TAFSIR
TEMATIK TENTANG SPIRITUAL
Fauzan Tamami (15770017)
A. Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi
manusia. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa petunjuk yang dibawanya adalah yang
paling baik dan paling tepat. Oleh karena itu manusia diperintahkan Tuhan agar
memikirkan dan menggali isi Al-Qur’an sehingga hidayah dan pelajaran dapat
dipetik darinya. Usaha manusia untuk memahami Al-Qur’an serta menjelaskan makna
hukum dan hikmah yang terkandung didalamnya, itu disebut tafsir.[1]
Sedangkan cara yang terpikir baik-baik untuk memudahkan pelaksanaan penafsiran
tersebut itulah yang kita sebut dengan metodologi.
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan
mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan mereflesikan kandungan
Al-Qur’an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga
menghasilkan suatu karya tafsir yang represensif. Secara historis setiap
penafsiran menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Metode-metode tersebut tergantung kepada kecendrungan dari sudut
pandang mufasir, serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang
melingkupinya.
Di antara
metode-metode tafsir yang dipakai adalah metode tahlili, ijmali, muqaran dan
maudlu’i.[2]
Berdasarkan metode pengambilan datanya, tafsir dapat dilakukan dengan dua cara:
1) metode tahlili; 2) metode maudlu’i. Dalam kali ini kami akan mengnalisis
Al-Qur’an menggunakan metode maudlu’i.
Metode tafsir maudlu’i juga disebut dengan metode
tematik karena pembahasannya berdasarkan teme-tema tertentu yang terdapat dalam
Al-Qur’an.[3]
Metode tematik adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai denga tema atau judul
yang telah ditetapkan, dimana semua ayat yang berkaitan dihimpun dan dikaji
secara mendalam dan tuntas.[4]
Dalam metode maudlu’i ini kami mengambil pokok
pembahasan tentang keharusan menjaga shalat wusthaa dan melaksanakannya dengan
khusyu’. Seperti yang telah tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 238
yang berbunyi:
(#qÝàÏÿ»ymn?tãÏNºuqn=¢Á9$#Ío4qn=¢Á9$#ur4sÜóâqø9$#(#qãBqè%ur¬!tûüÏFÏY»s%ÇËÌÑÈ
Artinya: “Peliharalah
semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu'.”
Apa yang dimaksud Wushtaa? Allah menyebutkan secara
khusus diantara semua shalat, yaitu shalat wusthaa, dengan sebutan yang lebih
kuat kedudukannya. Ulama salaf dan khalaf berselisih pendapat mengenai makna
yang dimaksud dari shalat wusthaa ini.
Berikut ini adalah perbedaan pendapat mengenai shalat
wusthaa:
1.
Menurut
suatu pendapat shalat itu adalah shalat subuh, seperti yang diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam kitab Muwatta’nya melalui Ali dan Ibnu Abbas. Hisyam,
Ibnu Ulayah, Gundur, Ibnu Abu Adl, Abdul Wahhab, dan Syarik serta lain-lainnya
telah meriwayatkan bahwa ia pernah shalat subuh bermakmum kepada Ibnu Abbas
membaca doa qunnut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata:
“inilah shalat wustha yang diperintahkan kepada kita berdiri didalamnya seraya
membaca qunnut”. Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Amr dari Ibnu Abbas dengan
lafadz yang semisal.[5]
2.
Menurut Imam
Syafi’i kata قَانِتِينَ berarti
qunut dimana doa qunut dibaca pada shalat subuh, sehingga shalat wusthaa
berarti shalat subuh. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa dinamakan shalat
wusthaa karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak diantara dua shalat
ruba’iyah yang dapat diqasar.[6]
3.
Menurut
pendapat lain mengatakan, shalat wusthaa adalah shalat maghrib, karena letak
waktunya diantara dua shalat jahriyah dimalam hari dan dua shalat
sirri disiang hari.
4.
Menurut
pendapat lain, shalat wusthaa adalah shalat lohor (dzuhur). Abu Daud
At-Tayasili didalam kitab musnadnya mengatakan telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abu Zi’b dari Az-Zabarqan dari Zahrah yang menceritakan, “ketika kami
sedang berada didalam majlis sahabat Zaid Ibnu Tsabit, mereka (jamaah yang
hadir) mengirimkan utusan kepada Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang
shalat wusthaa. Maka ia berkata:
هِيَ الظَّهْرُ, كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله
عَلَيْهِ وسَلّم يُصَلِّيهَا بِالهَجِيرِ
‘shalat
wushta adalah shalat lohor, dahulu Rasulullah SAW selalu mengerjakannya diwaktu
hajir (panas matahari terik sekali).[7]
5.
Imam
Tirmidzi meriwayatkan hadits ini melalui hadits Said Ibnu Abu Arubah dari
Qatadah dari Hasan dari Samurah. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini
berkualitas shahih. Imam Tirmidzi pernah mendengar hadits lainnya dari
Said ibnu Abu Arubah. Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami
Ahmad Ibnu Mani’, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ibnu Ata, dari
At-Taimi, dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda:
الصّلاَةُ الْوُسْطَى صَلَاةُ الْعَصرِ
“shalat
wustha adalah adalah shalat asar”.[8]
B. Pembahasan
1. Pengertian
Penjelasan mengenai shalat wustha telah dijelaskan
sebelumnya. Disini terjadi perbedaan pendapat mengenai definisi shalat wustha.
Menurut Syaukani ia menerangkan dalam Nail Al-Autsar, bahwa ada 13 macam
pendapat ulama mengenai masalah ini, dan diantara yang paling rajih (kuat)
adalah keterangan jumhur yang mengatakan bahwa shalat Wushtaa ialah sholat
Asar. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dan lain-lain.
Dia berkata, pada mulanya kami berpendapat bahwa sholat Wushtaa iaah sholat
Shubuh, sampai kami mendengar sabda Nabi Muhammad SAW dalam peperangan Ahzab[9]
berbunyi:
شَغَلُونَاعَنِ
الصَلاَةِ ألْوُسطَى صَلَاةِ الْعَصْرِ
“Mereka menyibukkan kami dari sholat
Wushtaa, yakni sholat Asar”
Ibnu Mas’ud, Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, Thabrani dari
Hadits Ibnu Abbas-hadits marfu’ dan riwayat Bazzar dari hadits Jabir-marfu’
dengan sanad yang Dhaif dan dari keterangan sahabat-sahabat yang lain
mengatakan , shalat Asar itulah yang dimaksud dengan sholat Wushtaa. Adapun
keterangan-keterangan lain yang mengatakan, bahwa sholat Wushtaa itu sholat
Asar seperti dikeluarkan Malik dari hadits Ibnu Abbas dan lain-lain, semuanya
itu adalah perkataan sahabat, yang tidak dapat dijadikan hujjah ketika
berhadapan denga hadits marfu’.[10]
Alasan kami mengambil pokok pembahasan tentang shalat
wustha ini karena para ulama’ berbeda pendapat mengartikan shalat wustha itu.
Disini kami akan sedikit membahas makna dari shalat wustha itu sendiri.
2. Ayat-ayat yang berkaitan tentang Sholat ( الصلاة
)
Ayat-ayat yang berhubungan tentang Sholat ( الصلاة
) dalam Al-Qur’an terdapat dalam bentuk. Diantaranya ialah:
1. صَلِّ
2. صَلَّى
3. صَلَاتكَ
4. صَلَاتهُ
5. صَلَأتهمْ
6. صَلَاتِي
7. الصَلَاة
Kata صَلِّdisebutkan 2
kali dalam Al-Qur’an yakni dalam Surat At-Taubah: 103 dan Al-Kautsar: 2. Kata صَلَّى
disebutkan 3 kali yakni Surat Al-Qiyamah: 31, Al-A’la: 15, Al-‘Alaq: 10. Kata صَلَاتكَ
disebutkan 3 kali yakni Surat At-Taubah: 103, Hud: 87, Al-Isra’: 110. Kata صَلَاتهُ
disebutkan sekali yakni dalam Surat An-Nur: 41. Kata صَلَأتهمْ
disebutkan 6 kali yaknu Surat Al-An’am: 92, Al-Anfal: 35, Al-Mu’minun: 2, Al-
Ma’arij: 23, Al- Ma’arij: 34, Al- Maa’un: 5. Kata صَلَاتِي
disebutkan sekali yakni dalam Surat Al-An’am: 162. Kata الصَلَاة
disebutkan 67 kali yakni Surat Al- Baqarah: 3, Al- Baqarah: 43, Al- Baqarah:
45, Al- Baqarah: 83, Al- Baqarah: 110, Al- Baqarah: 153, Al- Baqarah: 177, Al-
Baqarah: 238, Al- Baqarah: 277, An- Nisa’: 43, An- Nisa’: 77, An- Nisa’: 101,
An- Nisa’: 102, An- Nisa’: 103 (disebutkan 3 kali), An- Nisa’: 142, An- Nisa’:
162, Al- Maidah: 6, Al- Maidah: 12, Al- Maidah: 55, Al- Maidah: 58, Al- Maidah:
91, Al- Maidah: 106, Al- An’am: 72, Al- A’raf: 170, Al- Anfal: 3, At- Taubah:
5, At- Taubah: 11, At- Taubah: 18, At- Taubah: 54, At- Taubah: 71, Yunus: 87,
Hud: 114, Ar-Ra’d: 22, Ibrahim: 31, Ibrahim: 37, Ibrahim: 40, Al- Isra’: 78,
Maryam: 31, Maryam: 55, Maryam: 59, Thaha: 14, Thaha: 132, Al- Anbiya’: 73, Al-
Hajj: 35, Al- Hajj: 41, Al- Hajj: 78, An- Nur: 37, An- Nur: 56, An- Nur : 58
(disebutkan 2 kali), An- Naml: 3, Al- ‘Ankabut: 45 (disebutkan 2 kali), Ar-
Rum: 31, Al- Luqman: 4, Al- Luqman: 17, Al- Ahzab: 33, Fathir: 18, Fathir: 29,
As-Syura: 38, Al- Mujadalah: 13, Al- Jumu’ah: 9, Al- Jumu’ah: 10, Al- Muzammil:
20, Al- Bayyinah: 5.
3. Fokus Ayat
Berdasarkan ayat yang telah dikumpulkan, diketahui
bahwa ayat yang menjelaskan tentang perintah menjaga Sholat Wushta dan
melaksanakannya dengan kusyu’ terdapat dalam Surat Al- Baqarah ayat 238 yang
berbunyi:
(#qÝàÏÿ»ymn?tãÏNºuqn=¢Á9$#Ío4qn=¢Á9$#ur4sÜóâqø9$#(#qãBqè%ur¬!tûüÏFÏY»s%ÇËÌÑÈ
Artinya: “
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238)
4. Kata Kunci
Setelah menentukan ayat sesuai tema yang dinginkan,
ditetapkan bahwa terdapat ayat-ayat yang menjadi kata kunci dari ayat tersebut.
Diantaranya ialah: Ío4qn=¢Á9$#, (sÜóâqø9$# dan ötûüÏFÏY»s%
1.
o4qn=¢Á9$#
Kata الصلاة(shalat)
dalam Al- Qur’an terdapat 7 bentuk yakni:
a. صَلِّdisebutkan 2
kali dalam Al-Qur’an yakni dalam Surat At-Taubah: 103 yang berarti “doa” dan
Al-Kautsar: 2 yang berarti “shalat”.[11]
b. صَلِّى
disebutkan 3 kali yakni Surat Al-Qiyamah: 31, Al-A’la: 15, Al-‘Alaq: 10. Kata
ini kesemuanya memiliki arti “shalat”.[12]
c. صَلَاتكَ
disebutkan 3 kali yakni Surat At-Taubah: 103 yang berarti “doa”, Hud: 87 yang
berarti “agama”, Al-Isra’: 110 yang berarti “shalat”.
d. صَلَاتهُ
disebutkan sekali yakni dalam Surat An-Nur: 41 yang berarti “doa”.
e. صَلَأتهمْ
disebutkan 6 kali yakni Surat Al-An’am: 92, Al-Anfal: 35, Al-Mu’minun: 2, Al-
Ma’arij: 23 dan 34, Al- Maa’un: 5. Ayat ini kesemuanya memiliki makna “shalat”.[13]
f. صَلَاتِي
disebutkan sekali yakni dalam Surat Al-An’am: 162 yang berarti “shalat”.
g. الصَلَاة
disebutkan 67 kali yakni Surat Al- Baqarah: 3, 43, 45, 83, 110, 153, 177, 238
dan 277, An- Nisa’: 43, 77, 101, 102, 103 (disebutkan 3 kali), 142 dan 162, Al-
Maidah: 6, 12, 55, 58, 91 dan 106, Al- An’am: 72, Al- A’raf: 170, Al- Anfal: 3,
At- Taubah: 5, 11, 18, 54 dan 71, Yunus: 87, Hud: 114, Ar-Ra’d: 22, Ibrahim:
31, 37 dan 40, Al- Isra’: 78, Maryam: 31, 55 dan 59, Thaha: 14 dan 132, Al-
Anbiya’: 73, Al- Hajj: 35, 41 dan 78, An- Nur: 37, 56 dan 58 (disebutkan 2
kali), An- Naml: 3, Al- ‘Ankabut: 45 (disebutkan 2 kali), Ar- Rum: 31,
Al- Luqman: 4 dan 17, Al- Ahzab: 33, Fathir: 18, Fathir: 29, As-Syura: 38, Al-
Mujadalah: 13, Al- Jumu’ah: 9 dan 10, Al- Muzammil: 20, Al- Bayyinah: 5.
Kesemuanya memiliki makna “shalat”.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kata الصَلَاة
adalah kata yang paling banyak disebutkan yakni 67 kali yang mana makna dari
kata ini adalah “shalat”. Namun tidak semua bentuk dari kata الصَلَاةmemiliki
makna yang sama. Diantaranya ada yang bermakna shalat, doa dan agama. Namun
tetap makna “shalat”lah yang mendominasi.
2. sÜóâqø9$#
Kataالْوُسْطَى dalam
Al- Qur’an terdapat 1 bentuk yakni dalam Surat Al- Baqarah ayat 238 yang
berarti “wustha”.
Dapat disimpulkan bahwa kata ini hanya disebutkan 1
kali dalam Al-Qur’an.
3. ûüÏFÏY»s%
Kata قَانِتِينَ
dalam Al-Qur’an terdapat 5 bentuk yakni:
b. قَانِتًا
disebutkan sekali yakni dalam Surat An-Nahl: 120 yang berarti “patuh”
c. قَانِتَاتٌ
disebutkan 3 kali yakni Surat An-Nisa’: 34, Al-Ahzab: 35, At-Tahrim: 5. Ayat
inikesemuanya memiliki makna “taat/patuh”
d. َانِتُونَdisebutkan 2
kali yakni Surat Al- Baqarah: 116 dan Ar- Rum: 26. Ayat ini kesemuanya memiliki
makna “tunduk”
e. قَانِتِينَ
disebutkan 4
kali yakni Surat Al- Baqarah: 238, Al-Imran: 17 taat, Al-Ahzab: 35 dan
At-Tahrim: 12. Kesemuanya memiliki makna “taat” kecuali Al-Baqarah: 238 yang
berarti “khusyu’ “
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa ayat yang
paling banyak disebutkan ialah kata قَانِتِينَ
. Kata disebutkan 4 kali dalam Al-Qur’an. Bentuk dari kata ini bermakna
taat/patuh/tunduk namun ada sebagian yang bermakna khusyu’ dan orang perempuan.[14]
C. Analisis Makkiyah-Madaniyah
Para ulama dalam mendefinisikan
Al-Makki dan Al-Madani mempunyai 3 perbedaan definisi, yakni sebagai berikut:
1.
Al-Makki
adalah sesuatu (ayat atau surat) yang diturunkan sebelum hijrah sedangkan Al-
Madani adalah sesuatu yang diturunkan setelah hijrah, baik yang turun di Makkah
atau di Madinah, turun pada tahun futh al- makkah atau tahun terjadinya
Haji Wada’. Utsman bin Said Ad-Darimi mengeluarkan sebuah riwayat dengan
sanadnya yang sampai pada Yahya bin Salam, ia berkata: “Apa yang diturunkan di
Makkah dan apa yang diturunkan di perjalanan menuju ke Madinah sebelum Nabi SAW
sampai di Madinah, maka hal itu termasuk Al-Makki, dan apa yang diturunkan
kepada Nabi SAW dalam perjalanannya setelah sampai di Madinah maka itu termasuk
Al-Madani”. Ini merupaka atsar yang baik, yang diambil kesimpulan
darinya bahwa “apa yang diturunkan dalam perjalanan hijrah, secara istilah
disebut Makki”
2.
Al-Makki
adalah sesuatu yang diturunkan di Makkah meskipun setelah hijrah sedangkan
Al-Madani adalah sesuatu yang diturunkan di Madinah. Berdasarkan definisi ini
maka ada posisi ayat atau surat yang ditengah, artinya bahwa apa yang diturunkan
pada saat Nabi SAW bepergian (diluar Makkah dan Madinah) maka tidak dapat
disebut Makkiyah atau Madinah. Imam At-Thabrani mengeluarkan sebuah riwayat
didalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Kabir melalui Al-Walid bin Muslim, dari
‘Ufair bin Mi’dan dari Ibnu Amir dari Abi Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dalam tiga tempat: Makkah, Madinah dan
Syam”. Walid bin Muslim berkata, “ (yang dimaksud dengan Syam) adalah adalah
Baitul Maqdis. Syekh Imaduddin bin Katsir berkata, “tetapi ditafsirkan dengan
Tabuk itu lebih baik”. Imam As-Suyuti berkata, “termasuk di Makkah dan
sekelilingnya, seperti yang diturunkan di Mina, Arafat, dan Hudaibiyah dan
termasuk di Madinah dan sekelilingnya apa yang diturunkan di Badr, Uhud, dan
(gunung) Sala”.
3.
Al-Makki
adalah sesuatu yang ditujukan untuk ahli Makkah sedangkan Al-Madani adalah
sesuatu yang ditujukan untuk ahli Madinah. Al-Qadhi Abu Bakar berkata dalam
kitabnya Al-Intishar, “Sesungguhnya untuk mengetahui Al-Makki dan
Al-Madani itu dikembalikan pada hafalan sahabat dan tabi’in dan tidak ada suatu
perkataan dari Nabi SAW tentang hal itu, karena itu tidak diperintahkan dan
Allah SWT tidak menjadikan mengetahui sejarah nasikh dan mansukh yang dapat
diketahui tanpa harus ada nash dari Rasulullah SAW.
Ditinjau dari aspek Asbabun
Nuzulnya, maka surat-surat itu dibagi 2 yakni Makkiyah dan Madaniyah. Dibawah
ini adalah perbedaan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah:
a. Ayat Makkiyah
pendek-pendek dan dinamai ayat Qishar , sedangkan ayat Madaniyah
panjang-panjang dan dinamai ayat Thiwal.[15]
b. Kebanyakan
ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan perkataan""الذين
امنوايآايهاhanya ada beberapa ayat Madaniyah yang dimulai dengan "يا
ايها الناس".[16]
c. Ayat Makkiyah
kebanyakan mengandung soal tauhid (kepercayaan) adanya Allah, hal ihwal ‘adzab
dan nikmat di hari akhir serta urusan kebaikan-kebaikan. Sedangkan ayat-ayat
hukum banyak terdapat di ayat Madaniyah.[17]
Dari penjelasan diatas, ayat-ayat tentang sholat ini
bisa dibagi ke dalam ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Berikut ini adalah
pembagiannya
KATA KUNCI
|
MAKKIYAH
|
MADANIYAH
|
|
الصلاة
|
صلّ
|
QS. Al- Kautsar: 2
|
QS. At-Taubah: 103
|
صلى
|
QS. Al-Qiyamah: 31
QS. Al-A’la: 15
QS. Al-‘Alaq: 10
|
||
صلاتك
|
QS. Hud: 87
QS. Al-Isra’: 110
|
QS. At-Taubah: 103
|
|
صلاته
|
QS. An-Nur: 41
|
||
صلاتهم
|
QS. Al-An’am: 92
QS. Al-Anfal: 35
QS. Al-Mu’minun: 2
QS. Al-Ma’arij: 23 dan 34
|
QS. Al-Ma’un: 5
|
|
صلاتي
|
QS. Al-An’am: 162
|
||
صلاة
|
QS. Al- An’am ayat 72
QS. Yunus ayat 87
QS. Ibrahim ayat 31, 37 dan 40
QS. Maryam ayat 31, 55 dan 59
QS. Thaha ayat 14 dan 132
QS. Al-Anbiya’ ayat 73
QS. An-Naml ayat 3
QS. Al-Ankabut ayat 45
QS. Ar- Rum ayat 31
QS. Luqman ayat 4 dan 17
QS. Fathir ayat 18 dan 29
QS. As-Syura ayat 38
|
QS. Al-Baqarah ayat 3, 43, 45, 83, 110, 153, 177,
238 dan 277
QS. An-Nisa’ ayat 43, 77, 101, 102, 103, 142 dan 162
QS. Al-Maidah ayat 6, 12, 55, 58, 91 dan 106
QS. Al- A’raf ayat 170
QS. Al-Anfal ayat 3
QS. At-Taubah ayat 5, 11, 18, 54 dan 71
QS. Hud ayat 114
QS. Ar- Ra’d ayat 22
QS. Al- Isra’ ayat 78
QS. Al- Hajj ayat 35, 41 dan 78
QS. An-Nur ayat 37, 56 dan 58
QS. Al- Ahzab ayat 33
QS. Al- Mujadalah ayat 13
QS. Al- Jumu’ah ayat 9 dan 10
QS. Al- Muzammil ayat 20
QS. Al- Bayyinah ayat 5
|
|
الوسطى
|
الوسطى
|
|
QS. Al-Baqarah: 238
|
قانتين
|
قانت
|
QS. Az-Zumar: 9
|
|
قانتاً
|
QS. An-Nahl: 120
|
||
قانتات
|
QS. An-Nisa’: 4
QS. Al-Ahzab: 35
QS. At-Tahrim: 5
|
||
قانتون
|
QS. Ar-Rum: 26
|
QS. Al-Baqarah: 116
|
|
قانتين
|
QS. Al-Baqarah: 238
QS. Al-Imran:17
QS. Al-Ahzab: 35
QS. At-Tahrim: 12
|
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ayat-ayat yang
tergolong ayat makkiyah berjumlah 36 sedangkan ayat-ayat yang tergolong ayat
madaniyah berjumlah 54. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang membahas
tentang shalat lebih banyak tergolong dalam ayat madaniyah.
