergantung pada air. Lingkungan hidup merupakan dukungan terhadap kehidupan dan kesejahteraan, Oleh karena itu lingkungan harus tetap terjaga keserasian dan kelangsungan hidupnya sehingga secara berkesinambungan tetap dalam fungsinya sebagai pendukung kehidupan. Manusia Sebagai mahluk hidup yang berasasl dari bumi,hidup di bumi, sepantasnya manusia menjaga, melestarikan, dan memanfatkan sesuai dengan kebutuhannya sebagai ungkapan syukur atas pemberian-Nya.
Ini adalah alasan yang mungkin mengapa Allah menyebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an tentang petingnya lingkungan hidup dan cara-cara Islami dalam mengelola dunia ini. Kualitas lingkungan hidup sebagai indikator pembangunan dan ajaran Islam sebagai teknologi untuk mengelola dunia jelas merupakan pesan strategis dari Allah SWT untuk diwujudkan dengan sungguh-sungguh oleh setiap muslim.











Daftar Rujukan
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah , Jakarta,Lentera Hati,2002

Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka PanjiMas,1999)

Ibnu Katsir / Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir. Bogor : Pustaka Imam Asy­Syafi'i, 2004.

Matsna, Mohammad. 2004. Al-Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Semarang: PT Karya Toha Putra
Quthb, Sayyid. 2003. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press

Shihab, Quraish. 2005. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati

Syamsuri. 2004. Pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas XI. Jakarta: Erlangga

Departemen Agama RI., Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 4 (Cet. I; Jakarta: Lajnah Pentaṣhih Muṣhaf Al-Qur’an, 1430 H/2009 M)

Dr. Ahzami Jazuli samiun kehidupan dalam pandangan Islam,(Jakrta: Gema insane press 2006),


[1] Kementerian Lingkungan Hidup, Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah (Cetakan II, Agustus 2011).Hal 12-13
[2] Mujiono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an (Cet I; Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 30
[3] Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 9 ( Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 395-396
[4] Fazhlur Rahman, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, alih bahasa M. Arifin (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 76
[5] Proses, cara, perbuatan membuat sesuatu menjadi hijau; penanaman (tanah/lereng yang telah gundul). Lihat Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., h. 498.
[6] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka PanjiMas,1999) Hal.94
[7] Aḥmad bin Ḥanbal, Musnad Āhmad bin Ḥanbal, dalam al-Maktabah al-Syāmilah, Bab
Musnad Anas bin Malik ra, Juz 3, h. 191.
[8] Lihat Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI., Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 4 (Cet. I; Jakarta: Lajnah Pentaṣhih Muṣhaf Al-Qur’an, 1430 H/2009 M), h. 1779.
[9] Abu Daud, Sunan Abu Daud, op. cit., (3073)
[10] Ibnu Katsir / Lubaabut tafsir min Ibnu Katsiir,Juz 8. Bogor : Pustaka Imam Asy­Syafi'i, 2004.hal 361-362
[11] Dr. Ahzami, kehidupan dalam pandangan Islam,(Jakrta: Gema insane press 2006),hal 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar