Sabtu, 12 Maret 2016

TAFSIR TEMATIK TENTANG SPIRITUAL



TAFSIR TEMATIK TENTANG SPIRITUAL
Fauzan Tamami (15770017)

A.  Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa petunjuk yang dibawanya adalah yang paling baik dan paling tepat. Oleh karena itu manusia diperintahkan Tuhan agar memikirkan dan menggali isi Al-Qur’an sehingga hidayah dan pelajaran dapat dipetik darinya. Usaha manusia untuk memahami Al-Qur’an serta menjelaskan makna hukum dan hikmah yang terkandung didalamnya, itu disebut tafsir.[1] Sedangkan cara yang terpikir baik-baik untuk memudahkan pelaksanaan penafsiran tersebut itulah yang kita sebut dengan metodologi.
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan mereflesikan kandungan Al-Qur’an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang represensif. Secara historis setiap penafsiran  menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Metode-metode tersebut tergantung kepada kecendrungan dari sudut pandang mufasir, serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang melingkupinya.

Di antara metode-metode tafsir yang dipakai adalah metode tahlili, ijmali, muqaran dan maudlu’i.[2] Berdasarkan metode pengambilan datanya, tafsir dapat dilakukan dengan dua cara: 1) metode tahlili; 2) metode maudlu’i. Dalam kali ini kami akan mengnalisis Al-Qur’an menggunakan metode maudlu’i.
Metode tafsir maudlu’i juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan teme-tema tertentu yang terdapat dalam Al-Qur’an.[3] Metode tematik adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai denga tema atau judul yang telah ditetapkan, dimana semua ayat yang berkaitan dihimpun dan dikaji secara mendalam dan tuntas.[4]
Dalam metode maudlu’i ini kami mengambil pokok pembahasan tentang keharusan menjaga shalat wusthaa dan melaksanakannya dengan khusyu’. Seperti yang telah tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 238 yang berbunyi:
(#qÝàÏÿ»ymn?tãÏNºuqn=¢Á9$#Ío4qn=¢Á9$#ur4sÜóâqø9$#(#qãBqè%ur¬!tûüÏFÏY»s%ÇËÌÑÈ  
Artinya: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.”
Apa yang dimaksud Wushtaa? Allah menyebutkan secara khusus diantara semua shalat, yaitu shalat wusthaa, dengan sebutan yang lebih kuat kedudukannya. Ulama salaf dan khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dari shalat wusthaa ini.
Berikut ini adalah perbedaan pendapat mengenai shalat wusthaa:
1.    Menurut suatu pendapat shalat itu adalah shalat subuh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwatta’nya melalui Ali dan Ibnu Abbas. Hisyam, Ibnu Ulayah, Gundur, Ibnu Abu Adl, Abdul Wahhab, dan Syarik serta lain-lainnya telah meriwayatkan bahwa ia pernah shalat subuh bermakmum kepada Ibnu Abbas membaca doa qunnut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata: “inilah shalat wustha yang diperintahkan kepada kita berdiri didalamnya seraya membaca qunnut”. Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Amr dari Ibnu Abbas dengan lafadz yang semisal.[5]
2.    Menurut Imam Syafi’i kata قَانِتِينَ berarti qunut dimana doa qunut dibaca pada shalat subuh, sehingga shalat wusthaa berarti shalat subuh. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa dinamakan shalat wusthaa karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak diantara dua shalat ruba’iyah yang dapat diqasar.[6]
3.    Menurut pendapat lain mengatakan, shalat wusthaa adalah shalat maghrib, karena letak waktunya diantara dua shalat jahriyah dimalam hari dan dua shalat sirri disiang hari.
4.    Menurut pendapat lain, shalat wusthaa adalah shalat lohor (dzuhur). Abu Daud At-Tayasili didalam kitab musnadnya mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi’b dari Az-Zabarqan dari Zahrah yang menceritakan, “ketika kami sedang berada didalam majlis sahabat Zaid Ibnu Tsabit, mereka (jamaah yang hadir) mengirimkan utusan kepada Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang shalat wusthaa. Maka ia berkata:
هِيَ الظَّهْرُ, كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وسَلّم يُصَلِّيهَا بِالهَجِيرِ
‘shalat wushta adalah shalat lohor, dahulu Rasulullah SAW selalu mengerjakannya diwaktu hajir (panas matahari terik sekali).[7]
5.    Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits ini melalui hadits Said Ibnu Abu Arubah dari Qatadah dari Hasan dari Samurah. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berkualitas shahih. Imam Tirmidzi pernah mendengar hadits lainnya dari Said ibnu Abu Arubah. Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Mani’, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ibnu Ata, dari At-Taimi, dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
الصّلاَةُ الْوُسْطَى صَلَاةُ الْعَصرِ
        “shalat wustha adalah adalah shalat asar”.[8]

B.  Pembahasan
1.    Pengertian
Penjelasan mengenai shalat wustha telah dijelaskan sebelumnya. Disini terjadi perbedaan pendapat mengenai definisi shalat wustha. Menurut Syaukani ia menerangkan dalam Nail Al-Autsar, bahwa ada 13 macam pendapat ulama mengenai masalah ini, dan diantara yang paling rajih (kuat) adalah keterangan jumhur yang mengatakan bahwa shalat Wushtaa ialah sholat Asar. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dan lain-lain. Dia berkata, pada mulanya kami berpendapat bahwa sholat Wushtaa iaah sholat Shubuh, sampai kami mendengar sabda Nabi Muhammad SAW dalam peperangan Ahzab[9] berbunyi:
شَغَلُونَاعَنِ الصَلاَةِ ألْوُسطَى صَلَاةِ الْعَصْرِ
“Mereka menyibukkan kami dari sholat Wushtaa, yakni sholat Asar”
                
Ibnu Mas’ud, Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, Thabrani dari Hadits Ibnu Abbas-hadits marfu’ dan riwayat Bazzar dari hadits Jabir-marfu’ dengan sanad yang Dhaif dan dari keterangan sahabat-sahabat yang lain mengatakan , shalat Asar itulah yang dimaksud dengan sholat Wushtaa. Adapun keterangan-keterangan lain yang mengatakan, bahwa sholat Wushtaa itu sholat Asar seperti dikeluarkan Malik dari hadits Ibnu Abbas dan lain-lain, semuanya itu adalah perkataan sahabat, yang tidak dapat dijadikan hujjah ketika berhadapan denga hadits marfu’.[10]
Alasan kami mengambil pokok pembahasan tentang shalat wustha ini karena para ulama’ berbeda pendapat mengartikan shalat wustha itu. Disini kami akan sedikit membahas makna dari shalat wustha itu sendiri.
2.    Ayat-ayat yang berkaitan tentang Sholat ( الصلاة )
Ayat-ayat yang berhubungan tentang Sholat ( الصلاة ) dalam Al-Qur’an terdapat dalam  bentuk. Diantaranya ialah:
1.       صَلِّ
2.       صَلَّى
3.       صَلَاتكَ
4.       صَلَاتهُ
5.       صَلَأتهمْ
6.       صَلَاتِي
7.       الصَلَاة
Kata  صَلِّdisebutkan 2 kali dalam Al-Qur’an yakni dalam Surat At-Taubah: 103 dan Al-Kautsar: 2. Kata صَلَّى disebutkan 3 kali yakni Surat Al-Qiyamah: 31, Al-A’la: 15, Al-‘Alaq: 10. Kata صَلَاتكَ disebutkan 3 kali yakni Surat At-Taubah: 103, Hud: 87, Al-Isra’: 110. Kata صَلَاتهُ disebutkan sekali yakni dalam Surat An-Nur: 41. Kata صَلَأتهمْ disebutkan 6 kali yaknu Surat Al-An’am: 92, Al-Anfal: 35, Al-Mu’minun: 2, Al- Ma’arij: 23, Al- Ma’arij: 34, Al- Maa’un: 5. Kata صَلَاتِي disebutkan sekali yakni dalam Surat Al-An’am: 162. Kata الصَلَاة disebutkan 67 kali yakni Surat Al- Baqarah: 3, Al- Baqarah: 43, Al- Baqarah: 45, Al- Baqarah: 83, Al- Baqarah: 110, Al- Baqarah: 153, Al- Baqarah: 177, Al- Baqarah: 238, Al- Baqarah: 277, An- Nisa’: 43, An- Nisa’: 77, An- Nisa’: 101, An- Nisa’: 102, An- Nisa’: 103 (disebutkan 3 kali), An- Nisa’: 142, An- Nisa’: 162, Al- Maidah: 6, Al- Maidah: 12, Al- Maidah: 55, Al- Maidah: 58, Al- Maidah: 91, Al- Maidah: 106, Al- An’am: 72, Al- A’raf: 170, Al- Anfal: 3, At- Taubah: 5, At- Taubah: 11, At- Taubah: 18, At- Taubah: 54, At- Taubah: 71, Yunus: 87, Hud: 114, Ar-Ra’d: 22, Ibrahim: 31, Ibrahim: 37, Ibrahim: 40, Al- Isra’: 78, Maryam: 31, Maryam: 55, Maryam: 59, Thaha: 14, Thaha: 132, Al- Anbiya’: 73, Al- Hajj: 35, Al- Hajj: 41, Al- Hajj: 78, An- Nur: 37, An- Nur: 56, An- Nur : 58 (disebutkan 2 kali), An- Naml: 3, Al- ‘Ankabut:  45 (disebutkan 2 kali), Ar- Rum: 31, Al- Luqman: 4, Al- Luqman: 17, Al- Ahzab: 33, Fathir: 18, Fathir: 29, As-Syura: 38, Al- Mujadalah: 13, Al- Jumu’ah: 9, Al- Jumu’ah: 10, Al- Muzammil: 20, Al- Bayyinah: 5.
3.    Fokus Ayat
Berdasarkan ayat yang telah dikumpulkan, diketahui bahwa ayat yang menjelaskan tentang perintah menjaga Sholat Wushta dan melaksanakannya dengan kusyu’ terdapat dalam Surat Al- Baqarah ayat 238 yang berbunyi:
(#qÝàÏÿ»ymn?tãÏNºuqn=¢Á9$#Ío4qn=¢Á9$#ur4sÜóâqø9$#(#qãBqè%ur¬!tûüÏFÏY»s%ÇËÌÑÈ  
Artinya: “ Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238)
4.    Kata Kunci
Setelah menentukan ayat sesuai tema yang dinginkan, ditetapkan bahwa terdapat ayat-ayat yang menjadi kata kunci dari ayat tersebut. Diantaranya ialah: Ío4qn=¢Á9$#,  (sÜóâqø9$# dan  ötûüÏFÏY»s%
1.      o4qn=¢Á9$#
Kata الصلاة(shalat) dalam Al- Qur’an terdapat 7 bentuk yakni:
a.        صَلِّdisebutkan 2 kali dalam Al-Qur’an yakni dalam Surat At-Taubah: 103 yang berarti “doa” dan Al-Kautsar: 2 yang berarti “shalat”.[11]
b.       صَلِّى disebutkan 3 kali yakni Surat Al-Qiyamah: 31, Al-A’la: 15, Al-‘Alaq: 10. Kata ini kesemuanya memiliki arti “shalat”.[12]
c.       صَلَاتكَ disebutkan 3 kali yakni Surat At-Taubah: 103 yang berarti “doa”, Hud: 87 yang berarti “agama”, Al-Isra’: 110 yang berarti “shalat”.
d.      صَلَاتهُ disebutkan sekali yakni dalam Surat An-Nur: 41 yang berarti “doa”.
e.       صَلَأتهمْ disebutkan 6 kali yakni Surat Al-An’am: 92, Al-Anfal: 35, Al-Mu’minun: 2, Al- Ma’arij: 23 dan 34, Al- Maa’un: 5. Ayat ini kesemuanya memiliki makna “shalat”.[13]
f.       صَلَاتِي disebutkan sekali yakni dalam Surat Al-An’am: 162 yang berarti “shalat”.
g.      الصَلَاة disebutkan 67 kali yakni Surat Al- Baqarah: 3, 43, 45, 83, 110, 153, 177, 238 dan 277, An- Nisa’: 43, 77, 101, 102, 103 (disebutkan 3 kali), 142 dan 162, Al- Maidah: 6, 12, 55, 58, 91 dan 106, Al- An’am: 72, Al- A’raf: 170, Al- Anfal: 3, At- Taubah: 5, 11, 18, 54 dan 71, Yunus: 87, Hud: 114, Ar-Ra’d: 22, Ibrahim: 31, 37 dan 40, Al- Isra’: 78, Maryam: 31, 55 dan 59, Thaha: 14 dan 132, Al- Anbiya’: 73, Al- Hajj: 35, 41 dan 78, An- Nur: 37, 56 dan 58 (disebutkan 2 kali), An- Naml: 3, Al- ‘Ankabut:  45 (disebutkan 2 kali), Ar- Rum: 31, Al- Luqman: 4 dan 17, Al- Ahzab: 33, Fathir: 18, Fathir: 29, As-Syura: 38, Al- Mujadalah: 13, Al- Jumu’ah: 9 dan 10, Al- Muzammil: 20, Al- Bayyinah: 5. Kesemuanya memiliki makna “shalat”.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kata الصَلَاة adalah kata yang paling banyak disebutkan yakni 67 kali yang mana makna dari kata ini adalah “shalat”. Namun tidak semua bentuk dari kata الصَلَاةmemiliki makna yang sama. Diantaranya ada yang bermakna shalat, doa dan agama. Namun tetap makna “shalat”lah yang mendominasi.
2.  sÜóâqø9$#
Kataالْوُسْطَى dalam Al- Qur’an terdapat 1 bentuk yakni dalam Surat Al- Baqarah ayat 238 yang berarti “wustha”.
Dapat disimpulkan bahwa kata ini hanya disebutkan 1 kali dalam Al-Qur’an.
3.      ûüÏFÏY»s%
Kata قَانِتِينَ dalam Al-Qur’an terdapat 5 bentuk yakni:
a.       قَانِتٌ disebutkan sekali yakni dalam Surat  Az-Zumar: 9 yang berarti “orang yang beribada
b.      قَانِتًا disebutkan sekali yakni dalam Surat An-Nahl: 120 yang berarti “patuh”
c.       قَانِتَاتٌ disebutkan 3 kali yakni Surat An-Nisa’: 34, Al-Ahzab: 35, At-Tahrim: 5. Ayat inikesemuanya memiliki makna “taat/patuh”
d.      َانِتُونَdisebutkan 2 kali yakni Surat Al- Baqarah: 116 dan Ar- Rum: 26. Ayat ini kesemuanya memiliki makna “tunduk”
e.      قَانِتِينَ disebutkan 4 kali yakni Surat Al- Baqarah: 238, Al-Imran: 17 taat, Al-Ahzab: 35 dan At-Tahrim: 12. Kesemuanya memiliki makna “taat” kecuali Al-Baqarah: 238 yang berarti “khusyu’ “
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa ayat yang paling banyak disebutkan ialah kata قَانِتِينَ . Kata disebutkan 4 kali dalam Al-Qur’an. Bentuk dari kata ini bermakna taat/patuh/tunduk namun ada sebagian yang bermakna khusyu’ dan orang perempuan.[14]

C.  Analisis Makkiyah-Madaniyah
Para ulama dalam mendefinisikan Al-Makki dan Al-Madani mempunyai 3 perbedaan definisi, yakni sebagai berikut:
1.    Al-Makki adalah sesuatu (ayat atau surat) yang diturunkan sebelum hijrah sedangkan Al- Madani adalah sesuatu yang diturunkan setelah hijrah, baik yang turun di Makkah atau di Madinah, turun pada tahun futh al- makkah atau tahun terjadinya Haji Wada’. Utsman bin Said Ad-Darimi mengeluarkan sebuah riwayat dengan sanadnya yang sampai pada Yahya bin Salam, ia berkata: “Apa yang diturunkan di Makkah dan apa yang diturunkan di perjalanan menuju ke Madinah sebelum Nabi SAW sampai di Madinah, maka hal itu termasuk Al-Makki, dan apa yang diturunkan kepada Nabi SAW dalam perjalanannya setelah sampai di Madinah maka itu termasuk Al-Madani”. Ini merupaka atsar yang baik, yang diambil kesimpulan darinya bahwa “apa yang diturunkan dalam perjalanan hijrah, secara istilah disebut Makki”
2.    Al-Makki adalah sesuatu yang diturunkan di Makkah meskipun setelah hijrah sedangkan Al-Madani adalah sesuatu yang diturunkan di Madinah. Berdasarkan definisi ini maka ada posisi ayat atau surat yang ditengah, artinya bahwa apa yang diturunkan pada saat Nabi SAW bepergian (diluar Makkah dan Madinah) maka tidak dapat disebut Makkiyah atau Madinah. Imam At-Thabrani mengeluarkan sebuah riwayat didalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Kabir melalui Al-Walid bin Muslim, dari ‘Ufair bin Mi’dan dari Ibnu Amir dari Abi Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dalam tiga tempat: Makkah, Madinah dan Syam”. Walid bin Muslim berkata, “ (yang dimaksud dengan Syam) adalah adalah Baitul Maqdis. Syekh Imaduddin bin Katsir berkata, “tetapi ditafsirkan dengan Tabuk itu lebih baik”. Imam As-Suyuti berkata, “termasuk di Makkah dan sekelilingnya, seperti yang diturunkan di Mina, Arafat, dan Hudaibiyah dan termasuk di Madinah dan sekelilingnya apa yang diturunkan di Badr, Uhud, dan (gunung) Sala”.
3.    Al-Makki adalah sesuatu yang ditujukan untuk ahli Makkah sedangkan Al-Madani adalah sesuatu yang ditujukan untuk ahli Madinah. Al-Qadhi Abu Bakar berkata dalam kitabnya Al-Intishar, “Sesungguhnya untuk mengetahui Al-Makki dan Al-Madani itu dikembalikan pada hafalan sahabat dan tabi’in dan tidak ada suatu perkataan dari Nabi SAW tentang hal itu, karena itu tidak diperintahkan dan Allah SWT tidak menjadikan mengetahui sejarah nasikh dan mansukh yang dapat diketahui tanpa harus ada nash dari Rasulullah SAW.
Ditinjau dari aspek Asbabun Nuzulnya, maka surat-surat itu dibagi 2 yakni Makkiyah dan Madaniyah. Dibawah ini adalah perbedaan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah: 
a.      Ayat Makkiyah pendek-pendek dan dinamai ayat Qishar , sedangkan ayat Madaniyah panjang-panjang dan dinamai ayat Thiwal.[15]
b.       Kebanyakan ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan perkataan""الذين امنوايآايهاhanya ada beberapa ayat Madaniyah yang dimulai dengan "يا ايها الناس".[16]
c.     Ayat Makkiyah kebanyakan mengandung soal tauhid (kepercayaan) adanya Allah, hal ihwal ‘adzab dan nikmat di hari akhir serta urusan kebaikan-kebaikan. Sedangkan ayat-ayat hukum banyak terdapat di ayat Madaniyah.[17]
Dari penjelasan diatas, ayat-ayat tentang sholat ini bisa dibagi ke dalam ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Berikut  ini adalah pembagiannya
KATA KUNCI
MAKKIYAH
MADANIYAH
الصلاة
صلّ
QS. Al- Kautsar: 2
QS. At-Taubah: 103
صلى
QS. Al-Qiyamah: 31
QS. Al-A’la: 15
QS. Al-‘Alaq: 10

صلاتك
QS. Hud: 87
QS. Al-Isra’: 110
QS. At-Taubah: 103
صلاته

QS. An-Nur: 41
صلاتهم
QS. Al-An’am: 92
QS. Al-Anfal: 35
QS. Al-Mu’minun: 2
QS. Al-Ma’arij: 23 dan 34
QS. Al-Ma’un: 5
صلاتي
QS. Al-An’am: 162

صلاة
QS. Al- An’am ayat 72 
QS. Yunus ayat 87
QS. Ibrahim ayat 31, 37 dan 40
QS. Maryam ayat 31, 55 dan 59
QS. Thaha ayat 14 dan 132
QS. Al-Anbiya’ ayat 73
QS. An-Naml ayat 3
QS. Al-Ankabut ayat 45
QS. Ar- Rum ayat 31
QS. Luqman ayat 4 dan 17
QS. Fathir ayat 18 dan 29
QS. As-Syura ayat 38
QS. Al-Baqarah ayat 3, 43, 45, 83, 110, 153, 177, 238 dan 277
QS. An-Nisa’ ayat 43, 77, 101, 102, 103, 142 dan 162
QS. Al-Maidah ayat 6, 12, 55, 58, 91 dan 106
QS. Al- A’raf ayat 170
QS. Al-Anfal ayat 3
QS. At-Taubah ayat 5, 11, 18, 54 dan 71
QS. Hud ayat 114
QS. Ar- Ra’d ayat 22
QS. Al- Isra’ ayat 78
QS. Al- Hajj ayat 35, 41 dan 78
QS. An-Nur ayat 37, 56 dan 58
QS. Al- Ahzab ayat 33
QS. Al- Mujadalah ayat 13
QS. Al- Jumu’ah ayat 9 dan 10
QS. Al- Muzammil ayat 20
QS. Al- Bayyinah ayat 5
الوسطى
الوسطى
                
QS. Al-Baqarah: 238
قانتين
قانت
QS. Az-Zumar: 9

قانتاً
QS. An-Nahl: 120

قانتات

QS. An-Nisa’: 4
QS. Al-Ahzab: 35
QS. At-Tahrim: 5
قانتون
QS. Ar-Rum: 26
QS. Al-Baqarah: 116
قانتين

QS. Al-Baqarah: 238
QS. Al-Imran:17
QS. Al-Ahzab: 35
QS. At-Tahrim: 12

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ayat-ayat yang tergolong ayat makkiyah berjumlah 36 sedangkan ayat-ayat yang tergolong ayat madaniyah berjumlah 54. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang membahas tentang shalat lebih banyak tergolong dalam ayat madaniyah.

D.  Analisis Asbabun Nuzul
Ulama yang pertama kali menyusun kitan tentang sababun nuzul adalah Ali Ibnu Al-Madini, guru Imam Bukhari. Diantara yang paling populer adalah kitab Al-Wahidi, betapapun di dalam kitab itu terdapat kekurangan, dan kitab itu telah diringkas oleh Al-Ja’bari yang membuang sanad-sanadnya dan tidak menambah sedikitpun.
Syekhul Islam Abul Fadhl Ibnu Hajar juga telah menyusun kitab tentang sababun nuzul ini, tetapi masih berbentuk tulisan tangan dan terburu meninggal. Tetapi Imam Jalaluddin As-Suyuthi telah menyusun suatu kitab sababun nuzul secara lengkap, ringkas dan teliti yang belum pernah ada kitab yang menyamai yakni Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzuul.
Imam Ja’bari mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian: bagian pertama turun sejak awal (tidak ada sebab musababnya), sedangkan bagian yang lainnya itu disertai  dengan adanya peristiwa atau adanya pertanyaan.[18]
Faedah-faedah mengetahui sebab turunnya suatu ayat diantaranya adalah:
a.    Mengetahui hukum Allah secara tertentu terhadap apa yang disyariatkan-Nya
b.     Menjadi penolong dalam memahami makna ayat dan menghilangkan kemuskilan-kemuskilan disekitar ayat itu Imam Ibnu Taimiyah berkata: “mengetahui sebab nuzul membantu kita dalam memahami makna ayat, karena sudah terang diketahui, bahwa mengetahui sebab menghasilkan ilmu tentang musabbab. Sebaliknya tidak mengetahui sebab, menimbulkan keragu-raguan dan kemuskilan dan menempatkan nash-nash yang lahir ditempat musytarak”.[19]
Dalam fokus ayat disini termasuk yang memiliki sebab musababnya. Berikut ini adalah asbabun nuzul tentang fokus ayat diatas.
Ahmad Al- Bukhari dalam Tarikhnya, Abu Dawud, Al- Baihaqi, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi SAW melakukan shalat Dhuhur ketika siang hari. Dan ketika itu shalat dhuhur adalah shalat yang paling berat bagi para sahabat. Maka turunlah firman Allah: “ Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238).[20]
Ahmad, An- Nasa’i, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi SAW shalat dhuhur pada siang hari. Ketika itu makmum dibelakang beliau hany ada satu atau dua shaf saja. Karena pada saat-saat itu orang-orang sedang tidur siang atau sedang berniaga. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “ Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238).[21]
Al- Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An- Nasa’i, Ibnu Majah dan yang lainnya meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia berkata: : ”Pada zaman Rasulullah, ketika sedang shalat kami berbicara dengan sahabat lain yang juga sedang shalat disisi kami. Hingga turunlah firman Allah: “...dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238). Maka kami diperintahkan untuk khusyu’ dan kami dilarang berbicara ketika shalat.”[22]
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Al- Mujahid, dia berkata: “Dulu orang-orang muslim berbincang-bincang ketika sedang shalat, mereka juga biasa menyuruh saudaranya untuk suatu keperluan, maka Allah menurunkan firman-Nya: “...dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238)

E.  Analisis Munasabah
Munasabah secara bahasa adalah perpadanan dan kedekatan, yaitu tempat kembalinya ayat-ayat kepada suatu makna yang menghubungkan dengannya, baik yang umum maupun yang khusus, yang bersifat logika, indriawi, khayalan, maupun hubungan-hubungan yang lain atau keterkaitan yang bersifat logika, seperti antara sebab dengan akibat, antara dua hal yang sepadan, dua hal yang berlawanan dan sebagainya.[23] Sedangkan menurut terminologi dapat didefinisikan sebagai berikut:
1.  Menurut az-Zarkasyi, Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu menerimanya.
2. Menurut Ibnu al-‘Araby, Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
3.  Menurut al-Biqai, Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Dalam bahasa inggris artinya suitability, adaquacy, analogy. Namun sebagai instrumen analisis Al-Qur’an, munasabah dimaksudkan sebagai langkah analisis Al-Qur’an dengan jalan persamaan (مشاكلة) dan mencari kedekatan (مقاربة) makna yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menggunakan ilmu munasabah ialah Abu Bakar An-Naisabu yang digunakan pertama kali di Irak untuk mengajar santrinya dalam mencari makna dalam Al-Qur’an.
Faedah-faedah yang dapat diambil dalam menggunakan ilmu munasabah ini yakni menjadikan bagian-bagian ayat itu berkaitan dengan yang lainnya. Dengan demikian, hubungannya akan menjadi kuat sehingga jadilah susunannya seperti susunan bangunan yang kukuh dan harmonis antara bagian-bagiannya. Penyebutan suatu ayat setelah ayat lainnya itu ada kalanya memiliki hubungan yang jelas. Demikian juga jika ayat yang kedua merupakan penegasan atau penafsiran atau badal maka bagian ini tidak membutuhkan pembicaraan lebih lanjut.
As-Suyuti menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah:
Memperhatikan tujuan pembahasan surat yang menjadi objek pencarian
Memperhatikan urutan ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat
Menentukan tingkatan urutan-urutan itu apakah ada hubungannya atau tidak
Memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan dalam mengambil kesimpulan
Cara menggunakan ilmu munasabah untuk mencari makna dalam Al-Qur’an yakni menganalisis korelasi makna dengan cara memperhatikan simbol-simbol yang digunakan dalam ayat. Kemudian mencari hubungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu bisa berbentuk:
1. Permisalan atau pemadanan (التمثيل)
2. Perlawanan (المضدة)
3. Akhir pembicaraan (الأستدرة)
4. Mengalihkan pembicaraan (المتخلس)
Berikut ini munasabah mengenai ayat-ayat yang dibahas dengan ayat sebelum ataupun sesudahnya:
Pokok pembahasan firman Allah Al-Baqarah: 238
(#qÝàÏÿ»ymn?tãÏNºuqn=¢Á9$#Ío4qn=¢Á9$#ur4sÜóâqø9$#(#qãBqè%ur¬!tûüÏFÏY»s%ÇËÌÑÈ  
(Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'). Ayat ini disebutkan setelah Al-Baqarah: 237

bÎ)ur£`èdqßJçFø)¯=sÛ`ÏBÈ@ö6s%br&£`èdq¡yJs?ôs%uróOçFôÊtsù£`çlm;ZpŸÒƒÌsùß#óÁÏYsù$tB÷LäêôÊtsùHwÎ)br&šcqàÿ÷ètƒ÷rr&(#uqàÿ÷ètƒÏ%©!$#¾ÍnÏuÎäoyø)ããÇy%s3ÏiZ9$#4br&ur(#þqàÿ÷ès?ÛUtø%r&3uqø)­G=Ï94Ÿwur(#âq|¡Ys?Ÿ@ôÒxÿø9$#öNä3uZ÷t4¨bÎ)©!$#$yJÎtbqè=yJ÷ès?ÅÁtÇËÌÐÈ  

(Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan).
Dari ayat-ayat diatas, hubungan antara fokus ayat dengan ayat sebelumnya ialah dalam bentuk المتخلس (mengalihkan pembicaraan). Dimana dalam bentuk ini berpindah dari suatu pembicaraan kepada pembicaraan yang lain dengan maksud untuk memberikan semangat kepada pendengarnya. Dalam ayat sebelumnya menjelaskan tentang hak-hak istri dan ketentuan suami jika menceraikan istrinya. Sedangkan ayat selanjutnya menjelaskan tentang keharusan menjaga shalat dan mengerjakannya dengan khusyu’. Hal ini bertentangan sekali antara topik ayat sebelumnya dengan setelahnya.
Sedangkan jika dihubungkan dengan ayat setelahnya, yakni dalam Al-Baqarah: 238
÷bÎ*sùóOçFøÿÅz»w$y_̍sù÷rr&$ZR$t7ø.â(!#sŒÎ*sù÷LäêYÏBr&(#rãà2øŒ$$sù©!$#$yJx.Nà6yJ¯=tæ$¨BöNs9(#qçRqä3s?šcqãKn=÷ès?ÇËÌÒÈ  
(Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui)
Hubungan antara keduanya menggunakan bentuk  التمثيل (permisalan/pemadanan). Dimana dalam bentuk ini menyambungkan sesuatu yang sepadan dengan padanannya. Hal ini jelas ketika fokus ayat menjelaskan tentang keharusan menjaga shalat dan melaksanakannya dengan khusyu’ kemudian dilanjutkan kembali ayat setelahnya yakni apabila kita tidak mampu untuk melaksanakan shalat secara benar dan sempurna, maka kita boleh melaksanakan shalat dengan berjalan atau berkendaraan, baik menghadap kiblat atau membelakanginya. Menurut riwayat yang shahih, ayat diatas menjelaskan keadaan dimana kita sedang dalam keadaan perang  atau pertempuran sengit


F.   Analisis Penulis
Pemahaman penulis sholat wustho adalah sholat ‘ashar itu berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan olehImam Tirmidzi meriwayatkan hadits ini melalui hadits Said Ibnu Abu Arubah dari Qatadah dari Hasan dari Samurah. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berkualitas shahih. Imam Tirmidzi pernah mendengar hadits lainnya dari Said ibnu Abu Arubah. Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Mani’, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ibnu Ata, dari At-Taimi, dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
الصّلاَةُ الْوُسْطَى صَلَاةُ الْعَصرِ
           “shalat wustha adalah adalah shalat asar”.
Karena hadits yang diriwayatkan itu berkualitas shohih, dan keterangan dari asbabul nuzul dariturunnya ayat  tersebut, maka penulis berpendapat seperti itu, bahwa: sholat wustho adalah sholat ‘asahar.

G. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam  menafsirkan Al-Qur’an kita bisa mengumpulkan data melalui metode tafsir maudlu’i. Dimana dalam tafsir maudlu’i ini mula-mula mengumpulkan ayat yang berkenaan dengan satu maudlu’ tertentu dengan memerhatikan masa dan sebab turunnya. Kemudian mempelajari ayat tersebut secara cermat dengan memerhatikan nisbat(korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan.  Perlu diketahui, dalam metode maudlu’i ini ada beberapa kronologi yang harus ditempuh dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Diantaranya ialah membuat kronologi ayat melalui analisis makkiyah-madaniyah, analisis asbabun nuzul, analisis ilmu qiro’ah dan analisis munasabah. Sehingga dengan sempurnanya metodologi tersebut, kita bisa mengambil faedah dari Al-Qur’an diantaranya: Menggali mukjizat al-Qur’an dari segi bahasanya,  sehingga dapat lebih meyakinkan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat Allah bagi Nabi Muhammad SAW, juga untuk memahami makna yang dikandungnya sehingga akan lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap al-Qur’an ataupun membantu dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga mempermudah dalam  penjelasan hukum.

Daftar Rujukan

Syafe’i,Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006)

Salim,Muin. Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2005)

Nashruddin, Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)

Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000)

Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: kencana, 2006)

Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-karim (Lebanon: Dar Al-Marefah, 1992)

Jalaluddin As-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif I terj. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008)

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:  PT. Pustaka Rizki Putra, 2000)

HR Abu Dawud dalam Kitabus Shalat, No. 348 dan HR Ahmad dalam Al- Musnad, No. 20612

HR An- Nasa’i dalam Kitabus Shalat, No. 1204 dan Ahmad dalam Al- Musnad No. 20793

HR Bukhari dalam Kitabus Shalat, No. 1125 dan HR An Nasa’i dalam No. 1204


[1]Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hal 291
[2]Abd. Muin Salim, MA, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2005) hal 41
[3]Ibid, hal 41
[4]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) hal 151
[5]Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000) hal 595
[6]Ibid, hal 596
[7]Ibid, hal 597
[8]Ibid, hal 603
[9]Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: kencana, 2006) hal 154
[10]Ibid, hal 154
[11]Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-karim (Lebanon: Dar Al-Marefah, 1992) hal 644

[12]Ibid, hal 644
[13]Ibid, hal 645
[14]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif I terj. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hal 38
[15]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:  PT. Pustaka Rizki Putra, 2000) hal 56
[16]Ibid, hal 56
[17]Ibid, hal 57
[18]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif  I  terj. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hal 121

[19]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000) hal 64
[20]HR Abu Dawud dalam Kitabus Shalat, No. 348 dan HR Ahmad dalam Al- Musnad, No. 20612

[21]HR An- Nasa’i dalam Kitabus Shalat, No. 1204 dan Ahmad dalam Al- Musnad No. 20793


[23]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif II  terj. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hal  625

Tidak ada komentar:

Posting Komentar