D. Analisis Asbabun Nuzul
Ulama yang pertama kali menyusun kitan tentang sababun
nuzul adalah Ali Ibnu Al-Madini, guru Imam Bukhari. Diantara yang paling
populer adalah kitab Al-Wahidi, betapapun di dalam kitab itu terdapat
kekurangan, dan kitab itu telah diringkas oleh Al-Ja’bari yang membuang
sanad-sanadnya dan tidak menambah sedikitpun.
Syekhul Islam Abul Fadhl Ibnu Hajar juga telah
menyusun kitab tentang sababun nuzul ini, tetapi masih berbentuk tulisan
tangan dan terburu meninggal. Tetapi Imam Jalaluddin As-Suyuthi telah menyusun
suatu kitab sababun nuzul secara lengkap, ringkas dan teliti yang belum
pernah ada kitab yang menyamai yakni Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzuul.
Imam Ja’bari mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu
terbagi menjadi dua bagian: bagian pertama turun sejak awal (tidak ada sebab
musababnya), sedangkan bagian yang lainnya itu disertai dengan adanya
peristiwa atau adanya pertanyaan.[18]
Faedah-faedah mengetahui sebab turunnya suatu ayat
diantaranya adalah:
a.
Mengetahui
hukum Allah secara tertentu terhadap apa yang disyariatkan-Nya
b.
Menjadi
penolong dalam memahami makna ayat dan menghilangkan kemuskilan-kemuskilan
disekitar ayat itu Imam Ibnu Taimiyah berkata: “mengetahui sebab nuzul membantu
kita dalam memahami makna ayat, karena sudah terang diketahui, bahwa mengetahui
sebab menghasilkan ilmu tentang musabbab. Sebaliknya tidak mengetahui sebab,
menimbulkan keragu-raguan dan kemuskilan dan menempatkan nash-nash yang lahir
ditempat musytarak”.[19]
Dalam fokus ayat disini termasuk yang memiliki sebab
musababnya. Berikut ini adalah asbabun nuzul tentang fokus ayat diatas.
Ahmad Al- Bukhari dalam Tarikhnya, Abu Dawud, Al-
Baihaqi, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi SAW
melakukan shalat Dhuhur ketika siang hari. Dan ketika itu shalat dhuhur adalah
shalat yang paling berat bagi para sahabat. Maka turunlah firman Allah: “
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238).[20]
Ahmad, An- Nasa’i, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari
Zaid bin Tsabit bahwa Nabi SAW shalat dhuhur pada siang hari. Ketika itu makmum
dibelakang beliau hany ada satu atau dua shaf saja. Karena pada saat-saat itu
orang-orang sedang tidur siang atau sedang berniaga. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: “ Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah:
238).[21]
Al- Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-
Nasa’i, Ibnu Majah dan yang lainnya meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia
berkata: : ”Pada zaman Rasulullah, ketika sedang shalat kami berbicara dengan
sahabat lain yang juga sedang shalat disisi kami. Hingga turunlah firman Allah:
“...dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238). Maka kami
diperintahkan untuk khusyu’ dan kami dilarang berbicara ketika shalat.”[22]
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Al- Mujahid, dia berkata:
“Dulu orang-orang muslim berbincang-bincang ketika sedang shalat, mereka juga
biasa menyuruh saudaranya untuk suatu keperluan, maka Allah menurunkan
firman-Nya: “...dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Al-Baqarah: 238)
E. Analisis Munasabah
Munasabah
secara bahasa adalah perpadanan dan kedekatan, yaitu tempat kembalinya
ayat-ayat kepada suatu makna yang menghubungkan dengannya, baik yang umum
maupun yang khusus, yang bersifat logika, indriawi, khayalan, maupun
hubungan-hubungan yang lain atau keterkaitan yang bersifat logika, seperti
antara sebab dengan akibat, antara dua hal yang sepadan, dua hal yang
berlawanan dan sebagainya.[23]
Sedangkan menurut terminologi dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut az-Zarkasyi, Munasabah adalah suatu hal
yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu menerimanya.
2. Menurut Ibnu al-‘Araby, Munasabah adalah
keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan
yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
3. Menurut al-Biqai, Munasabah adalah suatu
ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan
bagian-bagian al-Qur’an baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Dalam bahasa inggris artinya suitability, adaquacy,
analogy. Namun sebagai instrumen analisis Al-Qur’an, munasabah dimaksudkan
sebagai langkah analisis Al-Qur’an dengan jalan persamaan (مشاكلة)
dan mencari kedekatan (مقاربة) makna yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menggunakan ilmu munasabah
ialah Abu Bakar An-Naisabu yang digunakan pertama kali di Irak untuk mengajar
santrinya dalam mencari makna dalam Al-Qur’an.
Faedah-faedah yang dapat diambil dalam menggunakan
ilmu munasabah ini yakni menjadikan bagian-bagian ayat itu berkaitan dengan
yang lainnya. Dengan demikian, hubungannya akan menjadi kuat sehingga jadilah
susunannya seperti susunan bangunan yang kukuh dan harmonis antara
bagian-bagiannya. Penyebutan suatu ayat setelah ayat lainnya itu ada kalanya
memiliki hubungan yang jelas. Demikian juga jika ayat yang kedua merupakan
penegasan atau penafsiran atau badal maka bagian ini tidak membutuhkan
pembicaraan lebih lanjut.
As-Suyuti menjelaskan beberapa langkah yang perlu
diperhatikan untuk menemukan munasabah:
Memperhatikan tujuan pembahasan
surat yang menjadi objek pencarian
Memperhatikan urutan ayat-ayat yang
sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat
Menentukan tingkatan urutan-urutan
itu apakah ada hubungannya atau tidak
Memperhatikan ungkapan-ungkapan
bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan dalam mengambil kesimpulan
Cara menggunakan ilmu munasabah untuk mencari makna
dalam Al-Qur’an yakni menganalisis korelasi makna dengan cara memperhatikan
simbol-simbol yang digunakan dalam ayat. Kemudian mencari hubungan antara ayat
yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu bisa berbentuk:
1. Permisalan atau pemadanan (التمثيل)
2. Perlawanan (المضدة)
3. Akhir pembicaraan (الأستدرة)
4. Mengalihkan pembicaraan (المتخلس)
Berikut ini munasabah mengenai ayat-ayat yang dibahas
dengan ayat sebelum ataupun sesudahnya:
Pokok pembahasan firman Allah
Al-Baqarah: 238
(#qÝàÏÿ»ymn?tãÏNºuqn=¢Á9$#Ío4qn=¢Á9$#ur4sÜóâqø9$#(#qãBqè%ur¬!tûüÏFÏY»s%ÇËÌÑÈ
(Peliharalah
semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu'). Ayat ini disebutkan setelah
Al-Baqarah: 237
bÎ)ur£`èdqßJçFø)¯=sÛ`ÏBÈ@ö6s%br&£`èdq¡yJs?ôs%uróOçFôÊtsù£`çlm;ZpÒÌsùß#óÁÏYsù$tB÷LäêôÊtsùHwÎ)br&cqàÿ÷èt÷rr&(#uqàÿ÷ètÏ%©!$#¾ÍnÏuÎäoyø)ããÇy%s3ÏiZ9$#4br&ur(#þqàÿ÷ès?ÛUtø%r&3uqø)G=Ï94wur(#âq|¡Ys?@ôÒxÿø9$#öNä3uZ÷t4¨bÎ)©!$#$yJÎtbqè=yJ÷ès?îÅÁtÇËÌÐÈ
(Jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang
yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.
dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan).
Dari ayat-ayat diatas, hubungan antara fokus ayat
dengan ayat sebelumnya ialah dalam bentuk المتخلس
(mengalihkan pembicaraan). Dimana dalam bentuk ini berpindah dari suatu
pembicaraan kepada pembicaraan yang lain dengan maksud untuk memberikan
semangat kepada pendengarnya. Dalam ayat sebelumnya menjelaskan tentang hak-hak
istri dan ketentuan suami jika menceraikan istrinya. Sedangkan ayat selanjutnya
menjelaskan tentang keharusan menjaga shalat dan mengerjakannya dengan khusyu’.
Hal ini bertentangan sekali antara topik ayat sebelumnya dengan setelahnya.
Sedangkan jika dihubungkan dengan
ayat setelahnya, yakni dalam Al-Baqarah: 238
÷bÎ*sùóOçFøÿÅz»w$y_Ìsù÷rr&$ZR$t7ø.â(!#sÎ*sù÷LäêYÏBr&(#rãà2ø$$sù©!$#$yJx.Nà6yJ¯=tæ$¨BöNs9(#qçRqä3s?cqãKn=÷ès?ÇËÌÒÈ
(Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka
Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman,
Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui)
Hubungan antara keduanya menggunakan bentuk التمثيل (permisalan/pemadanan). Dimana dalam
bentuk ini menyambungkan sesuatu yang sepadan dengan padanannya. Hal ini jelas
ketika fokus ayat menjelaskan tentang keharusan menjaga shalat dan
melaksanakannya dengan khusyu’ kemudian dilanjutkan kembali ayat setelahnya
yakni apabila kita tidak mampu untuk melaksanakan shalat secara benar dan
sempurna, maka kita boleh melaksanakan shalat dengan berjalan atau
berkendaraan, baik menghadap kiblat atau membelakanginya. Menurut riwayat yang
shahih, ayat diatas menjelaskan keadaan dimana kita sedang dalam keadaan
perang atau pertempuran sengit
F. Analisis Penulis
Pemahaman penulis sholat wustho
adalah sholat ‘ashar itu berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan olehImam
Tirmidzi meriwayatkan hadits ini melalui hadits Said Ibnu Abu Arubah dari
Qatadah dari Hasan dari Samurah. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini
berkualitas shahih. Imam Tirmidzi pernah mendengar hadits lainnya dari
Said ibnu Abu Arubah. Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami
Ahmad Ibnu Mani’, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ibnu Ata, dari
At-Taimi, dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda:
الصّلاَةُ الْوُسْطَى صَلَاةُ
الْعَصرِ
“shalat wustha adalah adalah shalat asar”.
Karena hadits yang diriwayatkan itu
berkualitas shohih, dan keterangan dari asbabul nuzul dariturunnya ayat tersebut, maka penulis berpendapat seperti
itu, bahwa: sholat wustho adalah sholat ‘asahar.
G. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam menafsirkan Al-Qur’an kita bisa mengumpulkan data
melalui metode tafsir maudlu’i. Dimana dalam tafsir maudlu’i ini mula-mula
mengumpulkan ayat yang berkenaan dengan satu maudlu’ tertentu dengan
memerhatikan masa dan sebab turunnya. Kemudian mempelajari ayat tersebut secara
cermat dengan memerhatikan nisbat(korelasi) satu dengan yang lainnya dalam
peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan. Perlu
diketahui, dalam metode maudlu’i ini ada beberapa kronologi yang harus ditempuh
dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Diantaranya ialah membuat kronologi ayat
melalui analisis makkiyah-madaniyah, analisis asbabun nuzul, analisis ilmu
qiro’ah dan analisis munasabah. Sehingga dengan sempurnanya metodologi
tersebut, kita bisa mengambil faedah dari Al-Qur’an diantaranya: Menggali
mukjizat al-Qur’an dari segi bahasanya, sehingga dapat lebih meyakinkan
bahwa al-Qur’an adalah mukjizat Allah bagi Nabi Muhammad SAW, juga untuk
memahami makna yang dikandungnya sehingga akan lebih memperdalam pengetahuan
dan pengenalan terhadap al-Qur’an ataupun membantu dalam menafsirkan al-Qur’an
sehingga mempermudah dalam penjelasan hukum.
Daftar Rujukan
Syafe’i,Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia,
2006)
Salim,Muin. Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2005)
Nashruddin,
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998)
Al-Imam Abul
Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 2 (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2000)
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta:
kencana, 2006)
Fuad ‘Abd
al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-karim (Lebanon:
Dar Al-Marefah, 1992)
Jalaluddin
As-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif I terj. Al-Itqan fi Ulumil
Qur’an (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008)
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000)
HR Abu Dawud
dalam Kitabus Shalat, No. 348 dan HR Ahmad dalam Al- Musnad, No. 20612
HR Bukhari
dalam Kitabus Shalat, No. 1125 dan HR An Nasa’i dalam No. 1204
[1]Rachmat
Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hal 291
[2]Abd. Muin Salim, MA, Metodologi
Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2005) hal 41
[3]Ibid, hal 41
[4]Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) hal 151
[5]Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir
Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2000) hal 595
[6]Ibid, hal 596
[7]Ibid, hal 597
[8]Ibid, hal 603
[9]Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir
Al-Ahkam (Jakarta: kencana, 2006) hal 154
[10]Ibid, hal 154
[11]Fuad ‘Abd
al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-karim (Lebanon:
Dar Al-Marefah, 1992) hal 644
[12]Ibid, hal 644
[13]Ibid, hal 645
[14]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Studi
Al-Qur’an Komprehensif I terj. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (Surakarta: Indiva
Pustaka, 2008) hal 38
[15]Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000) hal 56
[16]Ibid, hal 56
[17]Ibid, hal 57
[18]Imam
Jalaluddin As-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif I terj.
Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hal 121
[19]Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000) hal 64
[20]HR Abu Dawud
dalam Kitabus Shalat, No. 348 dan HR Ahmad dalam Al- Musnad, No. 20612
[21]HR An-
Nasa’i dalam Kitabus Shalat, No. 1204 dan Ahmad dalam Al- Musnad No. 20793
[23]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Studi
Al-Qur’an Komprehensif II terj. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (Surakarta:
Indiva Pustaka, 2008) hal 625
Tidak ada komentar:
Posting Komentar